Kamis, April 25, 2024

Hunayn bin Ishaq dan Toleransi Membangun Peradaban

Radja Seff
Radja Seff
Student of Islamic History and Civilization, Darussalam Islamic Institute.

Islam pernah mencapai masa kejayaannya dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan. Perkembangan ini didukung dengan adanya lembaga-lembaga yang mewadahi perkembangan tersebut. Tepatnya masa jaya itu dimulai dengan bangkitnya dinasti Abbasiyah setelah berhasil menaklukan peradaban sebelumnya, dinasti Umayyah.

Kebangkitan dalam ilmu pengetahuan, didapatkan melalui penyerapan ilmu dari peradaban lain. Buku-buku lintas disiplin ilmu dalam bahasa Yunani, Suryani, Persia, dan India diterjemahkan besar-besaran ke dalam bahasa Arab. Melalui upaya khalifah Abbasiyah tersebutlah, di kemudian hari sarjana-sarjana besar dalam Islam pun lahir.

Menariknya, dalam membangun peradabannya, dinasti Abbasiyah tidak hanya dibantu oleh orang-orang Islam. Adalah Hunayn bin Ishaq seorang Nasrani, dokter kerajaan, sekaligus menjadi ketua tim penerjemahan yang dipercaya khalifah dinasti Abbasiyah ikut andil dalam membangun peradaban Islam saat itu.

Hunayn bin Ishaq al-‘Ibadi adalah salah satu penerjemah terbaik dalam sejarah Abbasiyah. Ia dilahirkan di Hira, (sebuah kota antara Iran dan semenanjung Arab) pada tahun 809 M di keluarga Arab Kristen Nestorian. Al-‘Ibadi adalah sebutan anggota dari salah satu suku Arab yang mempertahankan kekeristenannya di bawah kekuasaan Islam.

Bayt al-Hikmah selain menjadi perpustakaan terbesar di Baghdad saat itu, juga menjadi pusat penerjemahan karya-karya klasik dari Yunani, Persia, Suryani, dan India. Pada tahun 830, Hunayn yang padahal adalah seorang non muslim, diangkat menjadi kepala Bayt al-Hikmah dan bertanggung jawab atas semua kegiatan ilmiah di Bayt al-Hikmah oleh khalifah al-Makmun.

Kepercayaan tersebut tidak didapat Hunayn secara cuma-cuma, keseriusannya dalam belajar Bahasa Yunani dengan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya telah dilewati sebelum mendapat kepercayaan sang khalifah. Dalam perjalanan karirnya, Hunayn terbilang penerjemah paling produktif di masa itu.

Tercatat ada 161 naskah yang telah ia terjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan Suriah. Hasil terjemahannya tersebut, kelak menjadi pintu kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dunia Islam, setidaknya sampai sebelum invasi dan pengrusakan pasukan Mongol ke Baghdad secara brutal. Khalifah al-Makmun sudah tentu tidak hanya berujar terima kasih kepada Hunayn atas kerja yang telah ia berikan, ia dibayar dengan emas seberat buku yang telah diterjemahkannya.

Hunayn dan kontribusinya di masa dinasti Abbasiyah, kiranya adalah sebuah lanskap peradaban modern: menerima kelompok lain sebagai satu kesatuan, mengesampingkan perbedaan yang ada, memberi ruang orang lain untuk mengekspresikan keyakinannya, menjunjung kesamaan hak yang sama di ruang publik, dan bersedia bekerjasama dengan orang yang berbeda, baik agama, suku, ataupun budaya. Maka, jika ada yang mengalami kesulitan dalam mengakses hak-haknya sebagai warga negara, seperti: kesulitan akses pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan publik karena alasan berbeda agama, suku, ataupun etnis, tidaklah keliru jika dikatakan itu sebagai kemunduran peradaban sebuah bangsa.

Perbedaan pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan yang sedari awal telah Allah tetapkan di tengah kehidupan dengan segala hikmah-Nya. Memaksakan kehendak bahwa semua manusia di atas dunia harus seragam dalam satu entitas adalah ilusi yang diciptakan manusia itu sendiri.

Mengapa tidak, selain itu berlawanan dengan kebebasan manusia, juga bertentangan dengan keragaman yang merupakan sifat dari alam. Karenanya, hal ini dijelaskan melalui firman Allah dalam al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 

Dalam menghadapi perbedaan, adalah benar bahwa toleransi merupakan fondasi terpenting dalam demokrasi. Karena demokrasi hanya bisa terjadi jika seseorang mampu menahan pendapatnya, tidak memaksa kebenaran yang diyakini kepada orang lain, mampu mendengar, dan menerima pendapat orang lain. Karenanya pula, menjadi sebuah alasan bahwa kematangan sebuah bangsa dapat diukur dengan sejauh mana toleransi di bangsa itu. Semakin tinggi sebuah bangsa dalam menjunjung toleransi, maka bangsa tersebut semakin demokratis, dan begitu pula sebaliknya. Semangat saling menghargai dan menghormati merupakan pangkal keberadaan sistem sosial-politik yang demokratis di tengah perbedaan. Perdamaian, keharmonisan, dan bersama-sama membangun peradaban adalah perwujudan positif dari toleransi.

Maka sebaliknya pun demikian, intoleransi dapat berujung menuju laku radikalisme yang merupakan ancaman nyata terhadap kehidupan global. Guncangan ekonomi dan politik yang tidak kecil, menciptakan rasa tidak aman pada masyarakat luas melalui teror adalah kenyataan dari dampak yang ditimbulkan.

Toleransi dalam manifestasi sosial adalah tidak pasif dengan sekadar menghormati pemeluk keyakinan yang berbeda, namun juga aktif dalam membangun kebersamaan dan bekerjasama dalam kehidupan.

Radja Seff
Radja Seff
Student of Islamic History and Civilization, Darussalam Islamic Institute.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.