Kamis, April 25, 2024

G30S: PKI, Komunisme, dan Rekayasa Sejarah Orde Baru

Abidah Ardelia
Abidah Ardelia
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

Ketika saya mendengar kata PKI dan komunis dahulu kala, pikiran saya otomatis akan kembali pada peristiwa 30 September 1965 silam. Peristiwa yang dinamai G30S itu pertama kali diajarkan ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejak saat itu, pandangan saya tentang PKI adalah sebuah partai komunis yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Pandangan buruk saya tentang PKI ini menguat setelah saya bersekolah di sebuah pondok pesantren Islam, terutama setelah Jokowi memenangkan pemilu 2014 silam. Doktrin sesat “Jokowi antek-antek PKI” ini masih berlanjut sampai saya pindah dari pesantren Islami tersebut dan pemilu 2019 akan diadakan. Isu-isu tentang PKI digoreng sedemikian rupa dan dijadikan alat politik oleh kaum oligarki yang (sok) nasionalis dan religius untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Sejarah Komunisme

Berbicara tentang komunisme, mungkin masih sedikit orang yang tahu bahwa komunisme sebenarnya hanyalah sebuah ideologi. Dasar-dasar ajaran dari ideologi ini bersumber dari seorang filsuf Jerman, Karl Marx. Pada awal abad ke-19, kaum buruh di Eropa Barat banyak dirugikan akibat pesatnya kemajuan industri. Keadaan ini menimbulkan banyak kecaman dari para cendekiawan, tak terkecuali dari Marx. Ia berpendapat untuk mengubah keadaan sosial-ekonomi saat itu, dibutuhkan cara yang radikal untuk mendobrak hingga ke sendi-sendinya. Gagasannya banyak dipengaruhi oleh filsuf George Hegel mengenai dialetika.

Berdasarkan hukum dialektika, masyarakat di mana Marx berada saat itu telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis yang memiliki dua pembagian kelas sosial, yaitu kelas proletar dan kelas borjuis. Gerak dialektis akan dimulai ketika terjadi pertentangan antar-kedua kelas yang nantinya akan mencapai masyarakat komunis. Masyarakat komunis yang dicita-citakan Marx adalah masyarakat tanpa kelas sosial dan menghendaki kepemilikan bersama alat produksi.

Gagasan Marx mendapat dukungan besar dari suatu negeri yang industrinya sedang setengah berkembang, Uni Soviet. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah ideologi politik oleh Lanin yang dinamakan Marxisme-Leninisme. Pada 1917, Lenin sukses memimpin revolusi dan menguasai Uni Soviet. Ia pun berhasil membentuk pemerintahan yang diktator-proletariat seperti cita-cita Marx.

Mulai akhir tahun 1980-an, sekitar 2/3 negara bagian Uni Soviet mulai menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat melalui referendum. Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, mengundurkan diri dari posisinya. Pasca-mundurnya Gorbachev, seluruh kegiatan partai komunis Uni Soviet dibekukan. Negara-negara bagian yang pernah tergabung dengan Uni Soviet melarang keberadaan partai komunis di negara mereka masing-masing. Tanggal 8 Desember 1991, negara ini secara resmi dibubarkan dan digantikan dengan Commonwealth Independent State (CIS).

Kiprah Komunisme di Indonesia

Komunisme mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1914 setelah ISDV, organisasi komunis pertama didirikan. Melihat potensi massa yang besar dalam Sarekat Islam (SI), anggota-anggota ISDV menyusup dalam tubuh SI. Akibat penyusupan tersebut, SI terpecah menjadi dua golongan, yaitu SI Merah yang berhaluan komunis dan SI Putih yang Islami.

Gerakan komunis di Indonesia kemudian berubah menjadi partai komunis. Pada Mei 1924, organisasi ini berganti nama menjadi PKI. Sarekat Islam pun pada saat itu melakukan pembersihan anggota untuk menghindari penyerapan anggota oleh SI Merah. Akhirnya, SI Merah berubah nama menjadi Sarekat Rakyat dan meleburkan diri bersama PKI.

PKI berusaha mencari basis dukungan massa yang besar luas sejak tahun 1950 dengan propaganda anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Selain itu, PKI menggunakan strategi Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan untuk menarik massa golongan petani.

Dengan cepat, PKI menjadi sebuah partai yang besar. Pada tahun 1955, PKI meraih kemenangan pertamanya dalam pemilu legislatif pertama di Indonesia dengan mengantongi suara sebanyak 16,4%.

Sejak terjadi peristiwa G30S, pandangan orang tentang PKI dengan cepat berbalik 180 derajat. PKI dianggap sebagai dalang pemberontakan yang menewaskan tujuh jenderal itu. Aidit tewas ditembak pada November 1965. PKI pun dibubarkan setahun setelahnya.

Pascaperistiwa G30S, terjadi pembunuhan massal yang dimulai sejak Oktober 1965. Anggota-anggota PKI, bahkan orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibantai habis-habisan. Pembunuhan massal itu menewaskan hingga lebih dari satu juta orang, jumlah yang jauh lebih besar daripada korban peristiwa G30S sendiri.

Propaganda Orde Baru

Selang empat hari setelah peristiwa G30S, dilakukan pengangkatan jenazah korban G30S dari dalam sumur Lubang Buaya. Dihadapan para wartawan, Soeharto berpidato mengenai kekejaman dan kebiadaban PKI. Ia juga mengatakan ketujuh korban tersebut ditemukan dengan tubuh yang penuh luka akibat penyiksaan PKI.

Beberapa hari kemudian, beberapa media koran memberitakan liputan mengenai penggalian jenazah korban G30S ini, di antaranya media Berita Yudha dan harian Angkatan Bersenjata. Menurut versi Berita Yudha, salah satu korban peristiwa G30S, Pierre Tendean, disayat di dada sebelah kiri perutnya, lehernya dipenggal, dan dicungkil matanya. Pemberitaan versi Angkatan Bersenjata menyatakan sebelum meninggal, Pierre Tendean diperlakukan sebagai ‘barang mainan’ oleh para Gerwani.

Namun, narasi-narasi keji tentang penyiksaan PKI pada korban peristiwa G30S tersebut berbanding terbalik dengan hasil forensik. Mereka menyatakan tidak menemukan bekas penyiksaan sama sekali dalam tubuh mayat korban peristiwa G30S.

Narasi-narasi yang dipercayai banyak orang pada masa Orde Baru tersebut nyatanya merupakan narasi yang banyak dibumbui kisah dramatis dan fantastis. Mereka yang tidak memercayai kisah tersebut akan dicap PKI dan dituduh tidak punya hati.

Pada masa Orde Baru juga, lahir kebijakan yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk memberikan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Pelajaran ini memuat peristiwa G30S yang porsinya lebih besar daripada sejarah lainnya. Terdapat penekanan kepada siswa supaya mengenang dan menghargai besarnya jasa tokoh-tokoh (tertentu) dalam memberantas peristiwa G30S.

Mulai tahun 1984, ada pula kebijakan yang mengharuskan penayangan film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Dalam film tersebut, ditayangkan adegan ketika Gerwani dan Pemuda Rakyat menyudut, menyilet, serta mencungkil mata pahlawan revolusi. Pada tahun 1998, pemutaran film tersebut akhirnya dihentikan oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah karena dianggap sebagai propaganda Orde Baru.

Jika kita menilik lagi sejarah akan peristiwa G30S ini, banyak ahli sejarah menyebutkan bahwa dalang G30S tidaklah tunggal, bahkan belum tentu PKI adalah dalangnya. Dalam teori Taufik Adi Susilo misalnya, dikemukakan enam teori tentang pelaku sebenarnya dari peristiwa G30S. Lain halnya dengan Rizem Aizid, ia mengemukakan tujuh teori mengenai dalang di balik peristiwa G30S.

Nyatanya, warga Indonesia selama ini hanyut dalam propaganda Orde Baru yang giat mempromosikan kebengisan PKI. Narasi tersebut pada kenyataannya hanyalah kebohongan yang sengaja diproduksi agar Soeharto dapat dengan mulus bertengger di kursi kepresidenan.

Abidah Ardelia
Abidah Ardelia
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.