Rabu, April 24, 2024

Fullmetal Alchemist: Memikirkan Kembali Relasi Etika dan Ilmu Pengetahuan

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira

Manga umumnya selalu diidentikkan sebagai bacaan dengan segmentasi penikmat di kalangan anak-anak dan remaja. Terutama bagi warga jepang, negara tempat dimana produk hiburan ini berasal.

Sejak medio tahun 1990-an, manga telah mendapatkan ekspos yang sedemikian besar di luar negara asalnya. Kepopuleran ini tidak cuma memperluas segmentasi pembaca yang lebih beragam mencakup orang dewasa dan pembaca di luar Jepang, tetapi juga membuat adanya variasi dalam alur cerita dan genre yang dibawakan dalam suatu manga. Termasuk adanya persinggungan dengan simbol-simbol dari kebudayaan lain di luar Jepang.

Manga Fullmetal Alchemist (FA) karya Hiromu Arakawa adalah salah satu contoh manga dengan jenis ini. Bilamana pada umumnya pada manga lain kita lazimnya melihat unsur kebudayaan Jepang yang kuat, FA mengambil pendekatan yang berbeda. Ia mencoba untuk mengambil inspirasi dari sejarah eropa abad pertengahan sebagai pusat utama cerita, yang diramu dengan gaya khas manga pada umumnya.

Dalam dunia FA, terdapat sebuah disiplin ilmu yang disebut sebagai Alkimia (Inggris: Alchemy, Jepang: Renkinjutsu), sebuah ilmu yang menggabungkan kimia dan biologi untuk merekayasa benda dengan menghancurkan atau membentuk ulang struktur-struktur penyusun benda tersebut. Tidak cuma berlaku bagi benda mati, alkimia juga dapat digunakan kepada makhluk hidup, termasuk manusia. Maka dari itu, ada satu larangan utama dalam menggunakan alkimia yang tidak boleh dilanggar, yaitu melakukan transmutasi manusia.

Sayangnya, rasa rindu dua orang anak untuk bertemu kembali dengan ibunya yang telah mati membuat mereka melanggar aturan ini. Akibatnya, mereka kehilangan anggota tubuh mereka di tengah proses percobaan yang gagal itu.

Kisah dua orang bersaudara, Edward & Alphonse Elric, untuk mengembalikan tubuh mereka agar kembali normal dengan mencari benda bernama Philosopher Stone adalah rangkuman jalannya cerita utama dari manga FA ini.

Dengan mengambil latar tempat di negara fiktif bernama amesteris, pembaca FA diajak untuk kembali pada suasana abad renaissance di Eropa, ketika revolusi ilmu pengetahuan sedang menikmati masa puncaknya. Eropa pada saat itu memasuki proses modernisasi secara menyeluruh, yang salah satu cirinya ditandai dengan semangat untuk melihat dan memaknai ulang segala sesuatu dalam kacamata ilmiah yang objektif dan empiris.

Prinsip utama alkimia yang tergambar dalam manga FA: Kaidah pertukaran setara (The Law of Equivalent Exchange) merupakan analogi yang digunakan untuk menggambarkan fenomena ini. Bagaimana ilmuwan dapat merekayasa dan melakukan apapun, bila sesuatu itu dapat diketahui secara pasti dan presisi melalui ilmu pengetahuan.

Obsesi ini secara lebih lanjut juga dieksplorasi dalam manga dengan adanya objek bernama Philosopher Stone yang membuat penggunanya mendapat kekuatan yang berlipat dan mampu untuk menggunakan alkimia tanpa harus menggunakan kaidah pertukaran setara.

Dalam dunia nyata, Philosopher Stone ini merujuk kepada ambisi utama para ilmuwan abad pertengahan untuk mencari sebuah ramuan yang mampu untuk memurnikan benda menjadi emas serta ramuan untuk dapat hidup abadi yang disebut sebagai Elixir.

Bedanya, dalam dunia nyata alkimia yang mencampurkan antara kimia dan kepercayaan klenik serta teologi, tidak menghasilkan apa-apa dan sudah ditinggalkan seiring dengan lahirnya ilmu kimia & farmasi modern. Sedangkan dalam dunia FA, alkimia menjadi disiplin ilmu yang mapan dan dipraktekkan oleh para ilmuwan di negara amesteris.

Tidak cuma menemukan referensi-referensi sejarah seperti di atas. Melalui perjalanan Edward & Alphonse, FA juga mengajak kita untuk memikirkan kembali permasalahan-permasalahan etis yang timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer serta batasan-batasan yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kegagalan Elric bersaudara, yang merupakan dua orang ahli alkimia muda berbakat, dalam melakukan transmutasi manusia merupakan bagian kisah pembuka yang coba dihadirkan oleh manga FA untuk menggugat klaim-klaim kemutlakan ilmu pengetahuan tersebut. Ada batas-batas yang tidak dapat dilampaui oleh ilmu pengetahuan dan seorang manusia.

Pada tingkat yang ekstrem, bilamana ilmu pengetahuan dipandang dan digunakan secara berlebihan. Gejala ini kemudian akan menimbulkan fenomena yang disebut sebagai saintisme (Scientism). Dimana pengetahuan ilmiah, khususnya ilmu-ilmu alam, dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menerangkan segala sesuatu. Dengan mencoba untuk menjawab segala persoalan, termasuk yang di luar objek kajiannya, dan mengesampingkan bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti filsafat, seni, agama, dan ilmu humaniora.

Dampaknya, praktek seperti ini akan mengakibatkan beberapa penyalahgunaan tujuan pengembangan ilmu untuk kepentingan-kepentingan yang salah serta mengabaikan pertimbangan etis dan moral.

Dalam salah satu chapter dengan Shou Tucker, si Alkemis Manusia dengan percobaan chimera-nya misalnya, kita akan disuguhkan dengan problem bioetika yang muncul terkait batasan-batasan eksperimen apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh ilmuwan terhadap manusia. Bolehkah kita melanggar etik dan moral demi mengejar kemajuan dalam ilmu pengetahuan?

Atau dalam chapter yang lain ketika menceritakan flashback tentang perang antara negara amesteris melawan negara ishval. Bagaimana gambaran dilema yang dihadapi oleh ilmuwan, ketika temuan alkimia justru digunakan untuk kepentingan perang dan genosida terhadap etnis tertentu. Dalam posisi ini kemudian kita diajak untuk kembali memikirkan independensi ilmuwan dan hubungannya dengan negara serta problem klasik tentang pertanyaan, apakah ilmu itu bebas nilai?

Manga ini juga sedikit menyentuh persoalan-persoalan religius yang berkaitan dengan dinamika peran agama dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana agama dapat dijustifikasi untuk melakukan kekerasan dan balas dendam atas nama pribadi seperti Scar, digunakan untuk memanipulasi dan menipu masyarakat seperti pendeta Liore, atau pertanyaan berupa dimana peran agama dalam kemajuan ilmu pengetahuan?

Meskipun tema-tema yang disajikan dalam manga ini sangat beragam dan kompleks, namun ceritanya dapat diikuti dengan mudah, juga sering diselingi dengan humor-humor untuk mencairkan suasana.

Di tengah kemajuan teknologi Artificial Intelligence, biologi molekuler, dan perkembangan teknologi-teknologi lain yang sekarang ini menjadi trend di dunia ilmiah. Rasanya relevan untuk kembali membaca manga FA ini dan memikirkan ulang tema-tema yang menjadi topik-topik yang ada di dalamnya. Terutama bagaimana kita, baik masyarakat awam maupun ilmuwan, menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer dan kaitanya dengan nilai-nilai etis saat ini.

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.