Kamis, Maret 6, 2025

Harmonisasi Regulasi Pertanahan Nasional

Muh Khamdan
Muh Khamdan
Pengajar dan peneliti studi perdamaian fokus pada kajian konflik, resolusi damai, dan pembangunan berkelanjutan, dengan pendekatan interdisipliner untuk menciptakan solusi damai yang inklusif.
- Advertisement -

Ketidakharmonisan regulasi pertanahan di Indonesia menjadi akar dari berbagai permasalahan, mulai dari tumpang tindih kewenangan hingga munculnya sengketa lahan. Berbagai regulasi yang mengatur pertanahan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Transmigrasi, sering kali berseberangan dalam implementasinya. Ketidaksinkronan ini diperparah dengan keberadaan status lahan adat ulayat serta tanah bekas penguasaan orang asing (eigendom), yang menambah kompleksitas administrasi pertanahan nasional.

Salah satu dampak dari ketidakharmonisan ini adalah banyaknya praktik “aji mumpung” dalam pengurusan lahan, termasuk dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program yang sejatinya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah justru sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi.

Kasus-kasus seperti polemik pagar laut di Tangerang, Bekasi, dan berbagai daerah lainnya menjadi contoh nyata bagaimana ketidakjelasan status lahan dapat menimbulkan konflik. Perdebatan terkait status lahan hutan lindung, cagar alam, dan kawasan mangrove semakin memperlihatkan urgensi harmonisasi regulasi pertanahan.

Permasalahan tanah di Indonesia erat kaitannya dengan riwayat kepemilikan tanah, yang sering kali memicu sengketa akibat perbedaan dokumen administratif. Sengketa yang muncul umumnya bermula dari tingkat desa, di mana kepala desa memiliki peran krusial dalam mengeluarkan berbagai dokumen pertanahan. Riwayat tanah yang melibatkan warisan, hibah, jual beli, dan perpindahan hak semakin memperumit proses administrasi tanah. Realitas ini seperti sengketa rumah warga cluster Setia Mekar Residence  2 di Kabupaten Bekasi yang dirobohkan juru sita pengadilan padahal warga memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) secara sah.

Pemerintah perlu segera merumuskan kebijakan pertanahan yang lebih integratif dengan melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Kehutanan, Kementerian Desa, Kementerian Transmigrasi, dan Kementerian Hukum. Regulasi yang jelas dan terkoordinasi tidak hanya akan meminimalisir potensi penyimpangan, tetapi juga mengoptimalkan tata kelola pertanahan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi masa depan Indonesia.

Dalam praktiknya, tumpang tindih regulasi pertanahan seringkali menciptakan lahan abu-abu dalam kebijakan tata ruang dan pemanfaatan tanah. Hal ini berakibat pada lemahnya kepastian hukum dalam pengelolaan aset tanah, terutama dalam investasi dan pembangunan infrastruktur. Lahan yang pada awalnya ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung, misalnya, bisa berubah statusnya akibat keputusan yang tidak terkoordinasi antara kementerian terkait. Fenomena ini menghambat realisasi program pembangunan nasional serta berpotensi memicu konflik sosial di tingkat masyarakat.

Sebagai contoh dalam beberapa tahun terakhir, terjadi kasus konversi lahan yang tidak sesuai peruntukan, seperti alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan perumahan atau industri. Di banyak daerah pesisir, lahan yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari ekosistem pesisir justru diperjualbelikan dengan dalih legalitas yang kabur. Fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan masih berlakunya praktik manipulasi administratif dalam sektor pertanahan.

Lebih lanjut, program PTSL yang menjadi andalan dalam percepatan legalisasi tanah juga tidak lepas dari tantangan. Banyak tanah yang berstatus sengketa tetap dimasukkan dalam program ini, meskipun belum ada kejelasan hukum terkait kepemilikannya. Kasus-kasus seperti ini berpotensi memperbesar konflik agraria yang semakin kompleks. Sebayak 84 SHM warga Desa Segarajaya Bekasi atau 89 bidang tanah seluas 11 hektare dari program PTSL yang berada di daratan misalnya, justru diduplikasi tercatat sebagai area pagar laut di Paljaya Bekasi

Dalam konteks hukum agraria, semangat reforma agraria harus tetap menjadi pijakan dalam merumuskan kebijakan pertanahan yang adil dan berkelanjutan. Namun, tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan ini adalah memastikan bahwa setiap aturan yang diterapkan dapat berjalan secara efektif tanpa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh sebab itu, harmonisasi regulasi pertanahan bukan hanya sekadar kebutuhan, melainkan keharusan dalam mewujudkan administrasi pertanahan yang lebih tertata. Indonesia memiliki luas daratan sekitar 1,9 juta kilometer persegi atau sekitar 190 juta hektar, yang membutuhkan regulasi komprehensif agar pemanfaatannya tidak tumpang tindih dan bisa dikelola secara efisien.

- Advertisement -

Penyusunan kebijakan pertanahan yang lebih efektif harus mencakup beberapa aspek, termasuk reformulasi kebijakan perizinan, penataan ulang zonasi penggunaan lahan, serta pembentukan badan koordinasi yang berwenang dalam harmonisasi regulasi pertanahan. Pemerintah juga harus memperkuat basis data pertanahan nasional, agar seluruh informasi mengenai kepemilikan, pemanfaatan, serta riwayat tanah dapat diakses secara transparan.

Komitmen dalam membangun administrasi pertanahan yang lebih baik juga harus diikuti dengan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum. Penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan tanah, baik oleh individu, perusahaan, maupun pejabat publik, harus ditindak secara tegas guna mencegah terjadinya eksploitasi lahan yang merugikan kepentingan publik.

Selain itu, perlu ada kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat adat dan kelompok rentan yang sering kali menjadi korban dalam konflik agraria. Tanah adat ulayat, misalnya, harus mendapatkan pengakuan yang lebih jelas dalam sistem hukum nasional, sehingga tidak mudah diambil alih oleh kepentingan korporasi atau pihak lain yang tidak berhak.

Ke depan, pemerintah harus berani melakukan reformasi regulasi pertanahan dengan pendekatan yang lebih holistik. Harmonisasi regulasi tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sistem administrasi tanah, tetapi juga untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kepastian hukum yang lebih baik, pembangunan nasional dapat berjalan lebih efektif tanpa harus menghadapi hambatan akibat konflik pertanahan yang berlarut-larut.

Maka dari itu, urgensi harmonisasi regulasi pertanahan harus segera diwujudkan. Jika tidak, berbagai persoalan terkait kepemilikan dan pemanfaatan tanah akan terus menjadi momok yang menghambat pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Tanah bukan sekadar hamparan bumi, tetapi pijakan masa depan. Tanpa kepastian hukum maka akan menjadi sumber konflik, dan dengan harmonisasi regulasi itulah maka akan bisa menjadi fondasi keadilan dan kesejahteraan bagi semua.

Muh Khamdan
Muh Khamdan
Pengajar dan peneliti studi perdamaian fokus pada kajian konflik, resolusi damai, dan pembangunan berkelanjutan, dengan pendekatan interdisipliner untuk menciptakan solusi damai yang inklusif.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.