Senin, Oktober 7, 2024

Gerakan Cinta Indonesia

Akhol Firdaus
Akhol Firdaus
Dosen Filsafat dan Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung

Ada semangat baru mencintai Indonesia. Mencintai dasar negara dan pondasi kebangsaan Indonesia. Bahkan, semangat ini bertumbuh menjadi arus baru setelah bertahun-tahun negeri ini dikepung oleh kampanye kebencian yang dihembuskan oleh radikalisme.

Ini situasi yang menggembirakan. Arus itu harus terus digelorakan. Gerakan cinta merupakan hal yang paling masuk akal untuk menghadapi situasi kebangsaan Indonesia yang sedang kacau belakangan ini. Banyak elemen masyarakat sipil yang tidak mau lagi berdiam diri. Duduk dan hanya menyaksikan Indonesia terus dirongrong oleh segelintir orang yang menghendaki suasana kebangsaan Indonesia dipenuhi kebencian.

Dalam momentum peringatan Soempah Pemoeda 2017, gerakan cinta Indonesia tersebut diekspresikan dalam berbagai deklarasi. Pada 26  Oktober 2017, Forum Rahmatan lil Alamin (Forla) Jawa Timur, berikrar ‘Sumpah Cinta Indonesia’. Bunyi ikrar itu mirip dengan Sumpah Pemuda, hanya diselaraskan dengan narasi generasi zaman now.

Begini bunyi ikrarnya, “Kami, bangsa Indonesia bersumpah: [1] Mencintai satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia; [2] Mencintai satu bangsa, Bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika; [3] Mencintai satu Indonesia, Indonesia yang berdasar Pancasila.” Asyik dan renyah ikrar ini saat dikumandangkan dalam Seminar Kebangsaan di Universita Widya Mandala Surabaya.

Di Jawa Barat, gelora yang sama juga sedang bertumbuh. Ikrar Cinta Indonesia juga dikumandangkan dalam sebuah acara bertajuk “Konsolidasi Jaringan Menagkal Radikalisme dan Hate Speech”. Acara ini dihelat oleh Fahmina Institute bekerja sama dengan Polres Majalengka. Mazuki Wahid, tokoh muda Nahdlatul Ulama yang keren, memimpin ikrar itu. Dari status facebook-nya saya tahu bahwa teks ‘Sumpah Cinta Indonesia’ digubah dari teks yang dikirim dari Jawa Timur.

Begini bunyi teksnya, “Kami, warga bangsa Indonesia bersumpah: [1] Mencintai satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia; [2] Mencintai satu bangsa, bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika; [3] Mencintai satu ideologi, ideologi negara Pancasila; [4] Mencintai satu Konstitusi, Konstitusi UUD 1945; [5] Mencintai satu kebudayaan, kebudayaan Nusantara.” Dikumandangan di Cirebon, 27 Oktober 2017.

Di berbagai wilayah di Indonesia, tengah lahir kesadaran baru dalam menjiwai dan mengekspresikan ‘cinta’ terhadap tanah air dan bangsa.

Dari Tulungagung untuk Indonesia

Gelora ‘Cinta Indonesia’ ini juga yang sedang membakar jiwa anak-anak muda dari berbagai wilayah Indonesia yang tengah berkumpul di IAIN Tulungagung, 27-28 Oktober 2017. Mereka adalah para mahasiswa jurusan fisafat dari 20an kampus se-Indonesia. Mengambil momentum Soempah Pemoeda, para mahasiswa itu sedang membentuk organisasi payung mahasiswa filsafat se-Indonesia. Organisasi tersebut kemudian mereka beri nama Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia.

Organisasi ini mereka deklarasikan bersamaan dengan Seminar Kebangsaan bertajuk “Filosofi Bhinneka Tunggal Ika sebagai Fondasi Peradaban Bangsa” pada 28 Oktober 2017, di Aula Utama IAIN Tulungagung. Muhammad Afif, ketua Presidium Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia, memimpin deklarasinya. Menariknya, isi deklarasi tersebut merupakan peneguhan-peneguhan ekpresi cinta Indonesia dan pondasi kebangsaan, bhinneka tunggal ika. Mereka dengan sangat lantang berikrar, “Kami Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia berasaskan satu asas Pancasila; Kami Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia, dari mahasiswa filsafat untuk Indonesia.”

Dalam seminar kebangsaan itu, para mahasiswa filsafat juga merefleksikan sangat serius hasil penelitian Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung tetang pondasi kebangsaan Indonesia yang bisa dilacak sejak 1000 tahun yang lalu. Penelitian itu bertajuk,  “Melacak Jejak Spiritualitas Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara”. Dapat dikatakan, penelitian ini merupakan sumbangan penting IAIN Tulungagung terhadap diskursus Bhinneka Tunggal Ika sebagai pondasi kebangsaan Indonesia modern.

Seminar Kebangsaan dimulai dengan menyuguhkan beberapa temuan penting penelitian. Saya sebagai narasumber tunggal seminar tersebut, menegaskan kembali tentang pentingnya refleksi tehadap ajaran Bhinneka Tunggal Ika sebagai ajaran spiritual dengan kandungan filsafat yang tinggi. Ajaran tersebut menggambarkan suatu tata kehidupan beragama dan berbangsa pada masa kuno yang dijiwai oleh semangat mistik-sintesis dan harmoni. Inilah pondasi kebangsaan Indonesia yang berhasil dituliskan oleh bujangga kuno, Mpu Tantular, pada abad 14 M, dalam naskah Sutasoma.

Tata kehidupan beragama dan berbangsa seperti ini tidak hanya ditemukan pada masa kegemilangan Majapahit pada abad 14 M, tetapi juga bisa dilacak ratusan tahun sebelumnya. Setelah digali kembali oleh para pendiri bangsa, ajaran ini terbukti mampu berdialektika dengan semangat zaman, dan terus menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Saya sendiri meyakini bahwa ajaran Bhinneka Tunggal Ika tetap merupakan warisan spiritualitas dan filsafat terbaik yang layak untuk terus dirawat sebagai pondasi dan identitas kebangsaan Indonesia.

Inilah jiwa dan ekspresi cinta kami–IAIN Tulungagung dan Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia—kepada kebangsaan dan tumpah darah Indonesia. []

Akhol Firdaus
Akhol Firdaus
Dosen Filsafat dan Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.