Propagandis Nazi pernah berkata,”kebohongan yang terus-menerus diulang akan menjadi kebenaran”.
Kurang lebih 80 tahun yang lalu, diktum tersebut marak digunakan sebagai alat politik, demi klaim kebesaran dan kedigdayaan suatu negara (bangsa): Jerman. Salah satu dari banyaknya “kebohongan” yang di produksi oleh rezim Nazi adalah, bangsa Jerman adalah ras Aria. Maka dari itu segala bangsa “yang lain” patut mengikuti apa yang dikehendaki bangsa Jerman, dengan Hitler sebagai imamnya.
Kebohongan dan kebohongan yang lain yang di produksi oleh Nazi, tentu adalah hoaks! Namun di era yang konon serba maju, hoaks masih tetap ada (sampai sekarang) dan digunakan untuk kepentingan tertentu.
Hoaks, sebagai berita bohong dapat menjelma apa saja: sebagai gosip, informasi, juga wacana. Disini hoaks tak memiliki identitas apapun. Karena hoaks adalah sesuatu yang berwajah seribu. Karena hoaks tak memiliki identitas, bukan berarti ia tak bisa menyasar identitas.
Justru sebaliknya, hoaks selalu butuh “inang” dalam mereproduksi dan mendistribusiakan kemamuannya. Inangnya adalah identitas sosial. Pada kasus rezim Nazi, hoaks digunakan untuk melegitimasi genosida bangsa Yahudi, dimana aktornya adalah “ras Aria”.
Di Indonesia sendiri belakangan (dan sampai sekarang) sedang menghadapi badai hoaks. Sampai-sampai beberapa media cetak ternama sempat menggulirkan wacana barcode berita, untuk menunjukan bahwa berita tersebut lolos “sertifikasi”. Belakangan terungkap bahwa, kelompok pagiat media sosial benama Saracen yang diduga telah melakukan sejumlah kegiatan memfabrikasi berita dan menyebarluaskan kebencian di berbagai ribuan akun media sosial dengan pesanan tertentu, yang konon harga pesanannya samapai ratusan juta. Betapa mahalnya harga sebuah kebohongan!
Memang untuk membuat kebohongan membutuhkan energi ekstra. Orang yang berbohong akan berbohong lagi untuk menutupi kebohongan selanjutnya. Begitulah kiranya. Namun itu tidak berlaku untuk hoaks di media sosial. Hoaks dalam media “hanya” bertujuan untuk diviralkan oleh si pelaku. Selebihnya kita sebagai “penikmat” media akan melahap informasi tersebut. Mengapa demikian?
Karena media sosial mempunyai logikanya sendiri. Media sosial mempunyai algortima preferensi bagi si pemilik akun. Sehingga hoaks akan menyasar kepada mereka yang mempunyai tendensi memilih informasi tersebut. Informasi apa? Informasi apa saja, yang tanpa referensi yang jelas. itulah hoaks. Jika bukan hoaks, tentu namanya berita.
Kelompok yang memproduksi ujaran kebencian (hate speech) seperti Saracen bukanlah dalang utama dari dari maraknya aksi presekusi yang dilakukan oleh kelompok tertentu dalam menanggapi isu-isu terkini: seperti penistaan agama Ahok, serial aksi bela Islam, penyerangan kantor LBH, dan PKI.
Studi yang dilakukan oleh Mark Frohardt dan Jonathan Temim (2007) menunjukan, media tidak hanya mengabarkan terjadianya konflik, tapi juga memiliki sumbangsih dalam pembentukan konflik meskipun tidak disegaja. Mark dan Jonathan memberi penegasan bahwa fenomena ini rentan di negara multi-etnik (heterogen) dan minimnya daya kritis masyarakat. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah keterampilan jurnalis yang buruk serta upah yang diterima tidak layak. Disini, Indonesia adalah ladang yang subur bagi hoaks.
Pertanyaan yang menjadi menarik adalah, mengapa hoaks bisa mengakibatkan aksi presekusi? Filsuf asal Inggris, John Lock, mengatakan bahwa,”pengetahuan adalah sekumpulan dari presepsi”. Selain faktor teknologi—yaitu dengan logika algoritmanya, hoaks media sosial dapat membaca keinginan informasi yang diterima warganet—rupanya kita sebagai manusia ‘juga’ akan memilih informasi yang ‘hanya’ kita inginkan.
Informasi yang kita inginkan tersebut, meskipun kebohongan, akan kita amini serta kita yakini sebagai kebenaran, tanpa ada upaya untuk mencari kebenaran informasi tersebut. Bahkan tanpa pikir panjang, informasi tersebut akan dikirim sebanyak-banyaknya ke berbagai jejaring pertemanan. Inilah yang dimaksud Lock, bahwa persepsi juga mempunyai narasi kebenaranya. Dan hoaks mendapat ruang pengetahuan juga dunia kebenarannya.
Ditengah fenomena kebohongan, hakim bukanlah wilayah berwibawa yang menjaga nama baik fakta dan pengadilan tidaklah tempat yang paling adil. Tidak ada lagi batasan antara fakta dan fantasi. Semua institusi hukum dan pengetahuan tidak lagi menjadi sandaran otoritas kebenaran. Masing-masing dari kita hendak mengambil posisi sebagai hakim, juri, dan pengacara. Dengan kebencian sebagai motif dan kebohongan sebagai dalil, untuk menghukum (bukan mengadili), tersangka sekaligus terdakwa dengan semena-mena.
Manusia menjadi manusia
Hidup di era tsunami informasi, dan minimnya literasi–seperti sekarang ini—membaca bukanlah jawaban menuju era melek informasi. Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, bahwa kita sebagai manusia juga memiliki preferensi dalam memilih informasi. Termasuk bacaan. Penggalakan literasi sebagai tindakan mencegah hoaks tidaklah prima causa dalam menanggal kebohongan. Karena sekali lagi kita masih dapat terjebak ke dalam logika hoaks.
Preseden utamanya ialah bersikap ragu (skeptis). Membaca boleh, tetapi harus di dahului sikap ragu. Ragu adalah sikap yang membuat kita kembali, kepada fitrah, menjadi manusia, yang mengandalkan nalar dari argumen tak berdasar. Sehingga contradictio in terminis sebagai “binatang” yang berfikir, dapat ditanggalkan,
Bapak filsafat modern, Descartes, pernah mengingatkan kita lampau,”cogito ergo sum”. Aku berfikir (meragu), maka aku ada. Inilah yang membuat kita berbeda dengan binatang. Lewat menyangsikan, kita dapat menghindari hoaks yang secara rasion de être menuntut kepercayaan (wajib) untuk diamini, dihakini, dan dihayati bagi pemeluknya. Inilah sikap yang baik untuk dilakukan. Serta disisi lainnya amat tidak disukai oleh hoaks: sebagai sesuatu yang penuh kepentingan.
Dengan meragu, kita—sangat—dapat menghindari peristiwa diluar nalar semacam genosida bangsa Yahudi.