Dua pernyataan petinggi Partai Demokrat (PD), yaitu AHY dan SBY beberapa saat lalu, menyebabkan gerah beberapa pihak. Anehnya, yang sibuk menangkis serangan psikologis ini sepertinya hanya PDIP. Partai lain relatif tenang. Kalau pun ada yang berkomentar, hanya partai koalisi pendukung presiden terpilih 2019 lalu. Yang sibuk ditangkis adalah statemen tentang gunting pita dan 2 paslon 2024.
Sebagai partai pemenang pemilu dan punya pengalaman politik gemilang, tidak seharusnya PDIP meladeni pernyataan-pernyataan itu. Oleh sebagian kawan kolegial saya, sudah tidak kelasnya lagi melayani omongan itu. Tapi sayangnya, politisi PDIP masih menanggapi, dan bahkan berbalik menyerang. Pertanyaannya, apa pentingnya buat PDIP jika menanggapi itu? Toh yang ditanggapi juga tertawa riang di seberang sana, dan menganggap PDIP kebakaran jenggot.
Sebenarnya dalam pemikiran kami – akademisi yang punya kacamata politis netral – menilai dua pernyataan PD sebagai sebuah dagelan. Anggap aja demikian, sebab memang dari dulu sudah terbukti bahwa PD lebih suka melempar isu, yang condong ke arah mencari perhatian. Yang semula tidak ada apa-apa pun, mereka juga tiba-tiba mengeluarkan pernyataan politis kurang pas. Semacam baper, begitulah.
Ini belum apa-apa, jika ada partai lain yang memberikan penilaian minoritas terhadap PD. Yang ada pasti tarung opini, tanpa ada yang menang satu pun. Saya dan kawan-kawan, selalu menertawakan dagelan yang ditayangkan di TV, esok harinya. Apa-apaan, mereka ini. Bukankah sebaiknya justru mereka bertarung ide dan inovasi yang mutakhir, jika memang mereka benar membela dan mengutamakan kepentingan rakyat. Bukankah itu yang mereka gembar-gemborkan semanis janji kampanye?
Yang punya niat besar memakmurkan rakyat, apa saja kiatnya, silakan diadu di TV. Tak perlu nunggu debat capres, kalau memang berani silakan ditunjukkan sekarang. Yakinlah bahwa partai lain tak akan mencomot ide. Mereka justru gengsi jika harus mencuri ide yang bukan hasil pemikirannya. Jangan punya pikiran itu deh, biar tak disangka sebagai partai besar berpikiran kerdil. Atau jangan-jangan memang sebenarnya mereka tak punya ide apapun. Yang ada hanya merecoki tetangga, dan menunggu ada umpan nganggur yang bisa diserap jika menang pemilu kelak.
Niat besar lain yang juga selalu dicorongkan adalah banyaknya hutang negara yang dihimpun ketika presiden terpilih berkuasa, siapa pun itu. Di dua tahun mendatang, siapa pun presidennya – mampukah untuk tidak berhutang. Andai saja menang pemilu dan berkuasa, mereka diyakini sudah punya dalih bahwa hutang ini adalah warisan penguasa sebelumnya. Penguasa berikutnya hanyalah korban.
Yang juga aneh adalah tentang data kemiskinan penduduk. Kelompok oposisi mengklaim bahwa jumlah kaum miskin bertambah banyak. Sementara penguasa mengatakan sudah banyak yang terentas. Kalau memang sumber rujukannya sama – dari BPS misalnya – pasti mereka satu suara. Tak perlu lagi saling klaim, toh BPS juga lembaga negara yang salah satu tugasnya juga menentukan jumlah penduduk miskin dan nonmiskin. Aneh gitu lho, kok sampai sekarang punya data sendiri-sendiri. Dari mana asalnya?
Sebagai penonton, saya dan kawan-kawan hanya bisa bersorak – sambil tertawa ngakak pastinya. Makin dalam olah dan analisis datanya, makin kencang cara kami tertawa. Artinya, cara mendapatkan, menganalisis, dan mempublish data yang ada pun seakan-akan dipaksakan hanya sekadar untuk menyerang lawan politik. Mereka terpaksa mencari-cari kesalahann oposisi, dan cenderung gengsi mengakui keberhasilan lawan. Ya wajar, namanya saja oposisi.
Tapi apa iya benar dan harus selalu begitu? Penonton seperti kami padahal ingin sekali mendengakan pengakuan kelompok oposisi mengenai pengakuan keberhasilan lawan politik. Alasannya simpel sekali. Bahwa kami selalu berinteraksi dengan kaum akademisi – semacam mahasiswa – maka peluang kami untuk membelajarkan etika politik lebih leluasa, sambil menunjukkan sikap elegan parpoln tertentu yang elegan mengakui keberhasilan lawan.
Dampaknya sangat nyata, jika mereka – para mahasiswa – menceritakan kembali pada teman kampus beda kelas, beda jurusan dan fakultas, serta bercerita demi mempersuasi warga di kampungnya tentang hal ini. Ini cara kami berkampanye – yang jika dilakukan secara nyata, pasti tidak boleh. Tapi kami punya peluang dalam membelajarkan etika politik dengann menyebutkan nama parpol yang punya teladan luar biasa.
Jadi, berikan kami tontonan sejuk yang bisa menjadi bahan kuliah mahasiswa, demi mendongkrak nilai jual partai Anda. Dan yang penting lagi, nggak usah baperan. Kalau masih baperan, mending momong cucu dan main tik tok aja…