Jumat, April 19, 2024

Gua Plato dan Belenggu Jargon Sektarian “Mayoritas”

Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono
Finance, Banking, and Economics. Arsenio Wicaksono holds a Bachelor's degree in Accounting from Universitas Diponegoro.

Kala siang itu, saya menghadiri sesi kuliah yang saya tempuh di sebuah perguruan tinggi cukup ternama di Jawa Tengah. Menariknya, sesi kuliah yang saya ambil ini diampu oleh seorang dosen yang sudah saya kenal dan barangkali tak hanya saya saja yang menilai dosen pengampu mata kuliah ini cukup “kental” dengan pandangannya yang berbau reliji kebanyakan.

Ada satu hal yang sungguh saya ingat waktu itu, dosen saya mengkritisi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, ia menuturkan bahwa dalam hal tersebut seharusnya pemerintah lebih mementingkan umat reliji kebanyakan di bidang pembangunan dan ekonomi karena yang umat kebanyakan itu memiliki jumlah terbanyak di negara kita.

Maklum, saat kejadian itu berlangsung, negara kita sedang diterpa oleh gelombang romantisme kebangkitan salah satu reliji yang jumlahnya terbanyak. Meski jumlahnya terbanyak, entahlah, di mata saya penggunaan kata kebangkitan mereka ini justru menjadi daya tarik sendiri karena kebangkitan itu sendiri seharusnya merupakan tanda bernada comeback dari keterpurukan.

Contohnya saja tokoh agung reliji aliran Serani. Setelah melalui kisahnya disalib, tokoh tersebut bangkit kembali untuk menunjukkan keagungannya untuk menebus dosa umat manusia. Sebuah kisah yang agung. Namun, penggunaan kata kebangkitan reliji kebanyakan yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini justru hanya mempermalukan mereka sendiri dengan statusnya sebagai mayoritas yang merasa inferior.

Berangkat dari situ, tampaknya fenomena pemikiran yang ingin mengedepankan keuntungan dari jumlah reliji terbanyak ini tak hanya satu dua saja yang bisa dijumpai. Hal ini tercermin sebagaimana Michael Buehler mengatakan dalam bukunya berjudul “The Politics of Sharia Law”, bahwa sejak tahun 1998 tercatat muncul  443 Perda Syariah di Indonesia secara keseluruhan. Melalui fenomena sedemikian rupa, jika kita sadar kita hidup berdampingan di negeri yang multikultural ini, mengapa kita lebih memilih untuk berpikir secara sektarian ketimbang universal?

Redupnya Cahaya di Gua Plato dalam Ambang Romantisme Sektarian

Satu hal yang sering menjadi alasan dari jargon utama oleh umat reliji kebanyakan dalam perasaannya yang superior ialah jumlahnya yang terbanyak. Gamblangnya, gelar tak resminya sebagai mayoritas. Melalui agenda-agendanya yang dilancarkan seperti Perda Syariah hingga ekonomi didasarkan hukum relijinya dan banyak lainnya, mereka membawa simbol identitasnya sebagai  bagian dari anggota tersebut.

Dari sini, ketika kita sudah mengangkat keagungan identitas kita dengan landasan mayoritas, pertanyaan timbul pada bagaimana nasib minoritas dan lainnya yang bahkan tidak memiliki kedudukan pengakuan oleh konstitusi negara?

Ketika ditanya mengenai agenda-agenda mereka yang tak universal, mereka kerap menolak untuk mengakui tersebut, sementara mereka melupakan bahwa hal utama yang terdapat pada agenda yang dibawa adalah berlandaskan identitasnya semata.

Dari situ, hal tersebut pada akhirnya mengantarkan pada kondisi bernegara kita ke di mana keadaan minoritas dengan “aliran”nya yang berbeda hanya memiliki opsi untuk mau dan tak mau ialah mengikuti agenda yang dibuat oleh sang kaum kebanyakan. Hal tersebut dianggap oleh mereka yang banyak itu sebagai adil dan toleran.

Contohnya saja, di tataran kampus dan juga masyarakat kita dapati adanya agenda membawa ajaran relijinya dalam tataran ekonomi (perbankan).  Pada satu kesempatan, saya pernah mendapati ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seseorang panelis dalam sebuah diskusi di kampus saya mengenai penerapan Syariah dalam tataran ekonomi, kemudian panelis tersebut menanyakan pada pembicara mengenai sifat keinklusifannya pada mereka yang tidak satu “aliran” dengannya.

Pembicara tersebut dengan mudahnya menjawab dengan berkata bahwa di dalam penerapan Syariah di tataran ekonominya, mereka yang tidak se”aliran” itu bisa juga mengikuti agenda ini. Apa yang mencerminkan dari pola pikir seorang sekelas pembicara tersebut ialah ada hal yang terlupakan dalam cara hidup kita yang sudah diteguhkan oleh dasar negara mengenai kehidupan yang multikultural. Tak banyak yang mau menyuarakan hal ini.

Adanya fenomena pementingan golongan-golongan tertentu, dalam hal ini mayoritas, mengingatkan kita untuk kembali berefleksi pada bagaimana analogi “Gua Plato” bekerja. Dalam dialog terhebatnya, Republic, Buku VII, Plato menganalogikan situasi manusia yang terpenjara di dalam gua dengan keadaan leher dan kaki mereka dibelenggu dengan rantai sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu memandang pintu gua.

Di balik itu, ada tabir di belakang orang tersebut berbentu dinding yang menempel di tabir tersebut. Dan di balik dinding tersebut, ada cahaya dari matahari yang menembus celah dari dinding di balik orang yang dirantai tersebut dan menghasilkan sebuah bayangan kecil yang oleh orang dirantai dapat melihatnya.

Gambaran ini cukup gamblang dalam perbandingannya dengan fenomena kelompok reliji kebanyakan yang mementingkan penerapan “aliran”nya. Gua itu melambangkan dunia tempatnya hidup dan orang-orang yang dibelenggu dengan rantai itu melambangkan orang-orang yang bepikiran mengunggulkan golongannya yang berjumlah terbanyak. Orang-orang yang dibelenggu itu hanya mampu melihat bayangan yang menembus dinding yang dihasilkan oleh matahari.

Bayangan kecil itu pantas untuk disebut sebagai “jargon mayoritas”. Karena ketiadaan kemampuan untuk melihat dunia luas di luar gua mereka, mereka selalu menanamkan jargon mayoritas itu ke dalam pikiran mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat dunia luas lainnya yang lebih terang dipancarkan oleh matahari di luar gua yang membelenggu mereka.

Dalam semangat jargon mayoritas, ialah merupakan forma atau idea yang obyek-obyeknya berbentuk kesadaran palsu tentang bagaimana layaknya kita hidup di lingkungan yang multikultural. Melaluinya lahir adanya sekat kental yang dilestarikan dengan kata mayoritas akan membentuk masyarakat yang hidup dalam sebuah dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Masyarakat mayoritas akan merasa superior karena jumlahnya yang banyak, dan hidup dalam kesadaran pola pikir dengan sebab jumlahnya yang paling banyak, maka menurutnya, negara ini seharusnya didirikan oleh prinsip hukum yang sesuai dengan simbol dari identitasnya.

Akibatnya, dengan pola pikir yang berangkat dari sebuah dikotomi dalam masyarakat ini timbul sebuah gerakan dengan warna identitasnya untuk menyuarakan suara dengan dasar pikiran jumlah terbanyak. Tentu saja, minoritas dengan sebesar apa pun rasa kritis untuk menyuarakan suara yang bergerak untuk lebih menjadi multikultural akan merasa khawatir akan nasibnya mereka ke depannya.

Hasilnya terlihat jelas, di balik negara-negara maju yang menerapkan prinsip sekularismenya untuk melestarikan kehidupan yang menghargai semua hak hidup masyarakatnya dalam semangat multikulturalismenya dan menghasilkan kemajuan teknologi dan pengetahuannya, kita justru sibuk memperolok mereka dengan memperburuk citra sekularisme itu sendiri dan semakin menjadi intoleran untuk mengunggulkan keuntungan jumlah umat terbanyaknya dengan hak minoritas yang semakin kita kebiri dengan alasan semata-mata berdasarkan jumlah.

Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono
Finance, Banking, and Economics. Arsenio Wicaksono holds a Bachelor's degree in Accounting from Universitas Diponegoro.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.