Dunia saat ini menghadapi berbagai macam tantangan serius, mulai dari konflik bersenjata, krisis ekonomi global, hingga isu-isu politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Namun, di antara berbagai masalah yang ada, krisis kemanusiaan di Palestina merupakan salah satu yang paling mendesak dan memerlukan perhatian khusus.
Kegagalan otoritas lokal dan internasional dalam menemukan solusi efektif selama beberapa dekade, konflik ini telah menyebabkan penderitaan mendalam bagi penduduk sipil khusunya di Palestina. Krisis ini menegaskan kebutuhan mendesak bagi komunitas global untuk berkolaborasi dalam mencari solusi berkelanjutan yang mengedepankan hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian dunia, dengan mengandalkan prinsip hukum internasional, dialog, dan diplomasi sebagai fondasi utama untuk rekonsiliasi dan kestabilan jangka panjang.
Di Iran sebagai langkah transformasi terhadap Revolusi Islam 1979, Imam Khomeini memproklamasikan hari Jumat pada minggu terakhir Ramadhan sebagai Hari Quds Internasional, secara simbolis mengalihkan orientasi Iran menjadi pendukung utama perjuangan Palestina.
Deklarasi ini menandai titik balik signifikan, tidak hanya dalam kebijakan luar negeri Iran tetapi sebagai seruan kepada umat Islam dan negara-negara muslim di seluruh dunia untuk bersatu dalam melawan dominasi imperialisme dan mendukung kedaulatan Palestina. Ini mengungkapkan visi strategis Imam Khomeini dalam mengartikulasikan resistensi terhadap penjajahan dan menegaskan kembali komitmen Iran terhadap advokasi hak-hak fundamental bangsa Palestina.
Baru-baru ini, kita menyaksikan eskalasi konflik antara Israel dan Palestina memuncak, tanpa ada tanda-tanda penyelesaian, khusunya sejak invasi besar-besaran oleh pejuang Palestina di bawah kepemimpinan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu. Namun, tindakan ini merupakan puncak dari konflik sejarah yang panjang. Bermula dari tindakan Israel terhadap Palestina akar kemunculan zionisme.
Gerakan ini bertujuan untuk mendirikan sebuah rumah bagi komunitas Yahudi di tanah Palestina yang pada saat itu sedang di bawah penguasaan Kekaisaran Ottoman. Momentum gerakan ini meningkat signifikan dengan penerbitan Deklarasi Balfour oleh pemerintah Britania pada tahun 1917 yang mendukung pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Ini mendorong peningkatan gelombang migrasi Yahudi ke wilayah Palestina setelah berakhirya Perang Dunia II dan Holocaust. Dengan dukungan global yang meningkat, desakan untuk mendirikan negara Yahudi menjadi semakin kuat, yang berujung pada pendirian negara Israel pada tahun 1948. (aljazeera.com)
Pasalnya serangan Hamas, menanggapi blokade 17 tahun di Gaza, berusaha meredakan situasi melalui dialog dengan Qatar, Mesir, dan PBB, mengharapkan konsesi dari Israel. “Operasi Badai Al Aqsa” diumumkan oleh komandan militer Hamas, Mohammad Deif, untuk membangkitkan perlawanan Palestina, termasuk di Yerusalem Timur. (Kompas.com)
Namun reaksi Hamas pada tanggal 7 Oktober tersebut tidak membuat Israel berhenti justru malah semakin membabi buta bahkan hingga bulan Ramadhan saat ini. Kementerian Kesehatan Palestina, pada Jumat, (15/03/24) melaporkan kenaikan jumlah total korban jiwa akibat serangan Israel di Jalur Gaza menjadi 31.490 orang dan 73.500 orang terluka. (Kompas.com)
Krisis kemanusiaan yang menggugah dunia ini mendorong respons global, dengan negara-negara menawarkan bantuan kemanusiaan, mengutuk Israel, dan mendukung kemerdekaan Palestina, hingga intervensi PBB dan pembentukan koalisi internasional. Fenomena ini menandakan perubahan geopolitik signifikan, mereduksi dominasi AS, khususnya di Timur Tengah.
Keberanian negara-negara monarki Arab menentang AS, seperti penolakan Qatar dan Saudi untuk menaikkan produksi minyak, kesediaan UEA menggunakan Yuan China, dan normalisasi hubungan Saudi-Iran dengan mediasi China, mencerminkan penurunan kekuatan AS. Situasi ini, yang mengecewakan bagi AS dan merupakan pendukung utama Israel, bisa merupakan langkah menuju perubahan rezim Zionis.(ikmalonline.com)
Dilansir dari Internasional.Sindonews.com, sejak eskalasi konflik pasca-7 Oktober, tercatat 37 negara telah secara eksplisit menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, dengan tegas menolak dan mengkritik aksi-aksi zionis Israel.
Dalam kelompok negara pendukung ini, beberapa bahkan tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara berdaulat, termasuk Arab Saudi, Suriah, Irak, Iran, Pakistan, dan Korea Utara. Selain itu, negara-negara Asia seperti Aljazair, Malaysia, Maladewa, serta Indonesia, juga mendesak agar Israel menghentikan serangannya. Keberadaan dan sikap negara-negara ini menegaskan posisi internasional yang solid terhadap kebebasan Palestina dan menyoroti kecaman global terhadap tindakan-tindakan agresif Israel.
Afrika Selatan secara aktif dan masif mendukung kemerdekaan Palestina dengan mengajukan gugatan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) pada (29/12/23), mendakwa negara tersebut atas genosida dan kejahatan perang di Gaza. Keputusan ini mencerminkan komitmen Afrika Selatan dalam memerangi agresi militer Israel di wilayah tersebut. Persahabatan historis antara dua ikon antara Kongres Nasional Afrika (ANC) yang dipimpin oleh Mandela dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin oleh Arafat menunjukan kedekatan eratdan kuat sejak 1960. (Kompas.id)
China dan Rusia, sebagai pemain geopolitik global, menunjukkan dukungan kuat terhadap upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Rusia sebagai anggota permanen Dewan Keamanan PBB, menantang dominasi Barat dengan solidaritas kuat terhadap Palestina, berkolaborasi dalam koalisi bersama Iran dan Korea Utara.
Menurut Kompas.com, kedua negara ini memveto rancangan resolusi AS di Dewan Keamanan PBB yang bertujuan menyelesaikan konflik Gaza pada( 22/03/24), serta mengecamnya sebagai tindakan hipokrit AS dan menyoroti kegagalan AS dalam mengontrol Israel. Rusia dan China, bersama Aljazair, menuntut resolusi yang jelas menyerukan penghentian agresi Israel, terutama di Rafah, dimana jutaan warga Palestina mencari suaka, menekankan perlunya gencatan senjata dan penyelesaian yang mengakui inti masalah.
Eskalasi konflik yang berkelanjutan berisiko tidak hanya menggagalkan prospek perdamaian atau mengakhiri dominasi Zionis-Israel, tetapi juga berpotensi memicu Perang Dunia III—sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para pakar dan pandangan umum. Dalam konteks ini, harapan komitmen global, khususnya Indonesia untuk tidak hanya bertahan tapi juga memperkuat dukungan mereka terhadap kemerdekaan Palestina.
Kesetiaan Indonesia terhadap prinsip-prinsip kemerdekaan, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945, menolak penjajahan sebagai bentuk yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Hari Quds Internasional, yang jatuh pada Jum’at (05/04/2024), harus menawarkan momentum penting untuk menyatukan umat manusia di luar batasan etnis, ras, dan agama, dalam solidaritas untuk Palestina. Hari ini harus dijadikan sebagai titik balik untuk meningkatkan kesadaran global akan urgensi menghapuskan imperialisme dan zionisme, dan menguatkan dukungan internasional untuk keadilan dan kemerdekaan Palestina.