Pekan ini, seiring dengan pertempuran di Ukraina yang belum usai dan semakin banyaknya korban jiwa yang jatuh, Perdana Menteri Estonia, Kaja Kallas, dan perdana menteri Finlandia, Sanna Marin, mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan mengusulkan Uni Eropa untuk melarang visa turis bagi semua warga Rusia, sekalipun jika mereka adalah aktivis pro-demokrasi atau penentang perang.
Uni Eropa sendiri belum merespons komentar ini, dan khawatir ide ini akan semakin memperburuk hubungan Rusia dan Uni Eropa, yang merupakan sumber energi penting bagi Uni Eropa. Sejatinya, hukuman kolektif ini bukanlah hal yang baru dalam respons mereka terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Sebelumnya, berbagai seniman Rusia dilarang tampil oleh lembaga seni Barat, institusi pendidikan Barat memutuskan kerjasama dengan institusi dan pelajar Rusia, dan atlet Rusia juga dilarang berpartisipasi dalam berbagai kejuaraan internasional – sekalipun cukup banyak atlet Rusia yang memprotes perang di Ukraina.
Penerapan hukuman kolektif terhadap suatu bangsa, termasuk Rusia, saat ini mengundang kontroversi. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa tidak benar menghukum “rakyat” atas kesalahan yang dilakukan pemerintahnya, serta fakta bahwa ada golongan yang tidak mendukung perang di dalam negeri. Dalam kasus Rusia, hal lain yang dianggap adalah “kemunafikan” Barat, mengingat banyak negara Barat juga pernah melakukan agresi militer dan kejahatan perang, tetapi tidak mengalami hukuman serupa.
Sebut saja, okupasi Israel terhadap Palestina serta serangan Amerika Serikat terhadap Irak dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Menghukum seluruh bangsa atas tindakan yang dilakukan pemerintahnya memang tidak ideal, terutama di sistem otoriter dengan masyarakat memiliki sedikit pilihan politik. Coba bayangkan, anda sedang berada di kelas ketika bersekolah. Beberapa murid ngobrol berisik, sedangkan anda duduk diam sambil belajar. Karena guru kesal, satu kelas disuruh lari lapangan karena berisik. Anda pasti tidak terima, kan?
Dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa bukan hanya penerapan hukuman kolektif terhadap bangsa Rusia tidak ideal seperti yang ditunjukkan di atas, namun ada beberapa implikasi berbahaya terhadap sistem internasional jika hal ini dibiarkan atau bahkan dibiasakan. Hal ini dapat akan mengganggu stabilitas sistem internasional dan membuat hubungan internasional semakin berisiko.
Sedikitnya ada tiga potensi bahaya hukuman kolektif terhadap Rusia oleh Barat: pertama, meningkatnya xenofobia terhadap bangsa tertentu, kedua, menghambat penyelesaian bebragai persoalan global kontemporer, dan ketiga, alih-alih “mendamaikan” Rusia, hukuman kolektif akan semakin membuat Rusia semakin “mengerikan” dan menyulitkan manajemen konflik dengan Rusia.
Pertama, hukuman kolektif terhadap Rusia dapat dilihat sebagai bentuk rasisme atau xenofobia dengan diskriminasi yang didasarkan pada identitas seseorang. Narasi ini sejalan dengan upaya-upaya mendiskreditkan Rusia lainnya, seperti pelarangan pertunjukan budaya Rusia dan pelaragan atlet Rusia. Hal ini tidak dapat dibenarkan di era masyarakat modern yang sejatinya mendorong toleransi dan pertukaran masyarakat.
Mengherankan melihat mereka yang bersuara untuk kebebasan dan pengakuan huk orientasi seksual, mereka yang sama juga yang mendukung pelarangan warga Rusia karena identitasnya. Penulis melihat sikap ini sebagai akibat standar ganda dan kecenderungan masyarakat Barat melihat golongan non-Barat sebagai “other” dalam sosiologi sehingga mereka memberikan perlakuan yang berbeda. Ada kecenderungan di masyarakat Barat untuk :membenci” golongan tertentu yang dianggap berbeda atau berbahaya di mata mereka. Belum lagi, citra Rusia yang negatif lewat propaganda Hollywood juga membuat lebih mudah untuk membenci Rusia secara keseluruhan. Sama halnya dengan kebencian terhadap Muslim pasca serangan 9.11 atau orang Asia ketika pandemi COVID-19.
Kedua, upaya mengucilkan Rusia tidak ideal di era kontemporer yang membutuhkan kolaborasi untuk berbagai masalah global. Saat ini, dunia menghadapi berbagai tantangan lintas negara, seperti penyakit menular, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan terorisme transnasional. Dalam menghadapi isu ini, setiap negara tidak bias bergerak sendiri dan harus bekerja sama.
Rusia sebagai negara dengan populasi dan wilayah yang sangat besar berdampak kuat pada berbagai isu di atas, seperti diplomasi vaksin dan perubahan iklim. Mencoba menyelesaikan isu-isu ini sambil mengucilkan Rusia tidak akan berjalan efektif. Untungnya, Indonesia punya pandangan yang cerdas melalui Presidensi G20-nya tahun ini dengan tema “recover together, recover stronger” dan prinsip “no one should be left behind”. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kontemporer.
Ketiga, ada implikasi jangka panjang yang berbahaya jika hukuman kolektif diterapkan terhadap Rusia, termasuk jika sanksi anti-Rusia tetap dipertahankan setelah perang. Hukuman kolektif atau isolasi Rusia diklaim pendukungnya bertujuan agar pemerintah dan masyarakat Rusia bias menyadari kesalahan yang dilakukan negaranya. Hal ini sangat utopis untuk dijalankan. Alih-alih “mendamaikan” isolasi internasional justru akan semakin menguatkan sentimen nasionalis dan sikap antagonisme terhadap lawannya.
Lihat saja, Jerman pasca Perang Dunia I yang dihukum dan menanggung sebagian beasr kerugian perang, akhirnya menjadi Jerman yang lebih berbahaya dibawah Adolf Hitler dan memulai Perang Dunia II, atau saat ini, Iran dan Korea Utara yang mengalami berbagai sanksi internasional namun justru semakin meningkatkan ancamannya terhadap Barat. Selain itu, penerapan sanksi kolektif terhadap Rusia justru bias semakin memperkuat propaganda Kremlin yang menganggap Barat sebagai musuh Rusia. Aktivis demokrasi liberal yang selama ini melawan Putin dan mengharapkan dukungan Barat bias saja berubah menjadi pendukung Putin.
Hukuman kolektif tidak akan berdampak baik secara jangka panjang bagi stabilitas internasional. Oleh karena itu, perlu ada cara alternatif untuk manajemen konflik di Ukraina. Pandangan alternatif non-Barat bias diperhatikan, seperti langkah Indonesia yang mengutamakan dialog dengan langkah kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia.
Langkah resolusi konflik yang kolaboratif pernah diprakarsai Indonesia ketika mengadakan Pertemuan Jakarta untuk membahas masalah Kamboja, yang mengundang semua pihak yang berkonflik, termasuk Khmer Merah dengan rekor HAM-nya yang memprihatinkan. Meskipun peran Indonesia sebagai mediator tampaknya terlalu sulit dicapai mengingat bargaining power Indonesia yang kurang kuat di Eropa Timur, namun hal ini membuktikan ada jalan lain yang bias dilakukan untuk resolusi konflik. Hal ini bukan berarti tindak kejahatan perang akan luput begitu saja.
Pengadilan internasional tetap bisa dilakukan setelah resolusi konflik dijalankan. Namun, upaya untuk menghukum seluruh bangsa Rusia bukanlah langkah bijak karena membawa dampak berbahaya sebagaimana diuraikan di atas.