Saat ini media massa telah melakukan demasifikasi atas konsep klasik yang ada pada media massa, termasuk media penyiaran. Konsep media penyiaran yang dulunya “big and few” seiring perkembangan teknologi bergerak menjadi “small and many”. Hal ini ditandai dengan terbukanya akses kebebasan dari setiap individu menjadi seorang broadcaster di media sosial.
Setiap masyarakat yang memiliki akses media sosial daat menjadi broadcaster di mana suatu individu dapat dengan mudah menyiarkan hal yang akan ia bagikan ke media sosial, baik itu pesan-pesan remeh hingga informasi penting.
Dampak dari perkembangan media sosial yang kini dapat juga berperan sebagai media penyiaran adalah media penyiaran saat ini tidak hanya dari televisi dan radio saja. Media sosial saat ini telah bertranformasi menjadi media penyiaran. Hal ini yang melatarbelakangi digugatnya UU Penyiaran oleh RCTI dan iNews. Gugatan yang dilakukan oleh RCTI dan iNews memang sah-sah saja dilakukan jika dipandang dari sudut pandang hukum.
Ibu Puji Wulandari dalam Bisik #1 menjelaskan dari sudut hukum, yaitu UU Pasal 28 D (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Oleh karena itu, bagi pihak yang merasa UUD kurang adil, berhak mengajukan gugatan.
Dalam kasus RCTI dan iNews yang menjadi pemohon digugatnya UU Penyiaran mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi meminta agar definisi penyiaran yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran agar mencakup pula penyelenggara jasa layanan audio visual over-the-top (OTT) atau bisa juga disebut dengan platform digital berbasis internet, seperti YouTube, Instagram atau Facebook.
RCTI dan iNews sebagai pemohon mengatakan bahwa pasal ini telah menimbulkan “kerugian konstitusional” dengan alasan adanya “perlakuan yang tidak setara” antara lembaga penyiaran konvensional dengan penyelenggara layanan audio visual berbasis internet di Indonesia. Jika dilihat dari alasan pemohon, maka pemohon boleh-boleh saja mengajukan gugatan atas perasaan kurang adil yang dihadapinya.
RCTI dan iNews juga mengatakan bahwa mereka tidak mengebiri kreativitas, tapi tanggung jawab moral bangsa. Tetapi dunia digital tidak dapat disamakan dengan dunia penyiaran konvensional. Padahal pada platform digital telah diberlakukan peraturan dalam setiap kontennya, mulai dari pornografi dan lain sebaginya bisa dilaporkan kemudian konten akan di-take down.
Akan tetapi jika dipandang dari sudut pandang dunia kreatif dan media online, gugatan yang diajukan oleh RCTI dan iNews dapat dikatakan cukup merugikan. Di mana setelah proses sidang uji materi berjalan di MK, pengguna internet merasa was-was jika gugatan tersebut dikabulkan oleh MK. Jika gugatan tersebut dikabulkan pengguna internet khawatir harus mendapatkan izin lembaga penyiaran terlebih dahulu agar dapat berbagi konten di media sosial.
Gugatan yang dilakukan oleh RCTI dan iNews jika dikabulkan dapat dikatakan akan berdampak secara langsung kepada pembuat konten di Indonesia. Pembuat konten di Indonesia harus mengurus izin ke lembaga penyiaran jika akan mengunggah kontennya. Izin penyiaran tentunya harus diurus terlebih dahulu, serta akan memakan waktu yang lama. Prosedur yang rumit tentunya malah akan mematikan pembuat konten di media sosial. Dapat dikatakan gugatan RCTI dan iNews ini akan mematikan kreativitas anak bangsa.
Semua unggahan di media sosial dapat dikategorikan sebagai siaran, bukan hanya yang audio visual seperti radio dan televisi. Apapun bentuk unggahannya, jika tidak mengantongi izin siar dapat dikategorikan dengan siaran yang melanggar hukum. Artinya, suatu akun dapat ditutup jika tidak mengajukan izin. Di mana penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana yang harus ditertibkan oleh penegak hukum.
Media sosial yang saat ini menjadi tempat kebebasan berekspresi bisa saja dibungkam oleh gugatan ini. Siaran-siaran berbobot, mulai dari diskusi hingga berbagai macam konten lainnya terancam harus memiliki izin siar yang kita tidak tahu akan memakan waktu berapa lama mengurusnya. Belum lagi jika siaran yang diajukan izin siarnya tidak diizinkan tayang karena satu dan lain hal.
Sama saja gugatan ini dapat membungkan kebebasan berekspresi di media sosial yang kita miliki saat ini. Sudah seharusnya gugatan yang diajukan oleh RCTI dan iNews dilawan, sebab gugatan ini berbahaya bagi kebebasan berekspresi warga negara yang dilindungi UUD 1945.