Pesan Allah berupa Al-Qur’an yang terdokumentasikan dalam wujud mushaf Utsmani, menjadi pedoman hidup seluruh umat Islam yang meyakininya sebagai kitab suci yang penuh dengan pesan, hikmah dan hidayah-Nya. Upaya yang dicurahkan dalam penggalian rangkaian pesan Allah yang bersemayam di dalamnya sudah dimulai sejak kisaran 13 abad yang lalu, yaitu pada masa Dinasti Umayyah. Model upaya yang diterapkan guna menggali pesan Allah menggunakan metode “tafsir/penafsiran”.
Bermunculannya para mufassir dari Arab (seperti Muqatil bin Sulaiman hingga Ibn Katsir) pada masa awal-awal islam, secara kuat mengindikasikan bahwa dunia Arab sangat menganut pada peradaban teks. Pemahaman dan pencarian pesan Allah lewat teks tersebut (Mushaf Utsmani), menjadi sarana dan jalan utama dalam mencari pesan Allah di dalamnya (Nasr Hamid Abu Zaid: 2001).
Dari upaya penggalian pesan Allah tersebut, terdapat beberapa metode pelengkap dalam penafsiran seperti Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Balaghah dan lain sebagainya. Namun, pengkristalan klaim kebenaran dan keotentikan pesan Allah yang didapatkan melalui penggunaan metode penafsiran tersebut meniscayakan timbulnya asumsi bahwa makna objektif sudah melekat pada lafal atau bahasa teks mushaf Utsmani. Hal inilah yang menyebabkan “penafsiran” sebagai metode/pendekatan yang otoritatif nan sakral dalam pencarian wahyu Allah.
Maka, metode berpikir mereka hanya terpaku pada teks dan bahkan struktur internal teks menjadi patokan utama dalam mecari pesan Tuhan, tanpa melihat realitas eksternal teks, kecuali realitas penutur bahasa asli.
Namun disayangkan, makna yang mereka peroleh dengan pendekatan tersebut dipahami sebagai pesan Allah yang obyektif. Padahal, makna yang diperoleh tersebut didapatkan dari penafsiran yang termasuk metodologi kreasi manusia yang sangat mungkin mengalami kekurangan dan dapat diperbaharui sesuai konteks zaman, terbukti dari banyaknya penafsir yang bermunculan silih berganti dengan variasi metodologi penafsiran masing-masing.
Sekilas Tentang Hermeneutika
Penafsiran (Tafsir) dalam definisi yang sudah mapan, bukanlah satu-satunya metode mutlak yang digunakan dalam menggali pesan Tuhan, dan tidak ada satu orang pun yang memutlakannya. Bahkan dalam Al-Qur’an pun, kata “tafsir” hanya disebutkan satu kali berbeda dengan kata “takwil” yang disebutkan sebanyak tujuh belas kali (beberapa kalangan mengaitkan takwil dengan istilah hermeneutika).
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity menyatakan metode penafsiran selama ini, yang diterapkan dalam bentuk penulisan komentar-komentar terhadap karya-karya yang telah ada tidak memberikan sumbangan apapun pada kemajuan diskursus/wacana ilmu-ilmu keislaman sejak zaman pertengahan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dipahami karena mereka hanya membubuhkan komentar tambahan tanpa menawarkan gagasan wacana pemikiran yang baru.
Hermeneutika sebagai metodologi penggalian pesan Tuhan yang tertuang dalam bahasa manusia, hadir sebagai diskursus keilmuan kontemporer yang turut memeriahkan kontestasi keilmuan Al-Qur’an yang ada. Istilah hermeneutika merupakan turunan dari kata kerja Yunani, Hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermens dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno, bernama “Hermes”.
Hermes merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan ilahi yang memakai bahasa “langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”. Untuk tujuan itulah diperlukan interpretasi heurmenetis. Tentu dalam pembahasan ini, Hermeneutika diulas pemakaiannya dalam menggali pesan Allah dalam Al-Qur’an (Richard E. Palmer: 1996).
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Karena itu ada 3 bentuk hubungan hermeneutika; hubungan penggagas (pemilik pesan: Allah) dengan teks, hubungan pembaca dengan penggagas, dan hubungan pembaca dengan dengan teks. Perbedaaan penekanan dalam pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokan menjadi tiga kategori: teoritis, filosofis, dan kritis (Joseph Bleicher: 1980).
Pertama, hermeneutika teoritis, menurut Nasr Hamid Abu Zaid hermeneutika ini menitikberatkan pada problem “pemahaman”. Yakni bagaimana memahami dengan benar. Adapun makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna objektif yang dikehendaki penggagas teks (Allah). Karena tujuannya memahami secara objektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai “hermeneutika romantis” yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”.
Kedua, hermeneutika filosifis, penekanan dalam hermeneutika ini ialah problem bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri, bukan memahami teks dengan benar dan objektif. Gadamer, sang penggagas hermeneutika ini, menjelaskan bahwa hermeneutika ini berbicara watak interpretasi bukan teori interpretasi. Karena teori interpretasi apapun untuk menggali makna objektif dari penggagas teks (Allah) ialah mustahil dicapai karena sang pembaca tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi penggagas teks (Allah) untuk mengetahui makna aslinya.
Ketiga, hermeneutika kritis, hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap maksud/risalah/ kepentingan dibalik teks, dengan tokohnya Habermas. Habermas menempatkan dimensi ideologis penafsir dan teks sebagai medium utama dalam penafsiran. Sehingga dia mengandaikan teks sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan maksud pengguna teks. Oleh karena itu selaian horizon penafsir, teks juga ditempatkan dalam ranah yang juga perlu dibahas.
Dari ketiga kategori hermeneutika tersebut, jika kita amati, tidak menyimpang dari metode penafsiran teks klasik, namun memberikan tawaran metode dan teori baru dalam penggalian pesan Allah di dalam mushaf Al-Qur’an.
Hukum Menggunakan Hermenutika
Ada tiga kelompok pemikir dalam menyikapi penggunaan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an, yaitu;
1. Menolak penggunaan hermeneutika dalam studi mushaf Al-Qur’an dengan alasan, hermeneutika berasal dari Yunani yang kemudian diadopsi oleh Kristen. Pandangan dunia yang melahirkan hermeneutika berbeda dengan pandangan dunia Islam. Andaikata ia digunakan dalam studi mushaf Al-Qur’an, maka akan menghilangkan dimensi ilahiyah Mushaf Al-Qur’an. (Hamid Fahmi Zarkasyi: 2008)
2. Menerima secara mentah-mentah dan bahkan mengizinkan penggunaan hermeneutika apa saja ke dalam studi mushaf Al-Qur’an tanpa memilah-milah model hermeneutika. Mereka berkeyakinan, dari manapun datangnya sesuatu, selama ia membawa manfaat, maka harus diambil. Lebih-lebih teori tafsir yang selama ini menguasai pentas penafsiran mushaf Al-Qur’an tidak lagi mampu menawarkan pemahaman baru yang mampu menjawab pelbagai tantangan modernitas. (Nazaruddin Umar: 2006)
3. Kelompok ini muncul mengambil jalan tengah sebagai alternatif dari sikap ekstrem diatas. Kelompok ini mengambil teori hermeneutika tertentu guna mendukung upaya mengungkap pesan ilahi tanpa mengenyampingkan ke-Ilahian Mushaf Al-Qur’an. Kelompok ini sejalan dengan hadis Nabi “hikmah itu milik orang-orang yang beriman, dimanapun ia ditemui maka mereka lebih berhak tehadap hikmah itu”.
Mungkinkah pesan Allah ditemukan melalui hermeneutika?