Beberapa waktu lalu terdapat bazar buku yang diselenggarakan di ICE BSD dan beberapa kota-kota besar. Ya, Big Bad Wolf Book atau biasa disingkat dengan BBW. Bazar buku yang mengklaim terbesar di dunia, dan menjual berbagai macam tipe buku dengan diskon besar-besaran yang membuat harga jualnya semakin murah. Tentu, siapa yang tak melewatkan kesempatan emas bagi para penikmat buku ini? Siapa yang tak tertarik untuk membeli dan memborong buku-bukunya? Boom!
Saya sendiri termasuk orang yang tak melewatkan kesempatan tersebut. melihat-lihat, menikmati setiap buku yang bertumpuk pada rak-rak, dan sehingga tanpa disadari saya kalap untuk memborong buku-buku yang menarik minat saya untuk membacanya; “menarik nih, udah ah beli aja mumpung lagi murah, lumayan juga buat koleksi”. Sebutan sebagai bibliophile mungkin cocok untuk orang seperti saya, dan saya pun yakin bahwa sebagian besar orang-orang yang hadir ke BBW adalah orang-orang bibliophile, yang menurut Merriam-Webster adalah seseorang yang benar-benar mencintai buku baik itu membacanya dan mengoleksinya.
Pada titik ini saya menyadari suatu hal penting, bahwa saya dan orang-orang yang hadir pada BBW lalu adalah orang-orang yang telah terjebak dalam dominasi budaya intelektualitas yang menganggap bahwa teks -buku- adalah sumber pengetahuan, dan bahwa teks membuat pembacanya kaya akan ilmu dan wawasan. Sehingga tanpa kita disadari, membeli dan mengkonsumsi buku-buku merupakan sebuah norma budaya umum yang telah hadir pada diri kita tanpa paksaan.
Terlebih, kita seringkali mengglorifikasi pengetahuan yang kita miliki bersumber dari teks-teks atau buku, sekaligus juga mengkritik seseorang yang memiliki pengetahuan dengan menanyakan sumber buku apa yang telah dibacanya, merupakan sebuah pemberhalaan intelektualitas. Meminjam konsep dari terminologi Gramsci, lebih lanjut saya menyebut fenomena ini sebagai hegemoni teks.
Mengapa demikian? Sebelum lebih jauh, hegemoni bagi Gramsci adalah jenis hubungan sosial khusus yang kelompok dominannya terus mengartikulasikan visi, ideologi maupun norma budayanya untuk mempertahankan posisinya dengan persetujuan secara spontan, bahkan tidak disadari. Hal ini lantas diklaim sebagai suatu hal yang universal sehingga pandangan kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa disadari. Inilah yang menjadi sorotan.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan Gramsci dengan teori hegemoninya, hal tersebut dapat dikontekstualisasikan pada norma budaya pemberhalaan buku ini. Hal ini merupakan sesuatu yang absurd ketika realitas yang ada dalam kehidupan berpengetahuan hanya tervalidasi melalui teks-teks dan buku; basis pengetahuan yang kita miliki hanyalah dan haruslah semata-mata pada tulisan.
Parahnya, hal ini merupakan norma budaya yang dianggap lazim dan sah untuk dijalani, sekalipun dalam konteks perguruan tinggi atau universitas. Sehingga kerap kali pernyataan atau argumentasi yang berdasarkan pengalaman aktual dan konkret dianggap tak memiliki kekuatan apa-apa hanya dikarenakan tak memiliki validitas berupa tulisan dan tak dibukukan.
Memang kita pun tak dapat menafikan pula bahwa buku adalah sumber ilmu. Theodore Roosevelt dalam pidatonya pun juga menyebutkan: “Aku adalah bagian dari semua yang telah aku baca”.
Namun, yang jadi permasalahan adalah telah terjadi glorifikasi masif terhadap teks-teks dan buku, apa yang disebutkan oleh Roosevelt diatas adalah perihal teknis konservasi pengetahuan saja, dan kebetulan buku adalah pilihan Roosevelt. Jika memang budaya tulisan adalah sumber pengetahuan, bagaimana suku Bajo sebagai ‘pengembara laut’ yang tak pernah akrab dengan budaya aksara dapat mengerti cara menyelam dan menurunkan pengetahuan yang dimilikinya kepada generasi berikutnya?
Pun juga kita tak dapat menafikan pula bahwa terdapat aforisme latin yang berkata Verba Volant Scripta Manent, yang lantas membuat Pramoedya Ananta Toer menuliskan kutipan pada salah satu roman tetraloginya Rumah Kaca, yaitu: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Namun kini dengan perkembangan zaman dan teknologi, banyak sekali instrumen konservasi pengetahuan berupa visual, audio, hingga audio-visual. Hal tersebut hanyalah perkara teknis bagaimana pengetahuan dikonservasi sehingga dapat bertahan lintas-zaman. Mungkin saja, jika Pramoedya masih hidup saat ini, ia akan merevisinya dan mengatakan “Ngevlog adalah bekerja untuk keabadian”, siapa yang tahu?!
Mungkin hal ini terdengar sangat memaksakan, namun begitulah yang terjadi pada lingkungan kita ini hari-hari ini. Pun dalam tulisan ini, saya pun tetap menggunakan tradisi tulisan sebagai media penyampaian argumentasi dan sumber untuk mengisi tulisan ini. Bukan karena instrumen lain tak bisa dijadikan sumber, namun lebih kepada keabsahan dan validitas data yang digunakan dalam kepenulisan. Hal ini yang saya amini sebagai bentuk dari hegemoni teks.
Namun suatu hal yang pasti, bahwa berpengetahuan bukanlah semata ingin membaca banyak teks tulisan, lantas memberhalakan buku sebagai sumber intelektualitas. Lebih dari itu, berpengetahuan adalah sikap rakus akan ilmu dan wawasan, sikap yang berusaha memahami suatu hal secara komprehensif dan kritis. Singkatnya, bukan tekstualitas dan buku-bukulah yang harus ditegakan, namun spirit akan berpengetahuanlah yang perlu untuk terus dibudayakan. Salam!