Belum lama ini, tepatnya pada bulan November lalu masyarakat sempat dihebohkan dengan ancaman resesi. Kehebohan ini sampai mendorong para elite politik nasional maupun internasional untuk melakukan kerja sama multilateral. Dapat disimpulkan ekonomi dunia dalam keadaan genting. Anehnya, bukannya berinisiatif untuk menabung, akhir-akhir ini masyarakat lebih asyik mengkonsumsi sebuah produk es krim yang sedang populer berlabel “Mixue”.
Ketika mendengar kalimat “es krim yang sedang populer”, tentu yang terbayang adalah produk berlabel “Mixue”, sebab Mixue sudah tidak asing di telinga masyarakat. Di Indonesia saja, setidaknya 300 lebih cabang tegak berdiri. Dengan omset mencapai Rp 6 juta sampai Rp 10 juta per hari tiap cabang bukanlah angka kecil. Di titik itulah, sejatinya, investasi masif Mixue berbuah manis.
Apabila digiring ke konteks lain, meruahnya investasi Mixue menandakan masyarakat tidak percaya yang namanya resesi. “Apa itu resesi?, lebih baik minum es krim,” ungkapan itu terucap di hati kecil masyarakat, mengingat riset Continuum Data Indonesia mengungkapkan 95,9 orang tidak khawatir akan resesi. Masyarakat mereduksi bayangan buruk di masa depan. Walhasil, budaya konsumsi semakin matang, gaya hidup tak ada ujung dan sukar dibendung.
Jika dilihat dari identitas produk, Mixue terbilang sukses memikat hasrat selera konsumtif masyarakat. Bahkan suatu wawancara di kumparan.com mengungkapkan, seseorang bisa 3 kali seminggu membelinya. Mixue membawakan identitasnya melalui media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan media lainnya. Upaya itu berbuah pada exposure dan kekuatan branding, nantinya masyarakat tertarik dan merasa perlu untuk membelinya.
Upaya branding dan strategi penjualan bisa dibilang hal wajar, sebab hampir semua perusahaan melakukan upaya tersebut. Yang menjadi ironis ada pada laku budaya masyarakat, mereka menciptakan nilai-nilai yang berlimpah ruah melalui barang-barang konsumtif, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan.
Nilai inilah yang melekat pada es krim bermerek “Mixue”, seolah-olah minuman tersebut menjadi barang wajib untuk dicicipi. Masyarakat sendiri yang menanamkan nilai pada suatu merek, entah melalui media atau interaksi secara langsung. Boleh jadi orang yang tidak pernah merasakan atau sekedar berbicara tentang Mixue, dianggap ketinggalan atau kuno.
Fenomena konsumerisme, dengan mudah ditemukan di era modern. Kita tidak perlu jauh-jauh melangkah, cukup dengan cek insta story dan cuitan Twitter maka label Mixue akan muncul. Bahkan, per 28 Desember 2022 saja, kata kunci “Mixue” menjadi trending topic Twitter dengan jumlah 61 ribu lebih kicauan. Inilah yang mendasari saya untuk beranggapan mengenai faktor eksternal sebagai salah satu daya tarik masyarakat konsumtif.
Menurut penelitian Rif’ah 2019, media sosial adalah variabel pendukung budaya konsumerisme. Masyarakat disuguhi bermacam iklan yang membius keinginan daya belinya. Terlebih, produk tersebut punya eksistensi dikarenakan tingkat pembelian dan pemakaian. Bermacam embel-embel keunikan iklan dibuat oleh promotor demi meyakinkan konsumen dan mempengaruhi minatnya.
Jean Baudrillard menyatakan bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat bukanlah kegunaan dari suatu produk, melainkan citra atau pesan yang disampaikan. Untuk memenuhi kebutuhan primer seperti minum masyarakat bisa membeli produk lain, namun, sebab didasarkan prestise dan gaya hidup, merek yang populer lebih diutamakan.
Keterasingan Masyarakat
Benturan antara peristiwa genting dengan melejitnya gaya hidup adalah kenyataan yang absurd. Manusia membuang ludah sekaligus menadahi dan meneguknya. Wacana resesi global tidak sebanding dengan pola hidup masyarakat hari ini yang boros dan naif. Dorongan daya beli konsumen menyebabkan ekonomi mengalir, hanya pada beberapa titik. Pertanyaannya, siapa yang dirugikan?
Para kapitalis berhasil menawarkan berbagai produk seraya memberi perlakuan (bagi konsumen) bak pangeran dan putri ayu lewat senyum ramah. Berbanding terbalik dengan para pedagang, misalnya, jangankan berpikir melampirkan iklan, untuk berdagang saja terkadang mereka kerepotan.
Kebutuhan palsu (false needs) menjadi kalimat yang cocok dalam konteks ini. Maksudnya, kebutuhan masyarakat beralih menjadi kebutuhan yang dipaksakan agar proses produksi industri tetap berjalan. Kebutuhan diindoktrinasikan oleh iklan, sehingga konsumen memiliki ekspektasi tinggi terhadap produk tersebut, padahal produk yang datang tak sesuai harapan. Dari sini konsumen mulai gigit jari.
Bicara tentang kebutuhan palsu, Herbert Marcuse–seorang filosof modern asal Jerman–membahasnya secara subtil. Baginya, kebutuhan palsu merupakan kebutuhan yang dipaksakan individu, kebutuhan yang tidak benar-benar dibutuhkan, kebutuhan yang dimanipulasikan oleh iklan, serta kebutuhan yang menimbulkan kebahagiaan (euphoria) sesaat.
Secara praksis, industri menawarkan produknya lewat iklan. Iklan dilengkapi dengan bahasa-bahasa komersial yang terus menerus diulang-ulang dan ditanamkan pada konsumen. Sebagai contoh, Mixue menawarkan produknya dengan kalimat, “Wah hari yang cerah, tidak mungkin aku menemukan logo Mixue di sini.” Kalimat itu terus diulang beserta sajian visual menggiurkan agar konsumen tidak asing dan tertarik membelinya.
Dalam masyarakat industri maju inner dimensional of mind tergantikan oleh kesadaran palsu. Marcuse menganggap hadirnya industri maju menghilangkan kemampuan kritis untuk melawan dominasi teknologi. Matinya dimensi kritis melahirkan manusia yang bertendensi tidak mampu memberikan wacana kritis untuk membongkar manipulasi dalam sistem kapitalisme.
Bagi saya, fenomena ini yang terjadi pada masyarakat kita, orang terus mengkonsumsi sesuatu tanpa melawan efek dominasi. Larisnya Mixue dan mainan lato-lato adalah contoh kecil mengenai dominasi teknologi terhadap kemampuan kritis masyarakat. Jika digiring dengan kondisi gentingnya ekonomi, seharusnya uang bisa disisihkan untuk ditabung. Bantuan kemampuan kritis selalu menanyakan dan menyesuaikan keadaan.
Mixue hanya contoh produk yang konteksnya sama dengan hasil kajian ilmuwan. Dalam artian, masyarakat sendiri yang terasingkan oleh aneka ragam iklan serta godaan sosial. Mereka tidak lagi berpikir tentang dominasi teknologi, tidak juga berpikir tentang ancaman resesi, melainkan terus mengalir terbawa arus hasrat konsumsi.