Dunia maya dihebohkan dengan kasus penganiayaan remaja yang bernama Audrey pada minggu lalu. Tagar #justiceforaudrey menjadi trending dunia. Bukan Indonesia saja, netizen dari luar pun turut menginginkan keadilan pada kasus yang menimpanya.
Gayung bersambut, petisi daring digagas oleh Fachira Anindy, ia menuntut untuk menghukum pelaku penganiayaan serta jaminan keadilan kepada korban.
Tak tanggung-tanggung, dalam waktu sehari saja 2,1 juta orang yang menandatangani. Kendati yang dibutuhkan hanya 500 ribu dukungan. Kemarahan netizen tak terbendung, hingga kini, dukungan terhadap petisi itu hampir mencapai empat juta.
Banyak yang menaruh simpati. Mulai dari pejabat, artis, Ibu rumah tangga serempak tanpa komando memberikan dukungan.
Perhatian yang luar biasa ini membuat penegak hukum bergerak cepat. Hanya butuh waktu satu hari, polisi sudah menetapkan tiga tersangka dari diduga 12 orang pelaku. Temu pers dilakukan, roda kasus berjalan laju, hampir tak sedikitpun luput dari pantauan netizen.
Empat tahun lalu, Salim Kancil, seorang aktivis lingkungan juga dikeroyok dengan sangat bernafsu, dihabisi sampai mati.
Salim dan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar memprotes adanya penambangan pasir di desanya. Tak hanya itu, ia juga melawan Kepala Desa Haryono yang diduga terlibat dalam aktivitas itu.
Suatu pagi, Salim Kancil sedang menggendong cucunya di depan rumah. Melihat gerombolan orang mendatangi, ia langsung memasukkan cucunya dan meletakkan ke lantai.
Orang tak dikenalinya itu mengikat kedua tangan, memukuli dengan kayu dan batu. Dengan keadaan tangan yang terikat tali, Salim digotong ketempat yang sepi ke arah makam. Bertubi-tubi mendapat penyiksaan yang semakin tak manusiawi. Tubuhnya disetrum, lehernya digorok, seonggok batu besar menghantam kepalanya.
Namun, kemarahan netizen tak seriuh kasus Audrey. Beberapa hari kemudian, digalang petisi yang meminta Kapolri saat itu Jenderal Badrodin Haiti untuk menangkap pembunuh petani anti tambang tersebut.
Petisi hanya didukung tak sampai lima ribu tanda tangan. Begitu juga dunia maya, tak sempat heboh laiknya kasus Audrey.
Kenapa kita lebih bereaksi dengan kenakalan remaja dibanding kasus pembunuhan aktivis lingkungan?
Selama abad terakhir, teknologi telah manjauhkan anak dari para orangtua. Mereka, para remaja telah kehilangan kemampuan untuk peduli dengan lingkungan sekitar. Sebaliknya, para remaja dan anak-anak kita terserap ke dalam ponsel cerdas dan komputer jinjing.
Sekarang lebih tertarik berkeluh kesah kepada Mark Zuckerbeg ketimbang bercerita hal sebenarnya kepada orang yang lebih tua. Mereka lebih ingin melihat layar ponsel dibanding mengikuti orangtuanya ke pasar untuk belanja dan menyapa para tukang bakso.
Selain itu, kita juga tidak punya pilihan lain saat google menjawab lebih baik kepadanya mengenai baju apa yang layak dipakai saat menghadiri acara perpisahan sekolah.
Di suatu waktu, bahkan orangtua lebih mudah bicara dengan sepupu di luar negeri. Tetapi, lebih sulit untuk berbicara dengan anak remaja saat sarapan lontong. Karena ia terus menerus melihat pada ponsel cerdasnya dan bukan pada kita.
Pada umur yang sama, generasi tua sebelum millenial lebih mengedepankan interaksi secara langsung. Bercerita banyak sambil menemani orangtua menyiapkan sarapan. Berdiskusi banyak hal seputar makanan. Apa beda ketumbar dengan merica.
Kini tak begitu lagi, anak-anak makan sambil mengobrol dengan teman di dunia maya. Tarik ulur beranda Instagram dengan tangan kiri. Memeriksa Whatsapp masuk tanpa memperhatikan cita rasa makanan yang para orangtua buat.
Belum lagi, banyaknya postingan kenakalan remaja yang menyulut amarah. Misalnya, video siswa menghajar guru, merokok, berjoget seakan-akan melecehkan guru di dalam kelas.
Kita sebagai netizen sudah kadung benci dengan kenakalan remaja era sekarang. Kita sudah lama menyimpan dendam dengan anak remaja kini. Kemarahan kita para orangtua ibarat bom waktu. Hanya tinggal menunggu waktu.
Terjadilah kasus Audrey. Ditengah gejolak kebencian netizen, para pengeroyok malah membuat satu postingan boomerang instagram saat berada di kantor polisi. Bom waktu meledak disitu. Disatu waktu, lalu kenapa respon terhadap pengeroyokan Salim Kancil tidak bergejolak?
Jawabannya, kita tidak membenci penjahat lingkungan. Kita tak benci pada kepala desa yang menguasai tambang, kita tidak benci pada penguasa yang mengambil tanah rakyat dan memberikan izin perusahaan sembarangan di sekitar perkampungan warga.
Sebab, rumah dan sawah yang dirampas penguasa hanya dirasakan oleh Salim Kancil dan kawan-kawan. Kita tidak merasakan, bagaimana jika lahan diambil paksa. Bagaimana jika tanah tak subur lagi, bagaimana jika rumah harus digusur.
Kita, orang yang marah ketika Audrey dikeroyok dan merasa biasa saja saat Salim Kancil dibunuh, tidak merasakan bagaimana jika perusahaan tambang masuk ke daerah rumah dan membunuh anak-anak kita yang bermain di bekas galian lubang tambang.
Disatu waktu, netizen dari Surabaya tidak merasakan bagaimana saya sebagai orang Riau menghirup asap penuh racun akibat kebakaran hutan. Menginfeksi saluran pernafasan bayi-bayi kami. Dan membuat keguguran kandungan pada ibu-ibu kami.
Netizen dari Jakarta sana tidak merasakan bagaimana jika jarak pandang berkendara hanya sepuluh meter. Tidak merasakan bahwa saudara kami, warga Riau, mati meninggalkan tulang belulang ketika berusaha memadamkan asap.
Begitu juga saat Watchdoc merilis film dokumenternya Sexy Killers. Menceritakan dampak kerusakan lingkungan, sosial dan budaya masyarakat yang tinggal di sekitar tempat penambangan batu bara.
Air yang keruh menjadi minuman warga. Selain itu, saluran irigasi yang juga mengalirkan lumpur membuat sawah para petani tak subur lagi.
Anak yang mati di bekas lubang galian tambang juga terhitung ratusan orang sejak tahun 2014. Tak ketinggalan, Kanker Masovaring atau bagian atas tenggorokan memaksanya berobat ke rumah sakit. Menurut penelitian dari Universitas Hardvard dan Greenpeace yang dipublikasikan tahun 2015, PLTU Batu Bara di Indonesia, menyebabkan kematian prematur hingga 6.500 jiwa setiap tahunnya.
Korban tentu bukan dari saudara hingga tetangga kita. Ini yang membuat kita tidak benci kepada penjahat lingkungan.
Film ini menjadi viral ketika momentumnya tepat. Warga sedang menyorot muka pemerintah ketika lagi musim pemilihan umum. Tentu mendapat perhatian siapa yang akan memimpin lima tahun ke depan.
Di musim yang lain, film dokumenter Watchdoc tak banyak dilirik. Perjuangan Samin vs Semen, Rayuan Pulau Palsu dan lain-lain. Hanya riak-riak kecil di kolom komentar netizen. Begitulah, kita cepat merespon isu kenakalan remaja di media sosial dibanding kejahatan lingkungan. Lantaran tindakannya nyata dan semua bisa merasakan, sehingga tidak ada yang bisa mengabaikannya. Kerusakan lingkungan sebaliknya, ancaman kabur dan berlarut-larut.
Sebab itulah para netizen mungkin lebih tergoda untuk mendahulukan menuntaskan kasus Audrey ketimbang kasus Salim Kancil yang tumbang melawan tambang.
Menyambut Hari Bumi Internasional pada Senin ini, mari kita para netizen dan orang tua, lebih memperhatikan kejahatan lingkungan.#