Sebagai Negara dengan garis yang setengah-setengah, Indonesia memiliki sebuah pedoman yang telah disepakati oleh para founding father yaitu Pancasila. Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sebenarnya gagal dalam membendung politik identitas yang berkembang di Aceh.
Setengah-setengah disini dapat kita artikan sebagai Negara yang tidak sekuler, maupun tidak berbasis agama. Jika dikatakan sekuler, Pancasila menggunakan sila pertama dan lembaga-lembaga resmi Negara seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama sebagai bantahannya.
Jika dikatakan Negara berbasis agama, Indonesia memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika dengan selalu menggembor-gemborkan pluralisme dan persatuannya. Lagipula, Indonesia merupakan Negara dengan multi-etnis dan multi-agama, sehingga tidak dapat disepakati bahwa Indonesia merupakan Negara berbasis agama sekalipun.
Sejarah Pancasila dan Kekecewaan Kaum Islamis
Dalam sejarahnya, kita selalu dididik bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar pedoman Negara melewati serangkaian proses yang begitu rumit. Terutama ketika tokoh-tokoh nasionalis dengan tokoh-tokoh religius –islam- berdebat dalam memperebutkan wacana ‘keislaman’ pada sila pertama.
Namun, dibalik keberhasilan para tokoh nasionalis dalam perumusan Pancasila, ada konsekuensi yang kemudian lahir, dan menjadi ancaman bagi kedaulatan Negara, yaitu berkembangnya wacana dan pergerakan perlawanan terhadap rezim yang didasari pada politik identitas keislaman. Perdebatan atas tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihilangkan tersebut melahirkan beberapa organisasi seperti Majelis Mujahiddin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Darul Islam/Negara Islam Indonesia dan beberapa organisasi “radikal” lainnya.
Politik Identitas dan Kegagalan Pancasila di Aceh
Dalam bukunya yang berjudul Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Buya Syafii menerangkan bahwa hakikat politik identitas digagas pertama kali oleh L.A Kauffman yang disinyalir berasal dari gerakan mahasiswa antikekerasan dan dikenal dengan sebutan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat di awal 1960-an.
Gutmann berpandangan bahwa, politik identitas juga mengemuka setelah munculnya gerakan Martin Luther King dan uskup-uskup Katolik di Amerika. Sehingga, para Muslim Hitam di Amerika mengalami serangkaian ketidakadilan dan mendambakan prinsip kesetaraan dalam kehidupan masyarakat luas pada masa itu.
Seluruh kekacauan yang mendasar pada politik identitas sebenarnya lebih kepada adanya suatu kondisi minoritas suatu kaum. Seperti penduduk Muslim perantau di Amerika, karena menjadi kaum minoritas di sana maka mereka seolah merasakan keterasingan/alienasi.
Lain di Amerika, lain pula di Indonesia. Skema propaganda dengan strategi politik identitas ini lebih bermain di wilayah dengan tingkat religiusitasnya tinggi. Masyarakat wilayah tersebut berpikir seolah-olah mereka adalah korban, dan akan teralienasi dari kehidupannya karena Negara atau wilayah yang ditempatinya akan banyak disusupi orang-orang dari etnis atau agama yang tidak mereka sukai.
Sehingga, mereka akan bertarung dengan para outsider ini dengan semangat kesukuan atau keagamaan untuk mempertahankan agama ataupun etnis mereka sebagai status quo.
Strategi seperti ini sebenarnya lumrah digunakan oleh politikus dan propagandis sayap kanan konservatif dan ultra-nasionalistik. NAZI menjadi contoh sempurna bagaimana kebencian yang ditanamkan pada masyarakat terhadap suku non-Arya dan Bangsa Yahudi yang akhirnya menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah kemanusiaan dunia.
Bagaimana membuktikan kegagalan Pancasila dalam membendung politik identitas ini pada masyarakat Aceh?
Kita bisa membuka sebuah laporan kolaborasi antara Tirto.id dan Jaring.id tentang pengakuan-pengakuan masyarakat Aceh terkait dengan kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh yang sarat akan politik identitas.
Dalam wawancaranya kepada jaring.id, Wen Rimba Raya, Sekretaris Jenderal Tim Pemenangan Prabowo-Sandi Provinsi Aceh mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya yang dijual untuk memenangkan Prabowo.
Salah satu pengakuan datang dari seorang ibu rumah tangga di Kota Langsa. Ia memilih Prabowo-Sandi pada pilpres 2019 ini. Alasannya adalah bukan karena kecewa lantaran program-program Jokowi, namun karena mengikuti Ijtimak Ulama.
Pembahasan muncul ketika ibu ini mengaku sering mengikuti pengajian dan menerima pesan berantai bahwa Jokowi mendukung LGBT, merupakan seorang anak PKI dan anti-Islam. Maka dari itu, ia mantap memilih Prabowo, terlepas dari program yang ia tawarkan.
Menurut Efendi Hasan, seorang doktor politik dari Universitas Syiah Kuala, tingkat kepercayaan kepada Jokowi, memburuk ketika tumbuh persepsi di Aceh bahwa pemerintahan Jokowi gagal “menjaga” Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Dari kedua pengakuan tersebut, cukup jelas memang, bahwa isu agama merupakan sarana yang efektif untuk membakar semangat, sekaligus kebencian dalam menggiring opini masyarakat. Walaupun sebenarnya, kita tidak boleh melepaskan konteks sosio-historis Aceh dan kelekatannya dengan keislaman.
Konflik Akibat Politik Identitas: Horizontal dan Vertikal
Sebelum konflik Aceh dan Indonesia (Daud Bereuh vs Soekarno) terjadi, terdapat Perang Cumbok sebagai konflik horizontal Aceh yang berubah menjadi konflik Aceh dan Indonesia setelahnya. Yaitu antara kelompok “Ulee Balang” (Bangsawan) yang dipimpin Teuku Muhammad Daud di Cumbok, seorang Ulee Balang di Cumbok (Lameuloe, Pidie) melawan kelompok “Ulama” yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Aceh) yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh yang berbasis di Beureunen.
Perang ini pada dasarnya adalah pergolakan untuk meruntuhkan “Feodalisme” di Pidie yang dipicu perbedaan pandangan dalam menyikapi Kemerdekaan RI di Aceh paska proklamasi RI, dimana pihak Ulee Balang menghendaki agar Belanda kembali ke Aceh, sementara PUSA menyetujui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Tetapi unikya, setelah Perang Cumbok usai pada tahun 1946, kelak, Tgk Daud Beureueh justru memimpin pemberontakan DI/TII tahun 1953, sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah RI yang tidak mau mengakomodir Islam sebagai “syariah” utama yang telah dibelanya semasa Perang Cumbok.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, Pancasila justru lahir setelah Aceh menemukan identitasnya. Logika Pancasila oleh Soekarno, dipaksa untuk masuk ke dalam pemikiran rakyat Aceh yang pada saat itu menginginkan Negara Islam, sehingga menimbulkan pemberontakan-pemberontakan selama masa pasca-revolusi.
Hal ini diperparah dengan konflik GAM – TNI yang mengakibatkan meninggalnya sekitar 15 ribu warga sipil Aceh. Pancasila menemukan konsekuensi logis akibat tidak terakomodirnya tujuh kata yang dihilangkan saat peralihan Piagam Jakarta.
Adanya lembaga-lembaga ekstrem-religius merupakan bukti bahwa Pancasila, telah gagal mengutuhkan dirinya kedalam kehidupan masyarakat, khususnya di Aceh.
Sumber:
Maarif, Ahmad Syafii. 2010. “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita” Jakarta: PUSAD Paramadina
Wiratmadinata. 2009. An Evolving Model for Conflict Transformation and Peacebuilding in Aceh. Indonesia: AJRC