Niki Haley, Duta Besar AS untuk PBB mengatakan, apa yang kami saksikan hari ini di Dewan Keamanan adalah sebuah penghinaan, tidak akan kami lupakan. Dengan tegas ia juga menyatakan, sekali lagi PBB memberi bukti melakukan lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam menangani konflik Israel-Palestina.
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, AS kecewa dengan hasil voting Majelis Umum PBB yang tidak mendukung pernyataan Presiden AS Donald Trump dalam mengakui Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel dan rencananya untuk memindahkan kedubes Amerika dari Tel Aviv ke Yerussalem Timur.
Atas hasil itu AS lalu mengancam negara-negara yang selama ini mendapat bantuan dari mereka. AS juga memutus bantuan yang selama ini mereka berikan untuk pengungsi Palestina melalui UNRWA.
Sekjen PBB Antonio Guiteres sampai menyatakan pihaknya terpaksa menghentikan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial kepada pengungsi Palestina. Akhirnya negara anggota PBB yang lain punya misi tambahan untuk meningkatkan kontribusi dalam merespon langkah AS. Yang dipertaruhkan di sini adalah martabat dan keamanan jutaan pengungsi Palestina, yang memerlukan bantuan makanan darurat dan dukungan lain di Yordania, Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat serta Jalur Gaza.
Tapi entah permainan apa lagi yang coba diperlihatkan AS kepada dunia. Rencana ambisius Trump untuk mempercepat pemindahan kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerussalem ternyata ditentang oleh Menlu dan Menhan mereka. Alasannya tidak jauh dari pertimbangan keamanan kedutaan dan keselamatan penduduk AS di wilayah konflik. Pernyataan yang seolah memperlihatkan perselisihan di Gedung Putih ini kemudian buru-buru dibantah oleh Jubir Deplu mereka bahwa percepetan pemindahan kedutaan kini sedang berlangsung.
Coba Menggoyang Iran
Demo peringatan “kemenangan sistem” atau biasa disebut “9 Dey” yang digelar oleh pemerintah Iran pada 30 Desember tiba-tiba diwarnai dengan kemunculan demo di Kota Mashad dengan isu kondisi ekonomi yang makin sulit. Perlu diketahui “9 Dey” adalah demo peringatan kemenangan Ahmadinejad dari upaya kudeta yang dilakukan Mir Mousavi terhadap pemerintahan terpilih. Mousavi sendiri adalah kandidat presiden, lawan dari Ahmadinejad. Waktu itu ia sampai menggalang aksi-aksi demo yang anarkis hingga korban jiwa berjatuhan.
Demo terhadap pemerintah atas kondisi sosial memang wajar. Tetapi demo yang terjadi pada 28 Desember di Kota Mashad yang sempat membuat peserta demo mengira ini rangkaian demo “9 Dey” dianggap dipenuhi kepentingan asing terutama AS. Pasalnya ketika Trump di awal tahun 2017 mengambil kebijakan rasis melarang orang Iran masuk AS, di akhir tahun kemarin ia tiba-tiba berkata “AS berdiri bersama rakyat Iran”. Di demo yang menunggangi peringatan “9 Dey” itu juga sampai ditemukan demonstran bersenjata dan provokator-provokator yang berpaspor ganda.
Dalam tulisan saya sebelumnya tentang “Trump dan Prediksi Geopolitik Timur Tengah”, disebutkan Trump sedang melakukan tes terhadap kerumunan negara-negara dan gerakan-gerakan Islam yang memiliki kepentingan besar di Timur Tengah. Iran jadi negara selanjutnya yang di tes oleh Trump setelah Palestina. Ditambah Rouhani, Presiden Iran saat ini yang cenderung disukai oleh Barat, memang payah dalam melakukan perubahan perekonomian ke arah yang lebih baik.
Melihat aksi penunggangan “9 Dey” kemarin, kekuatan sistem Iran memang masih kuat. Tetapi pernyataan Trump atas aksi protes didalamnya bisa jadi pintu awal bagi AS untuk menggoyang Iran lewat gerakan di bawah. Baru-baru ini juga Trump sedang berupaya mengubah perjanjian nuklir Iran dan langsung ditolak oleh Pemerintah Iran. Trump lalu memberikan dua pilihan; revisi kesepakatan nuklir Iran ata AS akan menarik diri. Jika AS menarik diri tentu akan makin meningkatkan eskalasi geopolitik dikawasan Timur Tengah.
Hal lain yang patut diperhatikan juga adalah strategi keamanan pemerintah AS bernama “Kompetisi Strategis Antar Negara” yang rilis baru-baru ini. Dalam strategi ini Iran, China, Korea Utara dan Rusia disebut-sebut sebagai kekuatan yang mengancam tatanan internasional. Strategi ini juga jadi penanda kembalinya mental dan logika gaya Perang Dingin dalam kebijakan luar negeri AS yang akan fokus pada melawan kekuatan besar yang jadi pesaingnya ketimbang pada gerakan-gerakan terorisme.
Jika membaca sejenak catatan-catatan sejarah, Perang Dingin antar blok Barat dan Timur diwarnai dengan konflik dan pertempuran yang cukup besar di Timur Tengah dan beberapa negara dunia ketiga di kawasan lain. Dalam waktu dekat ini atau mungkin beberapa tahun kedepan, akankah peristiwa itu terjadi kembali?