Jumat, April 19, 2024

Haji Dan Cara Tuhan Memperbarui Masyarakat

Ahmad Hifni
Ahmad Hifni
A Long Life Learner. Studi Ph.D di SPs UIN Jakarta

Dalam beberapa hari kedepan, jutuan umat Nabi Muhammad SAW akan berangkat menuju Tanah Suci guna menunaikan Ibadah haji. Ibadah ini tidak saja harus dimaknai sebagai penunaian atas rukun Islam kelima, tetapi juga momentum jutaan wakil umat Islam dari berbagai penjuru dunia untuk mempelajari makna kenabian, nilai penting persatuan, dan nasib kemanusiaan universal. Ibadah ini adalah simbol ketaatan sang hamba pada Allah sebagai sang skenario alam semesta. Ia tak ubahnya seperti alam; gambaran Islam yang utuh, Islam yang bukan hanya kata-kata, tetapi dalam aksi.

Ali Syari’ati dalam bukunya, Hajj: Reflections on its Rituals, menyebut bahwa esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji adalah drama simbolik dari filsafat penciptaan anak-cucu Adam. Dalam drama simbolik itu, Allah sebagai sutradara. Tema yang diproyeksikan adalah aksi (movement) dengan karakter pelaku: Adam, Ibrahim, Hajar, dan Iblis. Lokasi-lokasi pertunjukannya pun dilakukan di tempat-tempat suci: Masjid Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, dan Mina.

Simbol-simbolnya adalah Ka’bah, Shafa dan Marwa, siang dan malam, terbit dan tenggelamnya matahari, berhala-berhala dan pengorbanan. Pakaian dan ornamennya adalah Ihram, Halq dan Taqshir. Siapa aktornya? Inilah yang luar biasa, tiada lain, dan tiada bukan, yaitu setiap orang yang melaksanakan haji itu sendiri. Dan sang haji pula yang memainkan semua peran sebagai Adam, Ibrahim sekaligus Hajar.

Drama kolosal haji itu bermula di miqat makani, yaitu di mana saat memulai rukun pertama haji: ihram. Pada saat ihram, semua identitas terutama yang melekat di badan harus ditinggalkan dan diganti dengan kain putih menutupi tubuh. Ihram adalah simbol kesucian, bahwa di hadapan Allah diri bukanlah siapa-siapa, tak lain hanya makhluk lemah yang sama kedudukannya di mata Tuhan.

Segala kesenangan dan kepemilikan tidak berlaku. Semua dilepaskan dan dikembalikan pada Tuhan. Seluruh pikiran, keinginan, dan perbuatan dilemparkan ke dalam keikhlasan dan kebersihan dengan ketulusan ibadah. Pikiran yang masih larut dalam delusi, keinginan yang masih tertarik dengan materi, dan perbuatan yang jauh dari kewaspadaan hanya akan menyisakan haji yang sia-sia atau mardud karena esensi haji masih jauh dari harapan.

Setiap sang haji juga harus melewati fase tawaf, yaitu drama simbolik mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Sang haji mengelilinginya dalam sebuah gerakan yang sirkular yang melambangkan ketetapan (konstansi) dan keabadian Allah. Sedangkan manusia yang berbondong-bondong mengelilinginya adalah simbol aktivitas dan transisi makhluk-makhlukNya. Tawaf melambangkan bahwa Allah tidak mesti dicari di langit melalui metafisika saja, tetapi pencarian itu dapat dilakukan di muka bumi. Dia “terlihat” di dalam setiap sesuatu, termasuk di batu-batu.

Drama yang sangat mengharukan adalah ketika sang haji berdiam diri atau setidaknya hadir di Arafah sejak matahari tergelincir pada 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar 10 Dzulhijjah. Sang haji merenungi makna cinta di sana. Karena Arafah adalah cahaya Ilahi sebagai percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaah antara Adam dan Hawa. Di Arafah Adam dan Hawa terdorong untuk saling memahami, menerima, berkomitmen hingga melahirkan anak-cucunya. Arafah adalah keadaan pikiran yang jauh dari penyimpangan dan penyakit. Betapa indah dan menakjubkan Arafah, sebuah kesadaran yang lahir dari kesucian Cinta.

Drama lainnya adalah sa’i, di mana pandangan-pandangan monoteistik lebih tampak lagi. Ini adalah gerakan yang dilambangkan dengan berlari-lari atau bergegas sebagai kesadaran historis akan keteladanan Hajar, seorang budak perempuan yang diperistri Ibrahim, mondar-mandir mencari air untuk menghidupi anaknya, Ismail, di suatu lembah yang tandus. Ketika sa’i, segala bentuk status, derajat, dan perbedaan dihancurleburkan. Semua identitas melebur berperan sebagai Hajar sebagai lambang kepasrahan dan kepatuhan.

Dan pada akhirnya, puncak Ibadah haji adalah pengorbanan. Inilah fase terakhir dari evolusi dan idealisme dengan kepasrahan mutlak yang berlangsung di Mina. Sang haji berperan sebagai Ibrahim, sebagai simbol pengorbanan. Pengorbanan atas segala sesuatu yang melemahkan iman, yang menahan untuk melakukan pengabdian, yang membuat enggan memikul tanggung jawab, yang menyebabkan sikap egoistis, yang membuat buta dan tuli, yang membuat tak bisa mendengar pesan dan mengakui kebenaran dari Tuhan, yang memaksa untuk melarikan diri dari kebenaran, dan yang menyebabkan berkilah demi kesenangan.

Drama simbolik itu tak berhenti saat ibadah haji semata, tetapi setiap sang haji harus terlibat secara genuine dalam problem yang dihadapi masyarakat. Termasuk melaksanakan kebaikan, kesetiaan, dan membatasi diri dari berbagai kesenangan hidup, menderita dalam penahanan, bertahan dari aniaya dunia dan hadapi segala tantangan. Masing-masing mengajarkan manusia yang lain, menjadi cahaya dalam kegelapan. Tujuan haji telah tercapai manakala si pelaku mampu melaksanakan nilai-nilai ini dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan memelihara sang haji sebagaimana Tuhan tidak membiarkan Ibrahim terbakar oleh api.

Sang haji kemudian dapat kembali ke negerinya sebagai orang-orang yang mencapai puncak keimanan. Mereka akan kembali ke negeri dan desa masing-masing seperti sungai yang mengalir mengairi bumi. Masing-masing membantu menumbuhkan beribu-ribu benih di masyarakat. Inilah esensi haji, ia bukan sekedar tugas keagamaan, tetapi sebuah tujuan yang melalui sang haji Tuhan memperbarui masyarakat.

Ahmad Hifni
Ahmad Hifni
A Long Life Learner. Studi Ph.D di SPs UIN Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.