Muhammad Zainul Madji atau yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru Bajang (TGB) membuat pernyataan mendukung pemerintahan Jokowi dua periode. Ia digadang-gadangkan mampu menjadi salah satu figur pemimpin bangsa sebagai pesaing petahana.
Posisinya sebagai Gubernur NTB dua periode dan Dai merupakan modal sosial dan kultural yang kuat untuk dirinya bisa masuk dalam Pilpres 2019. Sosoknya menjadi representasi seorang tokoh bangsa dan umat Islam. TGB dibangun dengan citra personal sebagai ulama, cendikiawan, politisi, pemimpin bangsa dan umat, guru, dan teladan.
Dengan pernyataan tersebut, tentu membuat kekecewaan bagi kaum oposisi pemerintahan atau bagi orang-orang yang telah menganggap TGB sebagai pribadi yang objektif dalam sikap politik. Imej atau citraan-citraan yang yang dimiliki oleh TGB menjadi fantasi fundamental bagi para relawan dan penggemarnya.
Akan tetapi, fantasi fundamental akan citraan dirinya seketika runtuh hanya dengan pernyataan dukungan terhadap pemerintahan Jokowi. Hal ini berlaku juga bagi para artis yang menjadi objek hasrat orang lain. Para penggemar Slank, Dewa 19 dengan Ahmad Dhaninya, dan Iwan Fals bisa seketika berbalik tidak menyukai bahkan sangat muak dengan idolanya tersebut ketika membuat pilihan politik yang berbeda dari para fans.
Hal demikian juga terjadi pada pilihan Cawapres. Seperti kita ketahui bahwa Jokowi memilih Ketua MUI Kyai Ma’aruf Amin sebagai pendampingnya, sedangkan Prabowo memilih Sandiaga Uno selaku Cawapresnya. Pilihan kedua cawapres ini menimbulkan banyak riuh karena berada di luar wacana nama usungan yang dikembangkan oleh kedua belah pihak.
Di pihak Jokowi, nama Cak Imin yang jauh-jauh hari mendeklarasikan dirinya sebagai Cawapres juga diikuti oleh ketua umum parpol pengusung Jokowi, seperti ketua umum PPP M. Romahurmuziy, ketua umum Golkar Airlangga Hartarto, dan nama-nama lain seperti Mahfud MD, Chairul Tanjung, dan lain sebagainya.
Sementara itu, di pihak koalisi oposisi, PKS menyodorkan sembilan nama kader terbaiknya untuk mendampingi Prabowo selaku Capres. Sodoran lain juga dilakukan melalui Ijtimak Ulama yang merekomendasikan Ustad Abdul Somad (UAS) dan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri untuk menjadi Cawapres Prabowo. PAN sebagai partai koalisi juga membawa nama ketua umumnya Zulkifli Hasan dan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pilihan Jokowi terhadap Kyai Ma’aruf memunculkan kekecewaan pendukung atau relawan. Terutama para pemilih Ahok di Pilkada DKI 2017 yang menganggap Kyai Ma’aruf memberi andil (dengan kesaksiannya dipersidangan) atas dipenjaranya Ahok terhadap kasus penistaan agama.
Pun pilihan Prabowo yang mengidentikkan pilihannya pada rekomendasi Ijtima Ulama yang dipenghujung pendaftaran malah memilih Sandiaga Uno. Kekecewaan itu dapat dilihat dari reaksi para relawan dari berbagai media sosial yang ancar-ancar untuk memilih golput atas kontestasi pilpres 2019.
Wacana Penanda Identitas
Sejak pilpres 2014 hingga pilkada DKI 2017 dan pilkada serentak dibeberapa wilayah tahun 2018, wacana penanda identitas menguat dan meruncing dalam memproyeksikan calon pemimpin hingga para simpatisan. Hal tersebut terlihat dari alat politik identitas yang disemai sebagai kampanye hitam.
Wacana yang dimainkan adalah wacana yang saling beroposisi: toleran-intoleran, proulama-tidak proulama/prokomunis, nasionalis-tidak nasionalis, proasing/aseng-propribumi, pendatang-pribumi, pluralis-fundamentalis, jujur-korup, dan lain sebagainya.
Kita cenderung membuat identifikasi pada seseorang yang kita hasrati atau idola. Jokowi dan Prabowo secara tanpa sadar kita lekatkan pada suatu identitas. Bagi simpatisan, Jokowi akan diidentifikasi sebagai yang ‘toleran’ dan mengatakan Prabowo dan pendukungnya ‘tidak toleran’.
Begitupun simpatisan Prabowo akan mengidentifikasi Prabowo sebagai ‘Proulama’ dan mengatakan Jokowi dan pendukungnya ‘tidak proulama’, ‘prokomunis’, ‘anti-Islam’, dan sebagainya.
Wacana-wacana ini dimainkan, diperhadap-hadapkan, hingga membentuk polarisasi. Masyarakat terpolarisasi dengan membawa identitifikasi tokoh yang didukung dengan identitas yang saling melabeli. Para pendukung Jokowi juga akan diidentifikasi sebagai orang yang tidak mendukung ulama. Sedangkan para pendukung Prabowo akan diidentifikasi sebagai ‘intoleran’, ‘anti-pancasila’, ‘fundamentalis’, dan sebagainya.
Jelang pilpres 2019 ini, wacana penanda identitas mengalami peralihan. Para pendukung Jokowi yang memposisikan diri mereka sebagai pembela kemajemukan, toleran, tidak menggunakan agama sebagai cara berpolitik, seketika beralih disaat Jokowi memilih Kyai Maaruf Amin.
Jokowi dianggap malah memainkan isu agama oleh lawan politik. Sebaliknya, Prabowo yang diusung melalui ijtimak ulama tidak memilih pilihan ulama sebagai pendampingnya. Prabowo yang direpresentasikan sebagai pemimpin yang membela umat Islam dan membela ulama juga beralih dari penanda identitas tersebut.
Inilah momen di mana subjek (para pendukung) mengalami keterbelahan identitas. Identifikasi fantasmatik terhadap tokoh pilihan oleh para pendukung mengalami peralihan penanda identitas.
Identifikasi “Fantasmatik”
Identifikasi fantasmatik adalah sesuatu yang menjadi objek penyebab hasrat subjek. Dalam konsep psikonalisis Lacan, identifikasi tersebut disebut sebagai objek petit a. Jokowi, Prabowo, TGB, Mahfud M.D., AHY, Uno hingga Via Vallen adalah objek hasrat pendukung-penggemar-fans, sedangkan objek penyebab hasratnya adalah segala penanda identitas yang merepresentasikan tokoh publik atau idola tersebut.
Sesungguhnya, bukan Jokowi, Prabowo atau Via Vallen yang dihasrati oleh para pendukung/penggemar, tetapi penanda-penanda identitas yang melekat pada diri Jokowi, Prabowo atau Via Vallen. Lalu, kita terlanjur berfantasi dengan penanda tersebut untuk kemudian kita identifikasikannya kepada diri kita.
Persoalan yang bisa muncul dari identifikasi fantasmatik ini adalah siapkah kita bila terjadi peralihan penanda pada objek hasrat tersebut? Bahwa ternyata Jokowi sendiri adalah orang yang tidak toleran, suka berfoya-foya, dan bahkan diktator. Hanya dengan peralihan penanda-penanda sebagai identifikasi fantasmatik, kita seketika juga bereaksi: muntah, marah-marah, apatis, bahkan stres. Padahal peralihan identifikasi fantasmatik itu bisa saja hanya permainan penanda-wacana belaka.
Sama halnya disaat kita menghasrati objek hasrat Via Vallen dan disaat yang bersamaan ia mengatakan bahwa dirinya adalah waria, di situlah momen segala identifikasi fantasmatik terhadap Via Vallen rontok. Padahal Via Vallen sebagai objek tidak berubah. Hanya posisi simboliknya saja yang bergeser dan pemaknaan pun menjadi bergeser.
Di politik, pemaknaan atau posisi simbolik dari seorang politisi yang kita idolakan selalu memiliki kecenderungan mengalami pergeseran-pergeseran. Tidak ada yang tetap dan autentik. Kita pada akhirnya hanyalah menjadi permainan-permainan penanda/simbolik yang justru kita buat sendiri, yaitu identifikasi fantasmatik kita.