Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan yang ditetapkan pada tanggal 8 Desember 2015 dan diundangkan pada tanggal 10 Desember 2015 menjadi milestone yang bagus untuk mengawal penegakan HAM bagi Nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia.
Pada tanggal yang sama saat Peraturan Menteri KP ini diundangkan, yaitu tanggal 10 Desember, masyarakat internasional sedang memperingati hari Hak Asasi Manusia yang pada tahun 2019 kemarin mengambil tema Youth Standing Up for Human Rights atau Pemuda Membela Hak Asasi Manusia.
Tema tersebut menyiratkan makna eksplisit bahwa pemuda atau kaum milenial memiliki peran yang penting dalam penegakan HAM di dunia. Apalagi di era industri 4.0 saat ini, eranya Internet of Think (IoT), dimana internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari–hari mereka.
Sangat tepat bila pemuda dilibatkan secara serius untuk menjadi bagian dari solusi penegakan HAM di masa depan. Ada banyak alasan mengapa pemuda perlu dilibatkan dalam upaya–upaya penegakan HAM, salah satunya karena mereka berada di usia produktif yang mendominasi angkatan kerja di Indonesia.
Bahkan Badan Pusat Statistik telah melansir data tahun 2020 hingga 2035 Indonesia diperkirakan menikmati bonus demografi tertinggi sepanjang sejarah. Senada dengan hal tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memperkirakan Indonesia memiliki bonus demografi di tahun 2020 hingga 2030.
Dua Sisi Mata Pisau Bonus Demografi
Bonus demografi ini memiliki dua sisi mata pisau, bisa menjadi peluang sekaligus hambatan. Logikanya sederhana, semakin tinggi usia produktif, berarti banyak tersedia tenaga kerja untuk memproduksi barang/jasa yang akan menaikkan jumlah produksi barang/jasa secara nasional.
Di sisi lain, semakin banyak usia produktif, berarti konsumen barang/jasa yang dihasilkan juga bertambah. Tidak heran bila banyak negara maju menjadikan Indonesia sebagai pasar utama produk–produk mereka.
Bonus demografi menjadi hambatan yang serius bila jumlah angkatan kerja produktif tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Tingkat pengangguran akan naik. Lulusan perguruan tinggi atau pun lulusan SMK yang tidak terserap di dunia kerja bisa menimbulkan fenomena maraknya pengangguran terdidik di kalangan kaum milenial.
Karena itu, di era industri 4.0 ini, pemerintah harus semakin jeli melihat fenomena tersebut. Pemerintah dituntut untuk menjadi agile organization yang adaptif terhadap perubahan dan cepat dalam mengambil kebijakan.
Indonesia sebagai bangsa maritim terbesar di dunia, perlu menangkap fenomena bonus demografi di era industri 4.0 ini sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian di sektor kelautan dan perikanan.
Tidak bisa dipungkiri, sektor kelautan dan perikanan bisa ‘menyelamatkan bangsa Indonesia dari fenomena pengangguran terdidik tersebut. Sektor kelautan dan perikanan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tinggi mengingat begitu luasnya area perikanan tangkap di laut Indonesia.
Menerjemahkan Permen KP HAM Nelayan dan Masyarakat Pesisir
Banyak pihak sudah menantikan pemerintah untuk segera meratifikasi dua konvensi tersebut sebagai bentuk keseriusan pemerintah Indonesia untuk secara bersama – sama dengan negara lain menegakkan isu HAM di sektor kelautan dan perikanan.
Lahirnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan menjadi satu bagian komitmen pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat penegakan HAM di sektor perikanan.
Karena itu, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 ini menjadi ‘inisiator Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Pesisir yang diperingati pada tanggal 13 Januari setiap tahunnya.
Ada berbagai aspek HAM yang tertuang di Permen KP ini yaitu, (1) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), (2) Sistem Perekrutan Awak Kapal Perikanan dan Pekerja, (3) Sistem Ketenagakerjaan, (4) Tanggung Jawab Pengembangan Masyarakat yang Berkelanjutan, (5)Tenaga Keamanan, (6) Lingkungan,dan (7) Pengambilalihan Lahan.
Menarik untuk mencermati aspek HAM pada poin ke empat yaitu Tanggung Jawab Pengembangan Masyarakat yang Berkelanjutan. Pada poin ini pengusaha perikanan harus merencanakan program pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dalam bentuk memiliki binaan nelayan sekitar yang bukan awak kapal perusahaan dan membina pengolahan ikan skala kecil.
Pengusaha perikanan juga wajib menerima taruna / siswa magang sebagai bentuk transfer knowledge dan praktek secara langsung memahami proses bisnis perikanan. Konsep ini mirip dengan sistem plasma yang diterapkan di industri kelapa sawit. Dimana perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki binaan petani plasma yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit skala kecil untuk dibina dan dibeli hasil panennya.
Pemuda atau kaum millenial bisa masuk di ranah pemberdayaan nelayan binaan pengusaha perikanan ini. Dengan kelebihan di bidang teknologi, pemuda bisa menginisiasi perusahaan rintisan (start up) yang memfasilitasi nelayan atau masyarakat pesisir supaya mendapatkan penghasilan yang lebih layak.
Tentunya, ada berbagai bentuk start up yang bisa mereka dirikan, baik itu bergerak di bidang permodalan nelayan (fintech) atau pun start up penjualan hasil nelayan (aplikasi marketplace).
Pemuda bisa menggandeng pengusaha perikanan sebagai pemodalnya atau pun bergabung dengan lembaga incubator start up untuk coaching pengembangan start up mereka dan mengakses permodalan.
Ada beberapa start up yang didirikan pemuda dan telah berhasil bergerak di sektor kelautan perikanan yaitu aruna, efishery, pasar laut, dan lain–lain. Perusahaan rintisan (start up) di sektor kelautan dan perikanan perlu diperbanyak jumlahnya tentunya dengan keunikan dan kekhasan yang berbeda–beda sehingga sektor kelautan dan perikanan bisa bertumbuh dengan cepat dan menjadi profesi primadona kaum millenial di era bonus demografi saat ini.
Permen KP ini juga secara teknis mengatur kelembagaan dan mekanisme mendapatkan sertifikasi HAM bagi pengusaha perikanan. Secara kelembagaan dibentuk Tim HAM yang di pimpin Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Terdapat juga lembaga pelatihan HAM di pembinaanya dan Lembaga Penilai HAM yang melakukan audit administrasi dan kunjungan lapang. Output akhirnya adalah sertifikat HAM bagi pengusaha perikanan yang dinyatakan telah memenuhi syarat.
Secara teknis memang sudah diatur sedemikian rupa, akan tetapi yang perlu dipahamkan adalah perubahan paradigma bahwa penegakan HAM adalah sebuah keniscayaan dan kesadaran bersama yang menjadi bagian dari proses bisnis perikanan.
Penegakan HAM jangan dipandang sebagai beban bagi pengusaha perikanan karena harus mengeluarkan biaya yang layak bagi ABK dan harus mengikuti sertifikasi HAM. Karena dunia internasional mulai mensyaratkan keterlacakan (trace ability) atas produk perikanan yang dihasilkan, mulai cara penangkapan yang ramah lingkungan dan standar pemenuhan fasilitas yang layak bagi ABK, bukan hanya mensyaratkan kualitas mutu dari produk perikanan.