Minggu, Oktober 6, 2024

Jakarta Keras dan Seram dari Thread di Twitter?

Mimpi Ujian

“Jakarta keras, bung!”

Belakangan saya sering lihat thread Jakarta keras di Twitter. Dikisahkan bahwa untuk bertahan di Jakarta perlu keberanian tingkat tinggi. Bahkan disarankan untuk bawa senjata, pisau lipat misalnya. Aduh, bawa senjata, emang mau motong sayur di mana bang?

Saya terlalu cute untuk bawa senjata tajam. Kemana-mana saya cuma bawa sunblock dan lipbalm. Jahatnya Jakarta tak bisa membuat saya luput merawat kesehatan kulit. Saya enggak punya banyak duit untuk operasi, usaha merawat kulit dengan skincare adalah jawaban buat orang-orang kayak saya, miskin tapi gembira.

Saya lahir dan besar di Jakarta. Dari kecil saya tumbuh di Condet, Jakarta Timur. Iya, benar, Condet yang banyak Arabnya itu. Yang kalau dari depan PGC belok kanan terus banyak tukang parfumnya.

Enggak ada yang spesial dari Condet. Waktu kecil saya sering mandi di Ciliwung, berburu remis untuk direbus ibu di sore hari. Jika remis kurang bumbu, ibu akan memanggil tetangga, “mpok boleh pinjem garem?”. Mungkin bagi banyak orang ini aneh, tapi bagi kami yang tinggal di Condet ini adalah keseharian, relasi yang muncul dari interaksi dan kedekatan antar warga. Jangankan soal Garem, kadang kalo ada Kawinan suka pinjem dapur.

Sederhana sekali.

Condet tuh gimana, ya. Ada aja sih hal aneh yang terjadi selama saya tinggal di Condet. Saya pernah ikut pengajian remaja, belum ada sebulan langsung berhenti. Ustad muda yang mengajar saya dan teman-teman saya ketahuan memperkosa salah satu teman saya. Iya memperkosa, seram? Jelas, tragedi? Ya iyalah, tapi apakah membuat kami tidak betah tinggal di Condet? Tentu saja tidak.

Ibu saya memutuskan untuk anak-anaknya mengaji di rumah saja. Salah besar. Bukannya ngaji, saya malah main PS. Condet adalah apa yang saya sebut sebagai rumah, agak mustahil meninggalkan tempat ini. Kalau kamu terganggu dengan suara bocah menangis, orang berteriak, atau tetangga bertengkar, ya mungkin karena kamu berjarak sama mereka. Bagi saya kebisingan itu hal yang nyaris lumrah.

Tiap sore Condet diramaikan dengan suara bocah mengaji, belom lagi kalau ada hajatan pengajian, dari subuh hingga siang speaker masjid bisa terus-terusan. Suara bocah menangis, kadang jika memang dianggap tak wajar, biasanya kami cari tahu.

“Nape mpok anaknye nangis kejer gitu? Sakit?”

“Abis jatoh,”

Lalu ibu saya, kakak, dan tetangga semua datang menjenguk, memberikan dukungan sekenanya. Bocah nangis, ya ditengok, bukan malah dijadiin thread di twitter. Membantu tetangga itu ngga susah, yang susah kalau merasa udah berjarak. Merasa bukan anak sini, bukan bagian dari komunitas tempat kalian tinggal. Ah elah lagak lu sop SJW.

Waktu kecil saya sering ikut bapak saya ke Pasar Induk. Bapak saya adalah seorang supplier buah. Kebanyakan buah diambil di Pasar Induk Kramat Jati. Pasar Induk Kramat Jati di awal tahun 2000-an itu seram. Bau. Berantakan banget pokoknya. Tapi selama saya ikut bapak saya, hal buruk yang terjadi bukan disebabkan oleh preman.

Ada kenangan buruk di Pasar Induk. Ceritanya begini, sebagai bocah, saya punya obsesi untuk mencari tahu, kadang karena ingin tahu saya suka naik meja, tangga, tiang atau apapun itu. Di Pasar Induk karena penasaran atas suatu hal, saya naik meja, sialnya, saya jatuh kepleset masuk ke tumpukan pisang busuk. Hingga kini, saya nggak pernah bisa dekat sama pisang. Mesti mual-mual bahkan bisa menangis.

Apa saat itu saya digampar orang? Ya tidak, orang pasar membantu saya.

Banyak yang terjadi selama saya tumbuh, saya harus keluar dari zona nyaman. Pelan-pelan saya main lebih jauh. Warnet langganan saya berada di dekat Pasar Rebo. Saya sering jalan kaki lewat pasar, memotong jalan untuk masuk komplek. Namanya pasar, pasti banyak orang seram. Bajunya berantakan, tampangnya urakan. Tapi apa semua yang seram itu jahat?

Jaman itu belum ada Twitter. Saya enggak bisa bikin thread “beware guys di jalan itu banyak preman”. Tapi bertahun-tahun main di itu warnet, bertahun-tahun jalan kaki tengah malam lewatin pasar, mulai zaman anak Pensi sampai Supreme Hypebeast, dari era poni lempar ala Iman J-Rocks hingga era joget manja Gee SNSD, saya nggak kenapa, tuch~ Aman sentausa!

Orang-orang pasar emang serem. Secara tampilan aja, sih. Setelah kenal malah baik-baik aja. Awalnya sering pakai jasa mereka untuk ngojek, lama-lama karena kenal suka ditawarin bareng kalau pulang subuh-subuh. Mungkin mereka kasihan, saat itu badan saya kurus kering, muka tidak simetris, kadang kena angin kenceng dikit terbang, kena banjir dikit hanyut.

Umur pun bertambah. Saya mulai bekerja. Saya pertama kali kerja di daerah Sudirman. Otomatis pulang pergi naik kereta. Dan seperti kita ketahui, bekerja di advertising agency bikin saya sering pulang malam. FYI aja nich, stasiun terdekat rumah saya itu stasiun Pasar Minggu. Apa Pasar Minggu serem? Biasa aja, tuh~ Saya masih sering jalan kaki dari Pasar Minggu ke rumah. Nggak pernah terjadi aneh-aneh.

Makin tua selera fesyen makin entah kemana. Saya berapa kali ke Pasar Baru untuk berburu pakaian. Saya enggak pernah menemukan hal-hal suram di Pasar Baru. Saya bisa beli baju hingga makan bakmi dengan santai di Pasar Baru. Enggak ada tuh preman yang gangguin saya, tapi jelas ini pengalaman pribadi. Mungkin kalau wajah anda mapan kaya Thomas Djorgi atau Nafa Urbach, kemungkinan dipalak jelas ada, tapi apakah wajar menyebarkan ketakutan?

Saya juga sering berburu pakaian bekas di Pasar Senen. Muter-muter masuk ke dalam demi jaket murah nan artsy~ Kadang proses perburuan baju murah bikin saya lupa diri. Tahu-tahu udah maghrib, aja. Seram? Tentu. Teman-teman saya memperingatkan, bahwa daerah itu berbahaya. Cerita seram atau penodongan jelas pernah saya dengar, tapi hingga hari ini Alhamdulillah tak pernah terjadi.

Bertahun-tahun belanja di Senen enggak pernah tuh hal aneh terjadi ke saya. Malah saya mengajak teman-teman, mulai yang sama melaratnya hingga yang tajir melintir untuk main ke Senen. Belanja baju bekas, cari makanan enak, sambil foto ala-ala. Kami semua tetap bisa pulang dengan setumpuk pakaian yang keren tanpa luka sedikitpun. Kalau dipikir-pikir, aneh juga, ya!

Saya jadi bertanya-tanya, apa preman-preman itu enggak peduli sama keberadaan saya. Padahal rambut saya ngejreng banget. Udah pasti everybody all eyes on me~

Terus saya ngaca. Saya sadar. Tampang saya nggak ada komplek-kompleknya. Udah pasti di-judge sama preman-preman senen. “Kasihan, udah jelek miskin.”

Kadang jadi jelek ada manfaatnya juga.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.