Rabu, April 17, 2024

Eren Yeager, Kesadaran dan Kebebasan

Rio Saputro
Rio Saputro
Menyelesaikan pendidikan formal terakhirnya pada program studi S1 Sosiologi, Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga negara. Di waktu luangnya, Ia adalah pembaca yang mencoba menulis.

Pemberitahuan: esai ini terdapat cuplikan cerita Attack on Titan (AoT) episode 73.

Pada musim akhir seri AoT, Eren Yeager tampil dengan kondisi mental yang jauh lebih tenang dan dingin jika dibandingkan penampilannya pada musim-musim sebelumnya. Ketenangan itu bukan tanda menyerah, api determinasi di dalam dirinya tetap menyala dengan kuat. Ketenangan Eren tak lain adalah buah dari perluasan perspektif tentang realitas perang antara bangsa eldia dan bangsa marley serta perenungannya atas akumulasi memori leluhur yang terkumpul di dalam benaknya.

All decided by my own free will” itu jawaban Eren ketika ia dilempari pertanyaan oleh Armin mengenai gerakan yeagerist. Tak hanya sampai di situ, Eren juga balik mengkritik Armin dan Mikasa dengan membongkar habis kecenderungan-kecenderungan keduanya yang jauh dari idealitas kesadaran dan kebebasan.

Eren dengan lantang mengungkapkan tentang bagaimana Armin tak menyadari bahwa hasratnya untuk mengunjungi Annie Leonhart, tak lain adalah dorongan yang sebenarnya dimiliki oleh Bertholdt yang kini menjadi bagian di dalam diri Armin. Lalu tentang bagaimana Mikasa dikendalikan oleh gen Ackermann yang mengalir di dalam tubuhnya untuk senantiasa melindungi “majikan”-nya apapun yang terjadi.

Semenjak gerakan Yeagerist menyeruak, Armin dan Mikasa selalu khawatir bahwa Eren ada di dalam manipulasi pihak musuh. Namun ternyata Eren membuktikan sebaliknya. Ia menunjukkan bahwa selama ini yang bergerak bukan atas kesadaran dirinya sendiri justru adalah Armin dan Mikasa. Pola perilaku Mikasa dan Armin adalah hasil dari otomasi yang tak disadari bahkan oleh keduanya.

Tulisan ini tak akan membahas tentang siapa yang benar dan salah di dalam cerita itu. Namun, adegan di atas rasanya cukup untuk menjadi pemantik diskusi tentang bagaimana manusia seringkali kehilangan kendali sadar atas dirinya sendiri. Manusia bahkan seringkali tak memahami kenapa ia melakukan apa yang ia lakukan.

Keturunan manusia terlahir bukan seperti kertas putih kosong yang tak memiliki kecenderungan-kecenderungan dan sifat-sifat bawaan. Kita adalah hasil evolusi spesies homo sapiens yang telah berlangsung selama ratusan ribu tahun. Memori-memori alam bawah sadar leluhur telah diwariskan dari generasi ke generasi secara genetik sampai kepada kita.

Oleh karenanya, di dalam diri manusia senantiasa bersemayam hasrat-hasrat purba dan kecenderungan emosional yang seringkali tak kontekstual. Namun beruntung, perkembangan otak manusia memungkinkannya untuk dapat menyadari dan mengamati dirinya sendiri. Potensi itu, yang jika dapat dioptimalkan, akan membuahkan pengetahuan dan pemahaman yang menuntun kepada pola-pola perilaku yang lebih terkendali dan konstruktif.

Dalam konteks ini, pemahaman diri dan kebebasan individu menjadi hal yang urgen untuk dimajukan. Bahwa untuk mewujudkan potensi-potensi kehidupan terbaik dirinya, individu perlu terlebih dahulu menyadari kecenderungan-kecenderungan naluriah dan emosional di dalam dirinya. Untuk kemudian menyaringnya, lalu merespon dengan segenap pertimbangan.

Kalau hidup hanya sekadar untuk mengikuti hasrat naluriah dan kecenderungan emosional belaka, binatang lain pun melakukannya. Kualitas kehidupan seorang manusia yang prima hanya dapat dicapai melalui optimalisasi kapasitas untuk memahami diri secara lebih mendalam. Pemahaman mendalam adalah fondasi bagi keefektifan pengelolaan diri agar individu mampu menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Di dalam dirinya, manusia adalah pertentangan yang tak terelakkan. Ia memiliki potensi, juga risiko. Ia dapat menjadi eksistensi yang konstruktif, juga destruktif. Pertentangan-pertentangan tersebutlah yang selalu memaksa manusia untuk mencari solusi. Menjadi manusia berarti adalah sebuah tugas, karena manusia pada dirinya sendiri adalah persoalan.

Satu potensi relevan yang urgen dari manusia bagi pencarian solusi adalah kesadaran. Kesadaran di sini diartikan sebagai kapasitas mental yang mengombinasikan pengalaman, pengetahuan, imajinasi dan penalaran untuk memahami situasi dan potensi. Dalam kondisi terbaiknya, ia dapat bersifat introspektif, imajinatif, juga progresif. Optimalisasi kesadaran adalah pintu bagi individu untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru tentang kehidupan yang lebih baik.

Untuk menjadi eksistensi yang solutif, individu perlu senantiasa setia kepada kesadaran dan pengamatan. Bukannya justru membiarkan diri bergerak seperti angin ribut kesana-kemari tanpa kendali. Meninggalkan kesadaran dan berhenti untuk mengamati berarti lari dari potensi diri. Jika itu terjadi, konsekuensinya individu akan terasing, tidak hanya dari kehidupan, tetapi juga dari dirinya sendiri. Keasingan dari diri sendiri ini yang seringkali mengantarkan subyek kepada kehancuran.

Individu perlu sadar bahwa pada taraf tertentu ia memiliki kebebasan dan kendali untuk memilih kemungkinan mana yang lebih baik dan akan ia wujudkan. Lalu bersamanya ia akan tumbuh dengan pelajaran dari tiap konsekuensi pilihannya.

Sebagaimana yang pernah diungkapkan Erich Fromm (2019;221) Kebebasan adalah bertindak di atas dasar kesadaran tentang alternatif-alternatif dan akibat-akibatnya. Untuk menjadi bebas, individu perlu sadar benar bahwa dunia adalah ruang-waktu yang dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan (progresif dan regresif) yang siap diwujudkan.

Bagi individu yang tak mengoptimalisasi kesadaran dan menyerah untuk mengamati, ia tak akan mampu melihat segala kemungkinan dan potensi yang tersedia baginya. Dengan demikian ia akan berjalan secara regresif, makin tersesat dan tak lagi memiliki pilihan. Konsekuensinya, ia menjadi tak berdaya, terbawa arus dan akan terombang-ambing di dalam kontradiksi dirinya sendiri.

Referensi:

Fromm, Erich. 2019. The Heart Of Man. Terjemahan oleh Hari Taqwan Santoso. Yogyakarta: IRCiSoD.

Rio Saputro
Rio Saputro
Menyelesaikan pendidikan formal terakhirnya pada program studi S1 Sosiologi, Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga negara. Di waktu luangnya, Ia adalah pembaca yang mencoba menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.