Lowongan ASN Guru tahun ini menduduki formasi terbanyak, yaitu 531.076 dari yang awalnya direncanakan sebanyak 1 juta. Jumlah tersebut tentu menjadi peluang besar bagi sarjana pendidikan yang ingin jadi menantu idaman dengan title profesinya. Tapi itu tidak berlaku bagi fresh graduate FKIP.
Peluang ASN guru sebanyak itu hanya bisa membuat fresh graduate FKIP “ngelus dada”. Formasi itu hanya berlaku bagi para honorer yang telah mengabdi baik disekolah negeri maupun swasta, terdaftar didapodik dan memiliki sertifikasi pendidik. Seorang fresh graduate FKIP tentu belum memiliki ketiganya, masih perlu menjadi honorer agar terdaftar didapodik ataupun melanjutkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) agar mendapatkan sertifikasi pendidik.
Jalan yang bisa ditempuh fresh graduate FKIP saat ini salah satunya adalah dengan menjadi guru honorer di sekolah. Mengabdi untuk negeri dengan tekad ikhlas tanpa mengharapkan imbalan materi tentu bukanlah hal mudah, pun tak semudah itu mendapatkan kesempatan sebagai guru honorer.
Menurut pengalaman saya, ketika baru saja dinyatakan lulus sarjana pendidikan saya mencoba mengajukan lamaran kerja kebeberapa sekolah negeri sebagai upaya untuk mencari pengalaman mengajar. Ketika memasuki sekolah, surat lamaran saya selalu diterima namun jawaban dari pihak sekolah kurang lebih “sebenarnya sekolah membutuhkan guru tetapi kami masih menunggu tenaga PNS atau PPPK karena pemerintah melarang pengangkatan tenaga honorer”. Saya pun kaget dan bertanya- tanya akan kebenarannya.
Ternyata, pada tahun 2019 Bapak Muhadjir Efendi seorang menteri pendidikan pada masanya menyatakan bahwa sekolah negeri tidak boleh mengangkat tenaga honorer. Hal ini dikarenakan sudah cukup banyak tenaga honorer yang masih belum mendapatkan kesejahteraan. Maka dari itu, pemerintah bertekad untuk menyejahterakannya dan menghentikan pengangkatan guru honorer yang baru. Baiklah, jika memang fresh graduate FKIP tidak bisa menjadi guru honorer setidaknya masih ada jalan yaitu melanjutkan PPG.
Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan program sertifikasi pendidik yang ditempuh selama 2 semester atau satu tahun dengan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar 7,5 juta- 9 juta tiap semesternya. PPG ini memiliki dua program yaitu program prajabatan diperuntukan bagi fresh graduate dan program dalam jabatan diperuntukkan bagi guru yang sudah mengajar. Informasi dan pendaftaran PPG ini bisa diakses dari website ppg.kemdikbud.go.id. Sayangnya untuk tahun ini hanya tersedia program dalam jabatan.
Bagai jatuh tertimpa tangga, fresh graduate FKIP tahun ini sudah tidak bisa ikut ASN, tidak bisa jadi guru honorer, mau melanjutkan PPG pun tidak dibuka untuk pra jabatan. Nasib, nasib, fresh graduate FKIP harus bagaimana jika seperti ini?
Fokus pemerintah untuk menyejahterakan guru honorer memang bagus, tetapi seolah abai terhadap fresh graduate. Calon tenaga pendidik dimasa depan yang kini terombang- ambing nasibnya. Jangan salahkan jika nantinya banyak sarjana pendidikan yang memilih untuk ‘murtad’ dari bidang pendidikan. Menjadi ASN memang bukanlah satu- satunya kesempatan yang bisa diambil oleh sarjana pendidikan. Bisa saja menjadi guru di yayasan, bisa juga bidang pekerjaan lain, seperti berbisnis, bekerja diperusahaan, atau pun profesi lainnya. Ya, ada banyak peluang bagi fresh graduate FKIP.
Tidak hanya fresh graduate FKIP yang dilema, masa depan guru pun dipertanyakan. Pertama, adanya PPPK guru dan ditiadakannya CPNS guru akan melemahkan minat generasi muda untuk menjadi guru. Beberapa waktu lalu ketika ramainya isu PPPK saya menemukan tweet yang isinya “untung aku ga jadi masuk FKIP, ga bisa jadi PNS ga dapat gaji pula, haha pekerjaan rendahan” dan komentar- komentar yang tak kalah tajamnya. Sakit sekali membacanya. Menganggap guru sebagai pekerjaan rendahan tapi ia sendiri lupa siapa yang mengajarinya ketika sekolah.
Guru memang terlihat sepele, apalagi jika dilihat dari gajinya, tapi guru sangat berperan penting bagi kemajuan bangsa. Prof. Dr. Daoed Joesoef mantan menteri pendidikan menyatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa, tidak ada bangsa yang maju tanpa didukung dengan pendidikan yang kuat. Pendidikan yang kuat tentu tak bisa dipisahkan dari peran guru. Jika minat untuk menjadi guru saja berkurang, bagaimana pendidikan Indonesia kedepannya?
Kedua, sarjana pendidikan dapat menjadi penyumbang pengangguran yang tidak sedikit. Pasalnya, setiap tahun perguruan tinggi terutama Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menghasilkan lulusan kurang lebih sebanyak 300.000. Pada tahun- tahun sebelumnya kebutuhan guru hanya sekitar 150 ribu dan tidak sebanding dengan jumlah lulusan.
Jika pada tahun 2019 dapat terserap setidaknya 60 ribu untuk menjadi tenaga ASN, untuk tahun sekarang bagaimana? Peluang menjadi ASN tidak ada, menjadi tenaga honorer dilarang, melanjutkan PPG tidak dibuka. Tentu tidak menutup kemungkinan ada banyak yang memilih melajutkan pendidikan tinggi, bekerja dibidang lain, berwirausaha ataupun yang lainnya. Tapi jika dilihat dari banyak nya lulusan dan sedikitnya peluang yang ada, tentu menimbulkan pertanyaan “kemanakah fresh graduate FKIP?”
Ketiga, ketidakjelasan nasib guru PPPK. Adanya PPPK guru memang bertujuan untuk menyejahterakan guru honorer dan meningkatkan kualitas guru. Sistem kontrak setiap tahun diharapkan guru akan meningkatkan kompetensinya agar terus lolos PPPK. Tahun ini PPPK diselenggarakan sebanyak tiga tahap, yang pertama untuk guru honorer disekolah negeri dan swasta, kedua bagi honorer yang belum lulus tahap 1 dan lulusan PPG yang belum mengajar, dan ketiga diperuntukkan bagi yang belum lulus tahap 1 ataupun 2. Kenapa nasib guru tidak jelas?
Begini, misalnya Ibu A pada tahun ini berstatus PPPK di sekolah X dengan kontrak hanya satu tahun. Otomatis pada tahun 2022 agar ibu A tetap berstatus PPPK harus lolos seleksi untuk memperpanjang kontrak. Ibu A mengikuti seleksi pada tahap 1 dengan memilih formasi ditempat mengajar yang sekarang namun tidak lolos.
Ibu A selanjutnya mengikuti seleksi tahap 2 ternyata tidak lolos juga. Tidak patah semangat Ibu A tetap mengikuti seleksi tahap 3 namun tidak lolos, dan akhirnya formasi yang beliau pilih telah terisi oleh orang lain. Jika sudah begini, bagaimana nasib Ibu A? Apakah tetap bisa mengajar disekolah sebelumnya meski statusnya bukan PPPK? Apakah harus hengkang dari sekolah itu karena sudah terisi oleh PPPK guru lain?
Jika menilik peraturan yang ada, nampaknya Ibu A tidak ada pilihan selain harus hengkang dari sekolah itu. Namun, akan berbeda jika Ibu A lolos pada tahap 1 maka beliau akan aman untuk tetap mengajar disekolah itu. Kuncinya asal terus meningkatkan kompetensinya agar lolos PPPK bersaing dengan ribuan orang yang mungkin setiap tahunnya akan datang pesaing baru dari generasi yang lebih muda. Tentu bukan hal mudah dan tidak ada jaminan untuk tetap bisa mengajar.