Sabtu, Oktober 5, 2024

Freeport dan Kontrak Penderitaan Bumi Papua

Afthon Ilman Huda
Afthon Ilman Huda
Rakyat Biasa

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”

Bung Karno

Bila membayangkan bagaimana perjuangan rakyat Indonesia dulu yang harus menumpahkan darah untuk berjuang di medan pertempuran melawan para penjajah tamak yang menginginkan kekayaan Negara kita, rasanya kita mesti bangga sekaligus malu. Mengapa?

Bangga karena saat ini Indonesia telah bebas merdeka dan kita memiliki deretan nama pahlawan pemberani yang bisa dibanggakan. Malu karena hanya bisa menikmati hasil jerih payah para pendahulu kita tanpa mau menjaga asa perjuangan mereka.

Sadar atau tidak, ketika Negara tetangga Asia seperti Singapura berjibaku melawan keterbelakangan untuk bisa maju satu barisan dengan Amerika, kita lebih suka bergulat melawan saudara sendiri untuk membuktikan siapa yang terbaik tanpa tahu bahwa sekalipun bila menang, ia hanya akan-meminjam istilah Ahmad Wahib-menjadi pahlawan di kandang kecil-sebagai seorang pecundang.

Sifat konservatif seperti inilah yang harus di lawan bila kita semua ingin mecapai kemajuan. Bukankah sifat konservatif adalah sifat kerdil yang ingin terus terjajah? Maka, bersatu dan saling mempersatukan adalah modal utama dalam menyongsong Indonesia agar lebih jaya di masa depan.

Luka Bangsa

Baru-baru ini, berita mengenai Freeport kembali mencuat. Dikabarkan bahwa pemerintah telah ‘meneken’ kontrak perpanjangan izin operasi sampai tahun 2041 bagi perusahaan tambang yang berbasis di negeri ‘Paman Sam’ tersebut. Bila menghitung waktu sejak di mulainya perusahaan ini beroperasi dari tahun 1967, maka kini 51 Tahun sudah perusahaan asing tersebut melakukan aktivitas tambangnya mengeruk kekayaan Indonesia di Bumi Papua.

Emas, tembaga, semen dan kekayaan lain yang terkandung dalam tanah yang dahulu coba di pertahankan matian-matian oleh para pahlawan pejuang kita, kini raib tak bersisa. Ibu pertiwi hanya bisa ‘membelalakkan’ mata, menangis tanpa bisa berbuat apa-apa melihat kekayaannya diangkut karena ‘blingernya’ kebijakan para penguasa.

Seolah-olah kita seperti orang kaya yang tidak tahu kekayaan itu akan kita gunakan untuk apa. Padahal UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sudah ada, termasuk mengenai pemanfaatan sumber daya agrarian.

Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal pasal 33 ayat (3) yang mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ” Namun dalam implementasinya ? Ternyata bertolak belakang. Pemerintah sebagai aparatur Negara yang merumuskan peraturan tersebut, justru abai dan mengkhianati sistem hukum yang ia ciptakan sendiri. Hal ini menggambarkan bagaimana bobroknya mental nasionalisme pemerintah kita.

Apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi tentang ‘revolusi mental’  sebagai karakter santun, berbudi pekerti, ramah, bergotong royong dan merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera, itu sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini yaitu Bumi Papua.

Faktanya aktivitas tambang oleh PT. Freeport yang telah berlangsung sekian tahun, diketahui telah menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar perusahaan tersebut. Selain itu, demi ekspansi daerah tambang, banyak ruang penghidupan suku-suku di penggunungan tengah Papua yang tergusur. Tanah-tanah adat dirampas.

Hutan-hutan yang menjadi sumber penghidupan orang Papua dihancurkan. Bila memang demikian, maka apa yang dilakukan pemerintah (memperpanjang kontrak PT Freeport) justru berseberangan dengan cita-cita revolusi mental. Dan nilai keadilan sebagaimana yang terkandung dalam UUD 1945 dan dasar Negara pancasila kita, sama sekali tidak tercermin dari kebijakan pemerintah tersebut.

Freeport Untuk Kesejahteraan Siapa?

Dari hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Media Survei nasional (Median) kepada publik soal kontribusi PT Freeport, terungkap bahwa sebesar 68,70 persen menjawab belum berkontribusi. Hanya 12, 50 persen publik menjawab sudah, dan sisanya 18,80 tidak menjawab.

Kemudian soal keuntungan bagi bangsa Indonesia, sebesar 70,35 persen publik merasa PT Freeport belum adil. Sedangkan yang menjawab sudah adil hanya 3,49 persen. Yang tidak menjawab sebesar 26,16. Dari data tersebut dapat kita simpulkan bagaimana keberadaan PT. Freeport ternyata tidak begitu memberi sumbangsih terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Papua.

Mungkin kita bisa memahami bahwa strategi dari kebijakan pemerintah ‘memperpanjang kontrak’ adalah agar bagaimana keuntungan yang diperoleh nanti bisa dialokasikan untuk membangun dan melakukan pengembangan pada sektor-sektor penghidupan masyarakat seperti infrastruktur, dan lain sebagainya.

Namun, bila melihat banyaknya ketimpangan yang telah ditimbulkan dari keberadaan PT. Freeport ini di bumi papua, apakah kemudian upaya pemerintah sebagaimana yang dimaksud tersebut bisa dikatakan mensejahterakan? Apabila memang dinilai telah memberikan kesejahteraan, untuk siapa sebenarnya kesejahteraan itu diberikan? Apakah masyarakat Papua? Atau masyarakat Indonesia secara keseluruhan?

Kalau memang untuk masyarakat Papua, maka saat ini seharusnya mereka bisa merasakan harga BBM yang sama seperti masyarakat di Jawa, mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, anak-anak yang hidup dengan asupan gizi yang baik, serta memperoleh penghidupan yang layak seperti masyarakat lainnya di luar Papua.

Afthon Ilman Huda
Afthon Ilman Huda
Rakyat Biasa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.