Filsafat adalah ilmu metafisika atau meta materi. Karena itu, jangan berharap manfaat-manfaat materi dari filsafat. Dengan berfilsafat, bersiaplah untuk tidak kaya. Jika anda kaya, yakinlah itu bukan karena filsafat, tapi karena jiwa dagang yang anda miliki; anda mengorbankan materi demi meraih materi yang lebih banyak.
Perdagangan yang ditawarkan filsafat adalah perdagangan lintas materi. Kita mengorbankan materi, demi meraih non materi. Anda belum untung, jika anda mengeluarkan seratus perak, walau yang kembali pada anda sebesar seratus ribu. Sebab, uang seratus perak dengan seratus ribu, tidak berbeda nilainya dalam filsafat; keduanya sama-sama level materi, perdagangan antar materi.
Manfaat yang diberikan filsafat adalah manfaat metamateri. Yaitu, manfaat yang melintasi ruang dan waktu, yang kita sebut dengan kesempurnaan jiwa. Apakah sama nilainya mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? Tentu tidak, beda keduanya seperti beda antara yang hidup dengan yang mati, begitu kata Aristoteles.
Tapi, pengetahuan apa yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya? Tentulah pengetahuan ihwal hakikat realitas, utamanya realitas ketuhanan (makrifatullah). Mengenalkan hakikat realitas, disebut juga dengan pencerahan.
Saya tidak mencerahkan anda, jika yang saya beritahukan kepada anda adalah jumlah pohon di belakang rumah saya. Karena itu, quran tidak memuat secara detail kisah hidup para Nabi. Kisah yang ditayangkan hanya kisah yang berkaitan dengan misi hidayah. Sebab memang, quran bukan kitab sejarah, tapi kitab pencerahan.
Dengan mengetahui hakikat realitas, utamanya realitas ketuhanan, meluaslah eksistensi (jiwa) manusia. Dalam bahasa agama, keluasan eksistensi disebut dengan pengangkatan derajat. Karena itu, Mulla Sadra menyebut filsafat sebagai ilmun li kamalinnafsi, ilmu untuk kesempurnaan jiwa.
Sehingga dengan ini, jika ditanya apa peran filsafat bagi manusia dan kemanusiaan, jawabnya adalah peran substansial. Filsafat mengajak manusia pada perfeksi diri, pada aktualitas manusia yang ditandai dengan aktualitas akal dengan diperolehnya pengetahuan rasional ihwal hakikat realitas. Yang berarti, filsafat adalah ilmu yang memanusiakan manusia.
Adapun manfaat kekinian filsafat, dapat dilacak setelah mengenal karakteristik zaman sekarang. Zaman now, atau yang dikenal dengan era milenial ditandai dengan teknologi yang makin menggila. Betapa tidak, telah dibuat matahari yang 6 kali lebih panas dari matahari ciptaan Tuhan. Juga telah ada bulan buatan manusia yang lebih terang dari bulan ciptaan Tuhan.
Tentu, semua itu membuat kita berdecak kagum. Tapi, untuk apa semua itu. Untuk apa kemampuan terbang tinggi ke langit melampaui seekor burung, untuk apa pula kemampuan menyelam dalam ke dasar laut mengalahkan ikan, bila kita tak mampu berjalan di atas bumi SEBAGAI MANUSIA.
Sebagian besar kita, berjalan di bumi sebagai binatang. Maka lihatlah eksploitasi demi eksploitasi mencemari bumi. Kata Jean Paul Sarter, semua hal telah dipecahkan manusia, kecuali satu hal, bagaimana cara hidup sebagai manusia.
Filsafat adalah parner agama yang akan memberikan nilai pada teknologi. Ibaratnya, teknologi adalah mesin, sedang filsafat dan agama adalah cahaya. Dengan begitu, berkat filsafat dan agama, teknologi akan menemukan arah. Kata filsafat, teknologi adalah bagian kecil dari alam, yang mesti digunakan sesuai dengan falsafah penciptaannya, yaitu sebagai sarana penyempurna diri (bukan sekedar pemudahan hidup).
Pun sebenarnya, teknologi juga meminjam prinsip² logis filsafat, utamanya prinsip kausalitas. Kuasailah prinsip² kausalitas dengan mendalam, maka anda akan mampu menguasai dan mengontrol alam.
Selain itu, dari sisi informasi dan komunikasi, era milenial adalah era kebohongan, yang bahasa kerennya adalah era post truth (di luar kebenaran). Post truth adalah era dimana kebohongan lebih dipercaya orang-orang, ketimbang kebenaran.
James Ball menulis buku, Post Truth; how bullshit conquered the world, bagaimana dusta bisa mengendalikan dunia. Sebagai politisi misalnya, sering² lah berbohong, maka anda akan terpilih sebagai anggota dewan. Sebab memang, kata Hitler, kebohongan dikali seribu sama dengan kebenaran.
Hakikatnya, post truth menemukan ruang dikarenakan libur atau rendahnya kualitas akal. Ketika akal dikudeta oleh indra dan emosi dari tahta raja pengetahuan, maka niscaya kebohongan akan mudah menjamur. Sebab dikala itu, analisa kritis akan padam, manusia akan menilai berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dirasanya.
Dan disinilah urgensi filsafat. Sebagai ilmu yang menempatkan akal sebagai raja pengetahuan, filsafat mengajak manusia kembali ke akal, mengembalikan dan meningkatkan daya kritis. Bisa saja realitas disaksikan dengan indra, tapi realitas mesti disimpulkan dengan akal. Di negara filosof, kebohongan tak akan diminati. Kebohongan diminati, sebab kebohongan ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran. Dengan akal, kebohongan akan terlihat sebagai kebohongan.
Telah banyak Sopis-Sopis baru di era milenial, yang meraih keuntungan materil dengan menyebar dusta. Lalu, dimanakah Sokrates?