Jumat, April 26, 2024

Hedonisme Spiritual dalam Haji

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Salah satu cara memahami kandungan al-Qur’an adalah munasabah. Yaitu hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, semisal antara ayat tertentu dengan ayat sebelum atau sesudahnya. Terkait syariat haji yang disebutkan dalam Surat Ali ‘Imran [3]: 97, terlebih dulu perlu memperhatikan ayat-ayat sebelumnya.

Menarik saat mengetahui bahwa sebelum ayat syariat haji, Allah SWT menekankan ayat tentang kebaikan sosial (al-birr). Tepatnya pada permulaan Juz 4 yang secara luwes bermakna, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan yang luas, hingga kalian menginfakkan apa yang kalian senangi. Dan apa yang kalian infakkan, berupa sesuatu yang sedikit sekalipun, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 92).

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kesenangan manusia adalah menggunakan uangnya untuk kegiatan wisata (traveling). Apalagi di zaman now yang dipenuhi media sosial untuk menunjukkan eksistensi (keberadaan) diri.

Bisa jadi traveling itu berupa wisata umum, seperti bertamasya ke pantai, gunung, dan tempat wisata; baik domestik maupun mancanegara; atau berupa wisata ruhani, seperti ziarah wali, umrah dan haji. Semua jenis wisata tersebut menyenangkan, karena menambah pengalaman sekaligus beristirahat dari rutinitas sehari-hari yang umumnya melelahkan.

Sekali-dua kali berwisata adalah wajar. Akan tetapi, jika berkali-kali berwisata, tentu menjadi sorotan masyarakat. Apalagi jika orang tersebut jarang menunjukkan kepedulian sosial. Misalnya, jarang berbagi harta kepada sanak famili, tetangga, fakir miskin, anak yatim, kaum dhuafa, masjid, mushalla, madrasah, pesantren, dan sebagainya.

Lebih disorot lagi, bahkan dicibir atau dinyinyirin, jika wisata tersebut membutuhkan biaya besar yang seharusnya dapat digunakan membantu pihak yang membutuhkan. Misalnya, perjalanan haji atau umrah yang menelan biaya puluhan juta rupiah.

Seandainya saja uang puluhan juta tersebut diberikan sebagai modal kerja bagi orang-orang yang giat bekerja, namun kesulitan modal kerja, tentu manfaatnya lebih luas; karena bermanfaat bagi banyak orang, alih-alih hanya bermanfaat bagi perorangan. Dalam kaidah fikih dinyatakan, “kegiatan yang manfaatnya menyebar itu lebih baik daripada kegiatan yang manfaatnya terbatas” (al-‘amal al-muta’addi khairun min al-qashir).

Problemnya adalah egoisme manusia yang sangat mencintai aktivitas duniawi (Q.S. al-Ádiyat [100]: 8) dan terkadang dibalut dengan “bumbu-bumbu” ukhrawi. Inilah yang disebut hedonisme spiritual.

Yaitu menyukai kegiatan duniawi, namun dibungkus kegiatan ukhrawi. Contoh hedonisme spiritual adalah berkali-kali melakukan haji, umrah atau ziarah wali; padahal statusnya belum mencapai kebutuhan sekunder (hajiyat) yang jika ditinggalkan dapat mengakibatkan kesulitan hidup, apalagi kebutuhan primer (dharury), yang jika ditinggalkan dapat mengakibatkan kebinasaan hidup. Seringkali wisata ruhani tersebut hanya berstatus kebutuhan tersier (tahsiniyat), sekedar mengejar kemewahan hidup.

Bagaimana alternatif solusinya? Perlu kiranya kita meneladani sikap Nabi Ya’qub AS (Israíl) yang mampu menahan dari dari mengonsumsi makanan yang halal, semata-mata demi meningkatkan kualitas diri beliau di hadapan Allah SWT.

Dalam Surat Ali Ímran [3]: 93 dinyatakan: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang di haramkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan”. Sebagai nabi dan rasul, mustahil Nabi Ya’qub AS mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT.

Oleh sebab itu, ayat ini bermakna Nabi Ya’qub AS sengaja tidak mau mengonsumsi makanan yang halal, semata-mata demi kebaikan diri beliau. Tentu kebaikan bagi seorang nabi dan rasul adalah semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukankah sudah lumrah di kalangan sufi, bahwa mereka bersikap wira‘i, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang dihalalkan, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dimakruhkan atau diharamkan.

Sikap wira‘i Nabi Ya’qub AS itulah yang seharusnya diteladani oleh orang-orang yang mengidap hedonisme spiritual. Yaitu menahan gejolak nafsu untuk berkali-kali menjalankan ibadah haji dan umrah, sekalipun dia berlandaskan pada argumentasi ulama yang membolehkannya, alias berstatus halal.

Apalagi jika mempertimbangkan pendapat ulama yang mengecam ibadah haji atau umrah berkali-kali, seperti Almaghfurlah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Berikut kutipan ringkasan pendapat beliau sebagaimana dilansir laman www.merdeka.com, tertanggal 24 Agustus 2012.

Pertama, Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, “Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan”.

Kedua, Saya tanyakan kepada ustadz-ustadz yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi.

Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi.

Ketiga, Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang? Mana ada ayat al-Qur’an dan Hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah SAW, sebutkan Hadis yang menyatakan itu, tidak ada; maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu.

Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan.

Pada akhirnya, tulisan ini menggaris-bawahi tiga hal. Pertama, haji atau umrah merupakan syariat Islam yang “eksklusif” atau mewah, karena tidak semua orang berkesempatan diundang oleh Allah SWT ke Baitullah di Makkah. Kedua, status eksklusif dan mewah tersebut menjebak banyak umat muslim untuk melakukan haji atau umrah berkali-kali, padahal tidak tergolong kebutuhan sekunder (hajiyat), apalagi primer (dharury). Jadi, niatnya berubah, dari menjalankan syariat Allah SWT, menjadi mengikuti hawa nafsu.

Haji yang seperti ini tergolong hedonisme spiritual.. Yaitu kelihatannya ibadah ukhrawi, padahal hakikatnya kegiatan duniawi. Ketiga, daripada berkali-kali melakukan haji dan umrah yang manfaatnya terbatas (perorangan), lebih baik dananya didermakan untuk kepentingan sosial yang manfaatnya tersebar-luas. Pada titik inilah, seorang muslim benar-benar mengamalkan Hadis, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (H.R. al-Thabarani).

Sumber Referensi:

https://www.merdeka.com/khas/berhaji-dan-berumrah-berulang-kali-pengabdi-setan-wawancara-ali-mustafa-y-2.html

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.