Hari Senin, 29 Mei 2017. Polisi menetapkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab sebagai tersangka kasus chat mesum dengan Firza Husein. Habib Rizieq jadi tersangka setelah penyidik Direktorat Kriminal Khusus melakukan gelar perkara. Kemudian meningkatkan status Rizieq dari saksi ketersangka (Duta, 30/5/17).
Habib Rizieq resmi tersangka atas kasus chat pornografi yang didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selama ini, polisi sudah melakukan serangkaian proses hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP. Mulai penyelidikan, penyidikan, gelar perkara, hingga menetapkan status tersangka kepada Rizieq. Termasuk pemeriksaan saksi terlapor hingga ahli (Jawa Pos, 31/5/17) ikhtiar baik kepolisian ini harus kita apresiasi sebagai manifestasi supremasi hukum di Negara ini.
Apapun alasannya, penetapan kasus tersangka kepada Habib Rizieq, harus dipertanggungjawabkan kepada publik utamanya kepada para kiai, ulama’ dan imam besar di Negara ini. Sebab, dalam konteks sosial-budaya kita. Tanpa bermaksud mengeneralisir, merusak nama imam besar akan berimplikasi negatif terhadap imam besar lain, yang notabene istiqomah menjaga gelar tersebut dengan penuh tanggungjawab.
Pemberian gelar imam besar oleh masyarakat merupakan gelar yang sangat sakral dan mulia. Menurut Durkheim sosiolog asal Prancis, sesuatu yang dianggap sakral ia dibentuk oleh masyarakat bukan melalui sesuatu yang instan. Tetapi, dengan peroses yang panjang melalui sikap dan perasaan masyarakat. Sesuatu yang sakral akan melahirkan sikap hormat, kagum, dan bahkan takut. Di sisi lain, sesuatu yang profan tidak menimbulkan sikap tersebut. Oleh karenanya, ia harus dijaga dari berbagai bentuk sikap dan sifat yang hina.
Secara faktual, tidak semua orang dengan mudah mendapatkan gelar imam besar, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkannya. Karena gelar tersebut tidak ada sekolahnya. Ia diperoleh dengan jalan kedekatan kepada sang pencipta dan memiliki kedalaman ilmu agama. Dalam perspektif lain ia merupakan orang-orang pilihan yang menjaga secara sempurna dan konsisten hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Sehingga tidak pelak jika mendset masyarakat tentang imam besar, selalu hal-hal yang sakral.
Penetapan tersangka kepada Rizieq atas kasus chat mesum merupakan tindakan yang sangat tidak dibenarkan dalam hukum di Negara ini. Apalagi dalam agama islam yang sangat melarang keras pemeluknya. Perbuatan tersebut sangat tidak layak dilakukan oleh figur publik sekelas Rizieq apalagi menyandang gelar imam besar yang memiliki ribuan pengikut di republik ini.
Menanggapi kasus tersebut, pengikut Habib Rizieq sampai saat ini belum menerima, dengan dalih mereka tidak percaya imam besarnya melakukan tindakan tersebut. Sebagai bentuk protes, Ketua Presidium Alumni 212 Ansufri Idrus Sambo, mengatakan penetapan Rizieq sebagai tersangka merupakan upaya pemerintah mengkriminalisasi para ulama dan aktivis Islam.
Ia berupaya akan melawan secara konstitusional dan ia menilai pemerintah melakulan politik balas dendam terhadap pimpinan Front Pembela Islam yang berperan menjebloskan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke penjara. Bahkan mereka mengklaim Presiden Joko Widodo dianggap mengambil sikap berhadap-hadapan dengan ulama dan aktivis Islam (Tempo.co, 31/5/17).
Pertanyaannya sekarang. Apakah termasuk kriminalisasi kalau kasus tersebut adalah fakta? Pertanyaan ini harus diurai secara konprehensif dan berdasar pada data yang ada saat ini. Baik yang beredar di media online, maupun media cetak. Agar tidak menimbulkan kontraproduktif dengan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan kita. Sebab, kalau itu fakta dan masih ada perlawanan dari pengikut Rezieq inilah yang dinamakan gerakan sublimasi, yakni sebuah taktik dan strategi untuk mengalihkan mata publik dari sesuatu yang sesungguhnya menuju sesutu yang semu, palsu, dan menipu. Bentuk perlawanan semacam ini merupakan gerakan yang tak beradab dan tidak pantas dilakukan oleh siapapun apalagi Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI).
Terlepas benar atau tidak, kasus chat mesum pornografi tersebut. Yang tidak kalah signifikannya harus kita sadari, bahwa siapapun manusia tidak akan pernah lepas dari salah dan dosa, karena itu sudah menjadi tabiat manusia. Manusia dibekali nafsu, akal, dan hati nurani.
Berbeda, dengan Malaikat, dan Syaitan. Sebagaimana dinyatakan oleh K.H. A. Mustofa Bisri Pengasuh Pondok Pesantren Rembang “Malaikat tak pernah salah, Syaitan tak pernah benar, dan manusia bisa salah dan bisa benar”. Perihal tersebut juga sudah diajarkan dalam rukun iman yang ke-6 bahwa iman yang terakhir yang sangat krusial: percaya kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk (khairihi wa syarihi) dan itu harus kita imani.
Artinya, siapapun manusia ia tidak terlepas dari salah dan dosa. Bahkan Rasulullah sendiri mengatakan “setiap anak Adam akan melakukan kesalahan dan sebaik-sebaik orang yang melakukan kesalahan adalah orang-orang yang melakukan taubat”. Selain itu, Nabi juga pernah mengingatkan; “jangan sampai kecintaan seseorang kepada sesuatu melebihi cintanya kepada Allah,” karena salah satu dampaknya ia sulit menerima kenyataan yang sesungguhnya. Begitupun para pengikut Rizieq jangan sampai kecintaan terhadap Rizieq melibihi cintanya kepada Allah karena kecintaan yang berlebihan kepada selain Allah akan berakibat fatal terhadap keberislaman kita.
Habib Rizieq Dan Kegagalan Menjadi Imam Besar
Ditetapkannya Habib Rizieq sebagai tersangka dalam kasus yang hina tersebut, tentunya menjadi pukulan yang sangat keras bagi Habib Rizieq dan pengikutnya. Dan Rizieq sudah gagal menjadi imam besar sebab imam besar ucapan dan perilakunya harus mencerminkan nilai-nilai keislaman sebagaimana diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW. Begitupun ucapan dan perilakunya selalu menjadi pedoman dan uswah bagi pengikutnya. Karena kasus tersebut. ia sudah tidak layak dijadikan tauladan apalagi menjadi imam besar.
Oleh karena itu, menyikapi persoalan tersebut sudah saatnya kita menyandarkan ucapan dan sikap kita kepada pesan Nabi: “katakanlah yang benar meskipun itu pahit” (kulil haqqu walau kana murran). Kalau pesan ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, saya yakin persoalan apapun akan bisa teratasi secara baik, pun kasus yang menimpa Rizieq saat ini.
Polisi harus melaksanakan tugas secara adil dan bijaksana. Begitupun para pengikut Habib Rizieq harus melakukan pembelaan sesuai dengan data dan fakta secara akuntabel dan menghindari kaca mata kuda. Karena sekali lagi, siapapun yang melakukan tindakan amoral apalagi tindakan pornografi yang menjijikan dan tak beradab sangat tidak layak menyandang gelar imam besar.