Kamis, Maret 28, 2024

Generasi Simbolik dan Politik

Fitrah
Fitrah
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.

Para ahli filsafat moral sosiologi abad ke 18, adalah Charles horton (1864-1929), William I.Thomas (1863-1947), George Herbert Mead (1863-1931), mereka mempunyai teori mengenai interaksionisme simbolis, yang mencatat bahwa individu mengevalusai perilaku mereka sendiri dengan membandingkannya dengan orang lain.

Manusia mengunakan simbol untuk mengembangkan pandangan mereka mengenai dunia dan untuk saling berkomunikasi. Tanpa simbol, kehidupan sosial kita tidak akan lebih canggih daripada kehidupan sosial hewan.

Tanpa simbol, kita tidak akan mempunyai ibu, bapak, guru, dosen, profesor, dan lain-lain. Dengan simbol umat manusia mendefinisikan, berkomunikasi, dan menempatkan diri dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Selanjutnya, interaksioanisme simbolis akan berperilaku atau bertindak bagaimana kita mendefinisiskan diri kita dan orang lain. mereka mengkaji interaksi tatap muka, mereka melihat bagaimana orang menangani hubungan di anatara mereka dan bagaimana mereka memberi makna pada hidup mereka dan tempat mereka didalamnya.

Para penganut interaksionisme simbolis menunjukan bahwa diri adalah self, karena diri terdiri dari ide-ide, jiwa dan raga, diri juga adalah suatu simbol yang berubah ubah, dikala kita berinteraksi dengan orang lain, kita secara terus menerus menyesuaikan pandangan kita atas dasar bagaimana kita menempatkan diri.

Karena itu, simbol digunakan manusia untuk mengekang sifat hewaninya, misalnya melalui simbol budaya, norma sosial, hukum maupun moralitas, yang membedakan manusia dengan hewan adalah karena manusia menggunakan simbol-simbol untuk memenuhi kebutuhan, berinteraksi, dan mengatur pola perilakunya.

Belakangan ini, masyarakat Indonesia istilah generasi milenial begitu hangat di perbincangkan baik di kalangan politisi, akdemisi di kedai-kedai, ruang seminar dan lokarya universitas. tidak bisa dipungkiri bahwa generasi milenial adalah kelompok dan pemilih mayoritas pada pilkada, pemilu yang akan datang dan para politisi merebut atau menyentuh hati generasi milenial.

Ini wajar saja. Sebab faktanya, menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55% pada 2019 nanti.

Menurut survei CSIS, sebanyak 81,7% milenial memiliki Facebook 70,3% memiliki WhatsApp, 54,7% memiliki Instagram, Twitter sudah mulai ditinggalkan milenial, hanya 23,7% yang masih sering mengaksesnya.

Hingga hari ini, mulai dari politikus, akademisi, dan peneliti yang beranggapan bahwa generasi milenial adalah generasi yang malas, narsis, dan cuek pada bidang politik. Mungkin tidak salah dengan pernyataan tersebut. Tetapi penulis mencoba mencermati perkembangan dan fenomena yang dihadapi generasi milenial di lingkungan kampus, masyarakat dan medsos.

Hemat penulis, generasi milenial cuek, pesimis, dan apatis di bidang politik adalah karena kurangnya pemahaman mengenai definisi, konsep dan subtansi pengertian politik. Mereka hanya mengenal politik, hanya sebatas pada acara kampanye, pilkada, pileg, pilbub, pemilu, memasang baner atau baliho, dll. Selepas acara tersebut mereka kembali hidup berleha-leha, berfoya-foya,bersenang-senang seperti sediakala.

Selain itu, mereka mengenal sebatas bahasa simbolik dan emosional, seperti: memilih pemimpin atas dasar suka tidak suka, ganteng dan jelek, dan cenderung mengkritik personal pemimpin bukan mengkritik visi misi, janji-janji dan programnya.

Selanjutnya, mereka tidak mampu menilai dan mengkritisi visi misi, program para calon pemimpin atau pemimpin yang sudah mendapatkan jabatan/kekuasan di pemerintahan. Mereka hanya berkutat pada acara serenomial simbolik, belum mampu mengetahui konsep, subtansi mengenai arti politik.

Berbeda dengan kalangan aktivitis, akademisi politik, dan politisi yang sudah berbicara mengenai subtansi dari arti politik itu sendiri. Seperti: arti retorika, komunikasi politik, negosiasi, sistem pemerinatahan dan kenegaraan, dll.

Dengan demikian, generasi milenial atau generasi penerus negara indonesia yang akan datang tidak terjebak atau terkecoh dengan simbol-simbol semu yang dapat memanupulasi. melainkan perlu terus-menerus meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan, berfikir kritis, selalu bertanya (skeptis) agar mampu memahami hakikat dan subtansi setiap persoalan di masyarakat.

Dan menjalin toleransi (menghargai perbadaan pendapat, agama, budaya, dan daerah), persatuan dan persaudaraan lintas generasi agar mampu menjadi warga masyarakat yang baik, damai, dan harmonis sehingga mampu mewujudkan dan melanjutkan cita-cita luhur para pendiri dan pahlawan negara kesatuan republik indonesia.

Fitrah
Fitrah
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.