Berbicara seni pasti identik dengan karya yang bermutu akan keindahannya, fungsinya, bentuknya, makna dari bentuknya, dan sebagainya. Mural adalah contohnya, salah satu karya seni jalanan yang akhir-akhir ini menjadi suatu kontroversi, dikarenakan pembuatnya dikejar oleh aparat.
Di Pasuruan mural bergambar dua kartun dengan tulisan Dipaksa sehat di Negara SakIt dihapus oleh aparat dikarenakan melanggar ketertiban umum. Jika mural curahan dari hati saja mendapatkan reaksi seperti itu, bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika muralnya mengkritik langsung pejabat negara. seperti mural bergambar wajah presiden jokowi dengan mata tertutup yang bertuliskan 404: Not found diburu oleh polisi karena dianggap menghina simbol negara. dalam cuitan twitter oleh Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Faldo Maldini. Menurut Faldo, pembuatan mural harus mengantongi izin bila tidak, pembuat mural tersebut melanggar hukum.
Pendapat dari Staf Khusus tersebut mencederai dari kata demokrasi yang dimana kebebasan seseorang untuk mengeluarkan ekspresinya dilindungi oleh konstitusional. cuitan tersebut berkaitan dengan pasal penghinaan presiden yang kembali muncul di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RUU KUHP). RUU KUHP masuk dalam Program Legislasi Nasional ( Prolegnas) 2021 dan para pembentuk KUHP mengejar pengesahannya tahun ini diiringi dengan Rancangan Undang-undang lainnya seperti RUU PKS.
Kontroversi Mural
Mural atau seni jalanan bukanlah hal baru dalam negeri ini. Pada periode awal kemerdekaan, coretan di tembok adalah kabar kemerdekaan dan propaganda semangat kemerdekaan. coretan dan gambar di dinding-dinding menjadi penanda pergerakan zaman, kegelisahan masyarakat dan menjadi catatan atas harapan dan perubahan.
Orde Reformasi atau pada masa sekarang, Kontroversi mural menjadi polemik yang berkepanjangan, yang dimana permasalahan mural hanya di tingkatan Peraturan Daerah (Perda) saja menjadi perhatian dari pemerintah pusat. Padahal setiap daerah/provinsi mengatur tentang ketertiban, kebersihan dan keindahan (K3). sebagai contoh dalam Pasal 21 Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 yang melarang tindakan coret-coret, melukis, dan tindakan seni lain di fasilitas umum.
Dari aturan ini bisa kita simpulkan bahwa penindakan yang bersifat daerah maka juga harus diserahkan kepada daerah. lantas mengapa tindakan ini menjadi perhatian dari pemerintah pusat, bukan hanya tindakannya melainkan substansi dari mural-mural tersebut. apakah tindakan tersebut bisa masuk dalam “Penghinaan” terutama terhadap ”Presiden”. Perlukah “Mural” berujung pada pemidanaan.
Polemik tentang delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebelumnya diatur dalam pasal 134, 136 bis, dan pasal 137 KUHP. namun ketiga pasal tersebut telah dicabut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006. pada 4 desember 2006, dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan tafsir apakah suatu proses pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.
MK sendiri berpendapat indonesia adalah suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. dalam hal ini menjadi tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal 134, 136 bis, dan pasal 137 yang menegasikan prinsip persamaan di depan hukum ( equality before the law), mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, serta kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.
Dengan adanya putusan mahkamah konstitusi tersebut sudah seharusnya KUHP di masa yang akan datang tidak mengatur hal yang sama. hal ini didasari dengan pemikiran bahwa UU tidak dapat mengatur hal yang inkonstitusional dan harus sejalan dengan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. konsep ini dipertegas dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Pertauran Perundang-undangan yang mengatur bahwa materi muatan undang-undang adalah melaksanakan putusan MK sehingga RUU KUHP memegang tugas untuk menjalankan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. tetapi kenyataanya dalam RUU KUHP pasal yang telah dicabut oleh MK diatur kembali di pasal 353 ayat (1) RUU KUHP dengan konsep yang sama tetapi pengaturannya yang berbeda.
Pasal 353 ayat (1) RUU KUHP yang berbunyi ” di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara”. lalu ayat (2) memberikan pemberatan yang berbunyi “dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat”. dan ayat (3) mempertegas bahwa pasal ini merupakan delik aduan.
Perbedaan yang mendasar dari Pasal 353 RUU KUHP dengan pasal 134, 136 bis, dan pasal 137 KUHP adalah pasal ini memiliki ancaman yang lebih kecil dari sebelumnya yang dimana dalam pasal sebelumya diancam dengan pidana penjara enam tahun sedangkan di pasal 353 ayat (1) RUU KUHP ancaman pidananya, satu tahun enam bulan penjara atau tiga tahun penjara jika menimbulkan akibat berupa kerusuhan. tidak cuma itu perbedaannya yang sebelumnya merupakan delik biasa, di RUU KUHP sebagai delik aduan dan bersifat delik materiil.
Kebebasan Berekspresi
Perkara Mural ini sesungguhnya sebagai bukti bahwa ancaman kebebasan berekspresi pada periode ini tidak jauh beda dengan periode pemerintahan presiden soeharto. sehingga masyarakat menjadi takut akan kebebasannya dalam mengeluarkan pendapat, kritikan maupun ekspresi yang semakin lama semakin terbungkam.
Masalah mural ini diharapkan kepada aparat penegak hukum agar dapat menganalisis terlebih dahulu dalam melakukan suatu penindakan, seperti mural 404: Not Found yang dikaitkan dengan penghinaan terhadap presiden yang dimana dalam RUU KUHP menekankan pasal tersebut dengan bentuk materiil dan delik aduan.
Bukan delik biasa sehingga diberikan kewenangan kepada korban untuk mempertimbangkan kerugian yang telah dialami untuk kemudian mengadukan perbuatan itu kepada pihak berwajib ( E Utrecht, 1987). dengan begitu presiden diberikan kesempatan untuk memahami bahwasanya penyelesaian bisa dilakukan di luar pengadilan dan tidak melulu di jalur pidana.
Presiden pun akan paham menggunakan jalur pidana adalah sebagai sarana terakhir jika solusi lain tidak dapat digunakan (Ultimum Remedium), dengan pengaturan penghinaan presiden sebagai delik materiil dan delik aduan maka diharapkan tetap menjunjung tinggi demokrasi dengan memberikan batasan yang dibutuhkan dalam menjaga kehormatan negara dan presiden.