Selasa, April 30, 2024

Haruskah ar-Ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunnah?

Yahya Fathur Rozy
Yahya Fathur Rozy
Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir

“Bapak dan ibu sekalian, segala kemaksiatan dan kemunduran umat islam saat ini tidak lain dan tidak bukan, disebabkan oleh kelalaian kita terhadap perintah-perintah Allah SWT di dalam al-Qur’an dan pedoman-pedoman yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW, maka solusi dari semua itu ialah ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah (kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah)“. 

Begitulah kiranya sekilas petuah yang diwejangkan oleh kebanyakan ustadz yang saya dengar dan amati. Merespon keadaan umat Islam yang kian terpuruk seiring perkembangan zaman.

Penawaran solusi berupa “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“ seakan menjadi solusi ampuh untuk membangkitkan kembali marwah dan izzah kaum Muslimin. Lantas, bagaimana konsep “ ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah “ yang dapat kita terapkan dan implementasikan guna menuntaskan berbagai permasalahan?

Apakah hanya dengan sering membaca al-Qur’an dan Hadis Nabi dan mengamalkannya berdasarkan pemahaman kita? Apakah dengan mempelajarinya lewat para ustadz yang kita percayai? Ataukah dengan mempelajari seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan syarah-syarah hadis? Tentu kita belum mempunyai gambaran yang kongkrit dalam mengkonstruksi kalimat “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“ sebagai suatu konsep utuh untuk diimplementasikan dalam bentuk praksis gerakan.

Amin Abdullah (2015) menawarkan dua metode pembacaaan dan pemaknaaan kalimat “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“. Pertama,ialah metode cara baca qira’ah taqlidiyyah (tekstual dan semi-tekstual), yang dalam praktiknya lebih berpedoman dan terbimbing oleh cara baca dan tuntunan yang diajarkan oleh para pendahulunya.

Maka konsekuensi mengikuti cara baca seperti ini ialah terbentuknya aliran-aliran, golongan-golongan sosial (tha’ifiyyah), dan mazhab-mazhab (mazahib) yang tidak menerapkan pembacaan dan analisa kritis terhadap teks al-Qur’an dan Hadis.

Para pengguna metode ini hanya mengikuti bagaimana para pendahulunya membaca dan memaknainya. Tidak ada cara baca atau pemahaman secara kritis yang berbeda dari kelompoknya. Namun, cara baca seperti inilah yang kerap kali dipakai dalam memaknai kalimat “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“ untuk memecahkan problematika zaman.

Sebagai contoh ialah wacana untuk mendirikan negara Islam (yang umumnya disebut dengan sistem khilafah). Tentu para pendukung dan pejuang terwujudnya wacana ini melihat kilas balik sejarah keemasan yang dulu pernah diraih oleh umat Islam dengan sistem khilafahnya.

Mereka mengkampanyekan dan mempromosikan gagasan dan wacana ini secara masif hingga taraf internasional (yaitu Hizbut Tahrir, organisasi trans-nasional pengusung sistem khilafahyang status keberadaannya sudah dilarang di Indonesia).  Niat mereka memang baik, yaitu mencita-citakan terwujudnya perdamaian, kemakmuran, dan ketentraman hidup dalam nuansa keislaman atas naungan sistem khilafah.

Namun jika kita tinjau lebih dalam dengan kaca mata  kritis, akan muncul berbagai kejanggalan, seperti bagaimana sistem dan konsep khilafah yang akan dibangun? Akan berpedoman kepada sistem khilafah yang mana, sistem khilafah Dinasti Umayyah, Abasysyiah, Utsmaniyyah, atau al-Khulafa al-Rasyidun?

Bukankah sistem dan konsep kekhilafahan setiap dinasti-dinasti terdahulu itu berbeda? bahkan terdapat banyak pertumpahan darah didalamnya? seperti itukah yang akan dicontoh? Relevankah sistem khilafah yang diterapkan dahulu untuk kembali diterapkan pada zaman sekarang dengan kondisi dan konteks zaman yang jauh berbeda?

Bukankah, dalam urusan dunia, Islam hanya mengajarkan nilai ideal sementara caranya dilimpahkan secara penuh sesuai kreasi implementatif manusia? Tentunya, banyak sekali celah dan kejanggalan ketika mengkonstruksi konsep praksis-kontekstualis dari kalimat “ ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah “ jika menggunakan metode qira’ah taqlidiyyah. 

Kedua, yaitu metode pembacaan Taarikhiyyah Maqashidiyyah (Kontekstual). Cara ini mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dinamika sejarah dan sosial-budaya secara cermat-keilmuan (qiraa’ah tarikhiyyah-‘ilmiyyah) dan tidak hanya berhenti di situ, tetapi dilandasi dengan semangat memprioritaskan apa tujuan utama beragama (maqashid syari’ah).

Dalam pemakaian cara baca dan metode ini, diperlukan seperangkat ilmu yang tidak hanya linguistik (kebahasaan) dalam memahami al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga ilmu-ilmu baru seperti ilmu-ilmu sosial, budaya, dan sains modern pada umumnya.  Seberat apapun, namun hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pemakanaan “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“ berhenti hanya pada pemaknaan bercorak tekstualis.

Terdapat 2 prinsip penting yang menjadi kunci utama dalam menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual. Pertama, makna dan arti adalah bercorak interaktif. Artinya, pembaca (reader) -sebutlah sebagai umat yang mempunyai berbagai keahlian (expert) secara umum- ikut serta sebagai participant dalam memproduksi makna dari sebuah teks atau nash, dan bukan penerima pasif, yang hanya begitu saja menerima makna.

Kedua, makna teks atau nash sesungguhnya adalah cair (fluid), tidak berhenti atau beku. Makna teks dapat ditembus oleh perubahan, yakni tergantung pada waktu, konteks penggunaan bahasa, dan keadaan sosial-sejarah. Pemahaman ini adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari corak tafsir kontekstual yang sedang kita bahas sekarang.

Jadi dengan penggunaan metode ini, akan ditemukan konsep “ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah“ secara jelas dan utuh yang secara praksis dapat diterapkan dengan efektif karena didalamnya terdapat integrasi dan interkoneksi antara penafsiran teks/nash dan ragam ilmu yang sesuai untuk memecahkan problematika yang terjadi.

Dalam kasus ini, kita bisa melirik Muhammadiyah dalam penggunaan metode ini. misalnya ketika ingin mencetus buku “Fikih Air“ Majelis Tarjih PP Muhammadiyah sebagai pelaksana, tidak hanya mengundang  cerdik pandai dari kalangan ulama dalam bidang keilmuan agama (Ahli Ushul Fiqh, Mushtholah Hadis, Pakar Bahasa Arab, dan Tafsir) saja, namun juga mengundang Stakeholder yang mumpuni dalam masalah air.

Maka, produk yang dihasilkan dari metode ini sangatlah komprehensif dan kontestual karena terdapat perpaduan yang utuh di antara religous science dan pure science di dalamnya. “ ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah “ sangat bisa menjadi solusi atas segala permasalahan jika  menggunakan cara/metode baca seperti ini.

Yahya Fathur Rozy
Yahya Fathur Rozy
Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.