Satu artikel menarik diterbitkan oleh Geotimes.co.id pada Jum’at, 21 Agustus 2020 kemarin, masih sangat segar. Membahas tentang pembentukan ‘manusia baru’ ala Hok Gie-an yang diambil dari gagasan Soe Hok Gie 51 tahun yang lalu.
Gagasan itu berangkat dari situasi historis yang dialami oleh Hok Gie masa itu, di mana ia melihat generasinya yang sebagian besar telah kehilangan idealismenya akibat dididik dalam ‘optimisme-optimisme utopis tentang masa depan yang cerah’. Sehingga menyebabkan generasinya mengalami ‘kehancuran mimpi pada zamannya sendiri’ dan ‘demoralisasi dalam segala bidang’.
Situasi historis itu pulalah yang kemudian digunakan oleh Muhammad Husni (penulis artikel “Gagal Menjadi Manusia Baru”) untuk merefleksikan situasi dari generasi seangkatannya saat ini, yang olehnya dianggap masih terjebak dalam lubang yang sama dengan generasi angkatan Hok Gie.
Memang perlu kita sepakati, bahwa nampaknya mulai dari generasi Hok Gie hingga generasi saat ini, belum ada yang berhasil menemukan tangga yang cukup kuat untuk keluar dari lubang masalah tersebut (atau memang tidak ada yang berusaha keluar dari lubang tersebut?).
Jika kita melihat generasi dulu, yang mendaku paling pantas untuk disebut sebagai aktivis ketika masih memakai almamater dalam agenda-agenda perjuangan sosial penuh dengan idealisme yang termanifestasi dalam frasa ‘menyuarakan aspirasi rakyat’. Namun ketika lulus, pada akhirnya sebagian terjebak pula dalam kenikmatan politik sambil mengangkangi idealisme mereka dahulu. Dan Husni dengan cermat mengamati bahwa generasi saat ini masih belum bisa keluar dari masalah tersebut.
Namun dalam artikelnya, Husni tidak secara dalam menggali apa yang sebenarnya menjadi pokok permasalahan sehingga dari generasi ke generasi selalu terjebak dalam situasi yang sama. Ia hanya menjelaskan bahwa adanya dikotomi antara golongan ‘terpelajar’ (mahasiswa) dengan golongan ‘tak terpelajar’ (yang tidak mengenyam bangku pendidikan), sehingga membentuk pola pikir ‘superioritas’ dari golongan terpelajar tersebut yang membuat mereka merasa terpisah dari entitas sosialnya.
Namun hal itu saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa dari generasi ke generasi tidak mampu keluar dari masalah yang sama. Dan dalam rangka menyempurnakan diskursus menarik yang dibuat untuk mengkritik sekaligus menyadarkan generasi saat ini, maka rasanya perlu untuk memberikan kritik sekaligus analissi-analisis tambahan untuk memperjelas masalah apa yang sebenarnya kita hadapi.
Satu hal yang tidak disadari oleh Husni dalam analisisnya, ia tenggelam dalam kepercayaan bahwa dari generasi ke generasi selalu memiliki ‘idealisme’ sebagai pejuang sosial, dan pada saat mereka terjun ke dunia politik, akan selalu dikatakan bahwa mereka telah gagal mempertahankan ‘idealisme’ tersebut. Padahal perlu menjadi keraguan kita pula, apakah sebenarnya dari generasi ke generasi tersebut memang benar-benar memiliki idealisme seperti yang kita bayangkan?
Pertanyaan inilah yang kemudian membawa kita pada analisis masalah yang pertama, yaitu adanya pola pikir yang paradoks dari mahasiswa saat menjadi aktivis. Satu sisi mereka sangat keras menentang sistem korup yang dijalankan oleh generasi tua, namun di sisi lain mereka sendiri pun melaksanakan sistem korup tersebut dalam tatanan yang lebih kecil (organisasi kemahasiswaan).
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kecenderungan manusia adalah mendapatkan keuntungan untuk memenuhi kepuasan pribadi, begitu pun mahasiswa. Saat menempati posisi sebagai seorang organisatoris, yang memiliki kekuasaan, hal-hal seperti perebutan kekuasaan dalam organisasi, dinasti politik, bahkan hingga mengambil kesempatan untuk mendapatkan uang dari anggaran organisasi adalah hal yang biasa dalam dinamika organisasi mahasiswa.
Yang sebenarnya merupakan budaya yang mereka tentang ketikaa itu terjadi di tatanan pemerintahan. Oleh karenanya, apa yang kita sebut sebagai ‘idealisme’ ternyata masih merupakan hal yang paradoks bagi mahasiswa yang mendaku paling ‘idealisme’, sehingga belum pantas ketika kita mengatakan bahwa mereka kehilangan idealisme saat masuk ke dunia politik.
Selanjutnya, generasi yang dibentuk oleh media sosial seperti generasi seangkatan kita saat ini, memiliki masalahnya sendiri. Bahwa media sosial telah membentuk budaya narsisme pada generasi kita.
Sedangkan bagi generasi kita, budaya narsisme dibutuhkan untuk menunjukkan eksitensi mereka dalam entitas sosialnya, dan ketika eksistensi itu telah didapatkan, selanjutnya akan dengan mudah mereka menapaki jalan karir pribadinya.
Namun celakanya, jika narsisme tersebut dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang mendaku aktivis dengan memanfaatkan gerakan-gerakan sosial mahasiswa yang kita anggap sakral karena diilhami oleh ‘idealisme’, maka secara niscaya budaya tersebut akan memudarkan idealisme dari generasi kita.
Contoh-contoh kecil yang dapat kita lihat untuk memperjelas masalah ini adalah ketika momen demonstrasi besar-besaran bertajuk #ReformasidiKorupsi tahun 2019 lalu. Meskipun satu prestasi bahwa gerakan mahasiswa di abad 21 mampu menghimpun massa dalam jumlah yang sangat massif. Namun apakah massa tersebut memiliki idealisme untuk ikut dalam perjuangan sosial?
Ataukah ternyata mereka memiliki tujuan lain yang ingin mereka capai? Mari kita lihat bagaimana banyak mahasiswa yang tiba-tiba viral dengan poster-poster nyeleneh-nya di hari pertama, kemudian secara tiba-tiba pada aksi selanjutnya massa bertambah banyak, khususnya yang membawa poster. Apakah benar-benar karena diilhami oleh idealisme? Saya pikir kecil kemungkinan untuk itu.
Belum lagi kita lihat bagaimana kemudian terdapat mahasiswa-mahasiswa yang tiba-tiba mendapatkan ketenaran luar biasa setelah berhasil narsis di media-media khususnya televisi karena dianggap sebagai representasi dari gerakan mahasiswa yang massif tersebut. Apa yang mereka lakukan saat ini? Sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Husni, mereka telah menikmati endorse-endorse yang datang karena ketenaran mereka.
Dari 2 masalah utama di atas, pada akhirnya dapat kita simpulkan menjadi 1 masalah yang utama, yaitu ketidak-adaan idealisme murni yang mengilhami setiap generasi mulai dari generasi Hok Gie hingga generasi kita saat ini. Maka untuk menyelesaikan persoalan yang kompleks ini, tidak bisa sesederhana ‘koreksi diri habis-habisan, sehingga tidak ada lagi yang bisa dikoreksi’ sebagaimana yang ditawarkan oleh Husni dalam artikelnya. Kita perlu satu gagasan yang radikal, yaitu revolusi budaya mahasiswa.
Revolusi yang dapat mengubah budaya mahasiswa secara fundamental sehingga benar-benar dapat mengadakan agenda perjuangan sosial dengan ilham ‘idealisme’. Persoalan bagaimana revolusi budaya tersebut dilakukan, itu adalah tawaran ‘rumusan masalah’ yang saya berikan kepada generasi ini untuk merumuskannya.