Jumat, Maret 29, 2024

Homogenisasi Budaya dan Siasat Hibriditas

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Pascasarjana IAI Sunan Giri Ponorogo. Doktor Lulusan Universitas Negeri Malang

Jebakan liberalisasi dalam politik kebudayaan merupakan ancaman nyata bagi pengembangan kebudayaan. Meskipun telah lahir Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, nampaknya posisi negara dalam meregulasi kebudayaan, khusus ekspresi kesenian sampai saat ini belum bergeser jauh.

Secara umum, pengambil kebijakan memposisikannya sebagai bagian dari pariwisata (tourisme) dengan segala kebijakan yang dikembangkannya, misalnya kebijakan pengembangan Industri Kreatif. Negara dipaksa membonsai ekspresi kebudayaan terutama kesenian tradisi dan ritual agar sesuai dengan norma-norma globalisasi modernitas adalah bentuk faktual dari konsep negara yang serba diatur oleh kekuatan globalisasi yakni kapitalisme transnasional

Dunia ketiga tetap dianggap sebagai dunia yang eksotis, koloni yang indah, dan pusat penyaluran kehendak kuasa kekuatan-kekuatan global baik dalam arti ekonomi, politik, budaya bahkan ilmu pengetahuan.

Penjelasan yang bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan negara dengan kebudayaan digambarkan Michael Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menggambarkan kebudayaan adalah ruang relasi kuasa bagi manusia untuk mengatur dirinya sendiri dengan menciptakan beragam klaim kebenaran guna mendapatkan kekuasaan.

Hal ini sangat ditentukan oleh proses pendisiplinan, penghukuman, praktik pemisahan dan juga ditentukan oleh siapa yang dapat bicara (author) dan dalam posisi apa. Dalam manifestasinya ruang relasi kuasa itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk hubungan negosiasi, oposisi, dialektika, maupun representasi.

Sedangkan instrumentasi yang biasa dipakai untuk merebut dan mendefinisikan ruang itu biasanya menggunakan agama, pengetahuan, modal, dan negara (lewat regulasi dan kekerasan). Keempat media untuk merebut dan mendefinisikan ruang kebudayaan termasuk aturan, berbagi etika dan prinsip moralitas beroperasi mendisiplinkan berbagai bentuk dan detail-detail dari kesenian tradisi dan perilaku para senimannya.

Dalam konteks inilah dapat dilihat bagaimana proses pengendalian dan pendisiplinan kesenian dan seniman tradisi beroperasi secara sistematik, yang pada gilirannya bertujuan menempatkan kesenian sebagai instrumen kekuasaan. Kekuasaan yang melayani rezim globalisasi. Subyek yang sudah tertundukkan dalam cengkeraman kekuasaan tentu akan menjadi marginalized –terhegemoni-dengan sendirinya, karena ia dicerabut dari akar-akar yang membangunnya.

Antonio Gramsci dalam bukunya Quaderni atau Notebooks from Prison, menyampaikan sebuah teori yang dapat memotret bagaimana relasi kekuatan dominan melakukan penguasaan dan penundukan oleh Gramsci sebut sebagai teori Hegemoni. Proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan berupaya mengeksploitasi mereka.

Hegemoni dalam pengertian Gramsci, merupakan upaya kelas dominan untuk menguasai cara fikir mereka dengan cara mengombinasikan kekuatan dan tentunya persetujuan sadar, atau hasil konsensus. Konsensus ini dibangun melalui lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan langsung atau tidak langsung struktur kognisi dan afeksi masyarakat.

Namun yang harus di catat bahwa Gramsci menganggap bahwa hegemoni ini tidak stabil. Dalam kondisi instabilitas inilah di mungkinkan munculnya counter hegemoni. Dan dalam konteks inilah kelas tertindas, yang di pelopori intelektual organiknya harus melakukan perang posisi (war of possision) untuk mendapatkan daya tawar di hadapkan kekuatan hegemonik.

Kekuatan hegemonik dalam kebudayaan di masa kini dimana negara menjadi agen kekuatan kapitalistik, misalnya akan berusaha melakukan penundukan terhadap kekuatan rakyat, dengan berusaha mencangkokkan ‘keliaran-keliaran’ mereka yang di kemudian hari berpontensi menjadi kekuatan perlawanan.

Siasat Hibriditas

Robins dalam  Tradition and Translation: National Culture in its Global Context (1991) menyebut sebuah teori Homogenisasi Budaya. Teori ini berusaha memberikan penjelasan bagaimana kehidupan tradisi-tradisi lokal dalam kehidupan global. Globalisasi budaya menurut teori ini tidak lain adalah Homogenisasi. Teori ini menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme menimbulkan hilangnya keragamanan budaya.

Hilangnya keragamana budaya ini diakibatkan oleh proses imperialisme budaya dimana budaya dominan akan tersebar bersama globalisasi informasi, media massa, dan pada saat yang sama ekspresi-ekspresi yang lebih lokal dan lemah akan perlahan-lahan terhapus dari peta kebudayaan dunia. Hal ini terjadi karena dominasi suatu budaya atas kebudayaan lain. Agen prinsipil dari kebudayaan ini adalah kekuatan transnasional.

Robins melanjutkan, karena mem- proyeksikan dirinya sebagai transhistoris dan transnasional, sebagai kekuatan modernisasi dan modernitas yang transeden dan bersifat universal, maka kapitalisme global pada kenyataannya terkait dengan pembaratan atau sering disebut sebagai ‘westernisasi’-ekspor komoditas, nilai, prioritas dan cara hidup barat.

Semakin tunggal dan homogen-nya selera musik pada masyarakat kita pada musik populer (seperti reggae, rock, pop, blues, jazz, R n B) dan lain sebagainya, tidak dapat dipisahkan dari peran industri rekaman transnasional seperti Sony Music, Universal Music, dan juga jaringan industri televisi internasional seperti MTV, Star TV yang juga menguasai jagat digital. Hal ini berkonsekuensi pada semakin menyempit dan mengecilnya apresiasi masyarakat Indonesia, terhadap ekspresi musik lokal.

Betapa musik gamelan, tinggal menjadi ornamen komunitas kecil dalam masyarakat yang terpinggir, atau dipasang dalam menara gading perguruan tinggi seni musik, atau menjadi obyek pariwisata di situs-situs kebudayaan lama seperti kraton. Begitu juga dengan selera makan, cara berpakaian, ekpresi kesenian segala yang berbau lokal akan perlahan lahan lenyap.

Para seniman tradisi yang hidup dan berekspresi dengan kesenian lokal akan mengalami genocida terhadap ekspresi kesenian mereka, dan secara tidak langsung terhadap akses mereka terhadap sumber kekusaan, ekonomi dan politik sebagaimana mereka dapatkan dalam kehidupan mereka sebelumnya.

Kekuatan dan nilai budaya lokal hanya akan bertahan bila mampu melakukan negosiasi dengan budaya dominan. Sebagaimana yang disebut Chris Barker dalam Buku Cultural Studies (2004) sebagai proses Hibriditas.

Bahwa globalisasi, bukanlah aliran satu arah dari barat menuju kepenjuru dunia, namun namun yang lokal pun bisa bergerak mengglobal. Ekspresi kesenian lokalpun mampu berdialog dengan ekspresi kesenian lokal, bercampur menjadi satu perkawinan hibrid. Kemampuan melakukan hibriditas bagi seniman tradisi akan memberi ruang bagi budaya dan komunitas seniman lokal untuk melakukan resistensi sekaligus negosiasi dengan budaya dominan.

Inilah fase terbaru globalisasi dimana terjadinya proses: ‘yang tidak berlangsung satu arah-dimana suatu proses perkembangan tidak setara antara kekuatan-kekuatan’ namun ‘adalah kesaling-tergantungan dunia dimana tidak ada lagi liyan (the others). Musik Campursari, Dangdut kontemporer ala Via Vallen dan Nella Kharisma adalah sedikit contoh dari keberhasilan negosisasi ini.   

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Pascasarjana IAI Sunan Giri Ponorogo. Doktor Lulusan Universitas Negeri Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.