Semangat anti-kebhinekaan nyata dalam agitasi penuh kebencian terhadap yang berbeda, sebagaimana dinyatakan para demagog maupun para radikalis.
Heterofobia semacam itu sesungguhnya lebih mewakili suatu otofobia; rasa terancam diri yang direlokasi pada pihak lain, yang berbeda, sebagai yang dibenci dan harus dihancurkan.
Kepercayaan silang dan pembangunan berkeadilan merupakan penawar penting untuk mengobati kebencian yang melemahkan tersebut.
Relokasi Keterancaman
Kebhinekaan Indonesia kini mendapat ancaman serius, sedikitnya dari dua arah berbeda. Ancaman pertama berasal dari politik kebencian berbasis identitas SARA yang gemanya makin kuat sejak Pilkada Jakarta 2017. Ancaman berikutnya berasal dari terorisme oleh para radikalis keagamaan yang menemukan kembali momentum gerakan mereka setelah kerusuhan di penjara Mako Brimob.
Kedua bentuk ancaman, tentu saja, memiliki karakter berlainan. Ancaman pertama menyalahgunakan sentimen primordial untuk menghasilkan dukungan politik dengan cara mendegradasi kesetaraan identitas. Sedangkan ancaman kedua mendayagunakan secara destruktif kekerasan untuk menyerang rumah ibadah dan aparatur kepolisian, yang dianggap menghalangi kepentingan mereka.
Kendati tidak bertalian langsung, keduanya berkelindan terkait dampak ancaman terhadap kebhinekaan, yang sejak mula melandasi keberlangsungan negara Indonesia. Hal ini dapat pula ditelusuri dari agitasi yang mengesankan bahwa terorisme merupakan hasil rekayasa pemerintah, sebagaimana disampaikan pihak-pihak yang kerap melakukan politisasi SARA.
Upaya untuk menampik kebhinekaan tersebut dapat dinyatakan sebagai pelemahan keIndonesiaan. Konstruksi Indonesia dirancang para pendiri negara dengan basis kebhinekaan, yang memang menjadi ciri hakiki Nusantara. Ketika menyampaikan pokok pikirannya tentang landasan Indonesia merdeka, Soekarno menegaskan bahwa negara yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.
“Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia,” begitu Soekarno berseru pada 1 Juni 1945 di hadapan majelis BPUPKI, yang menyambut dengan dukungan gempita. Pokoknya, Indonesia didirikan sebagai suatu negara ‘semua buat semua.’
Semangat gotong-royong tersebut kini ditampik lewat agitasi berperspektif sempit yang mengekspresikan suatu heterofobia. Di sini yang berbeda dianggap asing sekaligus harus dimusuhi. Perbedaan dipandang sebagai suatu penghalang untuk perwujudan kepentingan diri, karena itu stigmatisasi dibutuhkan sebagai suatu pembenar bagi tindakan membenci yang berbeda.
Hardiman (2005) menunjukkan bahwa sistem ketakutan yang mendasari heterofobia bersumber dari ketakutan terhadap diri sendiri; heterofobia adalah otofobia. Mereka yang takut terhadap diri sendiri cenderung melihat yang lain sebagai ancaman keberlangsungan kepentingannya. Rasa takut itu dapat menjadi sumber kekejaman (menyerang yang lain demi meredam fobia), dan ia berakar dari diri sendiri.
Heterofobia, yang adalah suatu otofobia, kerap bertolak dari krisis yang dipersepsi sebagai suatu ancaman. Kemungkinan kalah dalam Pemilu atau kesulitan lapangan pekerjaan, misalnya, dapat saja bertemu dengan perasaan tercerabut akibat kompleksitas dinamika sosial pada tataran massa. Celakanya, sumber ancaman tersebut kemudian direlokasi pada non-ego; yang berbeda lantas diobjektifasi sebagai penyebab krisis, yang harus dibenci dan bahkan dihancurkan hingga luluh lantak.
Membangun Kepercayaan
Berhadapan dengan semangat anti-kebhinekaan tersebut, salah satu pokok yang dapat disodorkan untuk mengatasinya adalah kepercayaan. Simmel (1950) menegaskan bahwa “kepercayaan merupakan salah satu daya sintetik yang paling penting dalam masyarakat.” Tanpa suatu kepercayaan silang, kohesivitas akan luruh bersamaan dengan runtuhnya kesatuan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial ketika kerja sama merupakan suatu keniscayaan, kita tidak mungkin meniadakan sama sekali kepercayaan terhadap mereka yang berbeda. Kepercayaan mengukuhkan hubungan dan memungkinkan dilakukannya tindakan bersama, terutama ketika pengetahuan tentang orang lain lebih merupakan pemahaman terhadap kenyataan-kenyataan eksternal.
Menimbang orientasi identitas individu yang tidak pernah tunggal, sesungguhnya kita tidak pernah memiliki pengetahuan utuh tentang orang lain. Kita tahu identitas etnisnya, tetapi mungkin kita tidak tahu orientasi politiknya; kita kenal identitas agamanya, namun barangkali acuan prinsip ekonominya masih gelap bagi kita. Suntikan kepercayaanlah yang membuka jalan bagi kegotong-royongan.
Dalam kerangka gagasan tentang kepercayaan, Guido Möllering (2001) menekankan tiga unsur pokok. Pertama, harapan. Suatu relasi tumbuh di antara harapan-harapan, dan kepercayaan dapat menguat ketika relasi menghasilkan perwujudan harapan. Negara dengan keberagaman masyarakat di dalamnya memiliki objektif tertentu yang mungkin untuk diwujudkan melalui kerja sama penuh kepercayaan.
Kedua, pemaknaan. Orang menafsirkan pengalaman-pengalaman mereka tentang dunia kehidupan, dan hal ini memberi landasan bagi tumbuhnya kepercayaan (manakala terdapat alasan-alasan yang dipandang tepat). Selama 73 tahun terakhir, sepatutnya orang belajar bahwa pemahaman silang dan kepercayaan satu sama lain, bukan kebencian, yang menjaga keberlanjutan Indonesia.
Ketiga, harus ada penangguhan. Selalu ada sisi yang kita tidak ketahui tentang orang lain, tanpa penangguhan tersebut relasi menjadi suatu kemustahilan. Hal ini mendorong lebih lanjut minimasi prasangka terhadap mereka yang berbeda. Namun, tetap dibutuhkan pengetahuan lebih baik tentang orang lain demi menghasilkan tingkat kepercayaan tertentu sehingga relasi berlangsung konstruktif.
Selain kepercayaan, kita membutuhkan pembangunan berorientasi keadilan. Timpangnya distribusi kesejahteraan di tengah pertumbuhan positif ekonomi Indonesia dapat ditunjuk sebagai salah satu masalah yang memperuncing prasangka identitas. Tanpa perhatian memadai terhadap aspek distribusi, pembangunan akan menghasilkan keterpinggiran yang satu sebagai biaya keberhasilan yang lain.
Keterpinggiran relatif tersebut dapat disalahgunakan oleh para demagog maupun para radikalis untuk menumbuhkan antagonisme. Bahan bakar konflik, yang telah disediakan oleh ketimpangan sosial, dapat makin membara dihembus prasangka berbasis identitas. Seruan kebencian, alih-alih mempersatukan, hanya menjadi ancaman bagi tegaknya bangunan keindonesiaan kita.
Perpecahan dalam masyarakat, sesungguhnya, tidak mungkin dipertukarkan dengan perolehan jabatan politik atau janji palsu surga para radikalis. Mengatasi ketimpangan dan hambatan komunikasi kiranya dapat menggerus kecenderungan heterofobia. Kepercayaan, bukan kebencian, yang menghubungkan kebhinekaan Indonesia.