“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”
~Bung Karno
Memperingati hari pahlawan maka tidak akan lepas dari dua ikon penting dalam sejarah, yakni Bung Tomo dan Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945,
Perisiwa 10 November dipicu oleh tewasnya Brigadir Jendral Mallaby, dalam pertempuan di Surabaya, Jawa Timur dalam kejadian itu sang Jendral tewas terbakar didalam mobil yang ditumpanginya ketika lewat di depan Gedung Internatio.
Atas Kejadian itu Komandan Tentara Inggris di Indonesia menuntut akan melakukan pembalasan terhadap para pejuang di Surabaya, tentu ancaman itu ta membuat para pejuang indonesia gentar, (BPRI) Barisan Pemberontak akyat Indonesia yang dipimpin oeh Sutomo atau biasa dipanggil Bng Tomo meneriakkan perlawanan atas ancaman sang komandan,
Dalam peristiwa itu kita melihat, berbagai pejuang dari berbagai daerah turun. Tidak hanya dari surabaya, Masyarakat dari berbagai daerah Maluku, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dll, bahkan para kyai, santri dan ulama ikut serta terjun ke medan perang.
Dalam pertempuran dahsyat itu, Rakyat indesia larut dalam sebuah perjuangan, tidak ada perbedaan golongan, ras, status sosial, agama bahkan pandangan politk. Mereka bersatu bahu-membahu mempertahankan Keutuhan dan kemerdekan Indonesia.
Pada hari itu para pejuang yang selanjutnya kita sebut pahlawan, berjuang sampai titik darah penghabisan melawan tentara inggris di surabaya, mereka berjuang harta, tenaga dan pikiran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Melalui agitasi yang masif, lewat siaran radio, Bung Tomo mampu membangkitkan semangat berapi-api rakyat Indonesia. Semangat perjuangan para Pahlawan merupakan simbol kecintaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai-Nilai Luhur Refleksi hari pahlawan tentu patut tidak hanya berhenti pada kegiatan seremonial, lebih dari itu memaknai hal tersebut patut kita aplikasikan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Semangat Patriotik menjadi keharusan dalam merefleksikan hari pahlawan, dari segi konsep semangat patriotik adalah semangat cinta akan tanah air dan siap berkorban nyawa demi mempertahankan negara tercinta (Bill Toten 1998)
Representasi definisi tersebut telah di lakukan dalam perjuangan para pahlawan di masa lalu, berbagai catatan-catatng juang mereka senantiasa menghiasi sejarah kemerdekaan kita sebagai bangsa.
Di era Reformasi, refleksi hari pahlawan seakan hanya selesai pada kegiatan seremonial mengibarkan bendera disertai mengheningkan cipta, substansi menghargai perjuangan para pahlawan semakin hilang, berbagai ekspresi dan sikap bernegara semakin tak mencerminkan makna hari pahlawan,
Arus Westernisasi memang tak pernah lepas dari berbagai sikap kita bernegara, ditambah sikap koruptif, arogansi, dan sentimental semakin memperburuk kondisi kita sebagai bangsa yang merdeka. Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan semakin selesai dalam kemerdekaan seremonial, tapi tak pernah selesai dalam fakta bahwa kita dijajah secara mental.
Transformasi Kemerdekaan terjadi sejak tahun 1945, 1965 sampai 1998, Revolusi sebagai instrumen perubahan memang menjadi simbol semakin dewasanya kita sebagai sebuah negara.
Namun ditahun 1998 kita membuang Istilah Revolusi dan memakai Istilah yang cenderung lebih lembek yang kita sebut Reformasi, sehingga kita menerima sebuah kenyataan bahwa Reformasi tak pernah membawa pada cita-cita kemerdekaan sesuangguhnya.
Asa, amarah dicurahkan dalam gelombang massa yang menginginkan perubahan setelah 32 tahun hidup dalam tatanan milter dan demokrasi palsu, Rezim itu berhasil ditumbangkan lewat konsensus moral yang diprakarsai oleh golongan muda mahasiswa, walau tercoreng oleh berbagai manuver-manuver politik kelompok elite di parlemen dan gedung-gedung penguasa namun patut dan tak salah jika menyebut reformasi adalah sebuah usaha Revolusi Patungan yang luar biasa.
Roda Reformasi yang telah berjalan selam 20 tahun, memang terasa mangkrak dan tak dapat merepresentasikan cita-cita kemerdekaan yang dipekikkan pahlawan di masa lalu. Semnagat patriotik yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu rakyat indonesia hanya menjadi narasi beku yang tak pernah terekspresikan secara benar.
Fenomena ini terjadi bukan tak mungkin adalah kaitanya dengan berbagai persoalan sosial-politik yang belakangan ini tersaji, mulai dari amukan poliik identitas, hoaks, persekusi hingga ujaran kebencian, hal-hal tersebut ternyata disponsori oleh para antek reformis yang dahulu menjanjikan sebuah perubahan.
Kesadaran lembeknya reformasi, memang membentuk kita sebagai bangsa yang dijajah tidak dalam laku akan tetapi dijajah dalam mental, sehingga penting Revolusi mental kembali dingaungkan dan dengan harapan tak tertimbun oleh mega proyek infrstruktur yang tak jelas substansinya. Kesadaran mental inilah yang akan menyelamatkan kita sebagai bangsa agar memaknai 10 november tak hanya pemaknaan kosong yang tak bersubstansi.
Maka menyadari hal itu, perlu kiranya kembali merenungkan sikap kita sebagai warga negara, bagaiman seharusnya memaknai hari pahlawan dan 10 November sebagai hari sakral dan proses peletikan mental-mental jajahan menjadi mental patriotik. Agar kita tak bodoh dengan mau dijajah oleh sikap kita sendiri.
Memaknai 10 November harus disertai renungan-renungan khidmat tentang perjuangan para pahlawan yang rela terasingkan, terbungkam, bahkan terbunuh hanya untuk membuat generasi kita merdeka, Hakikat perjuangan itu tak boleh kita lupakan, sikap patriotik dan kuatnya mental kembali dipupuk dan dirawat, agar tak mudah terjajah oleh arus globalisasi, westernisasi dan amukan gelombang modernisasi.