Jumat, Maret 29, 2024

Filosofi Pemantau Pemilu dalam Konstitusi Pemilu

Deni Gunawan
Deni Gunawan
Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), penyuka filsafat dan ilmu-ilmu sosial politik. Yang terpenting semua harus bisa ngopi sambil asyik-asyik. 😂

Ketika berbicara Pemilu (Pemilihan Umum) orang umumnya hanya tahu bahwa Pemilu hanya berkaitan dengan soal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Secara lebih detail, masyarakat sipil umumnya tidak akan paham apa itu tahapan Pemilu, apa itu peserta Pemilu, apa itu penyelenggara Pemilu, terlebih apa itu pemantau Pemilu?

Tetapi, pembagian kategorial istilah itu secara substansial mungkin telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita. Misalnya, Pemilu berkaitan dengan pergantian kekuasaan melalui pemungutan suara (nyoblos) ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Tidak hanya itu, sebagian mereka juga paham bahwa KPU-lah yang menyelenggarakan Pemilu dan Bawaslu-lah yang mengawasinya, sementara Partai Politik dan kandidatnya-lah yang akan bertarung berkompetisi memperebutkan kursi. Meskipun, sebagian orang mungkin tidak tahu, dan mungkin tidak peduli.

Anehnya, fenomena tersebut terjadi pada subjek utama Pemilu yakni penyelenggara Pemilu. Tentu, idealnya semua masyarakat sipil harus tahu apa saja elemen penyelenggara Pemilu. Namun, realitanya, masih terdapat sebagian masyarakat yang tidak mengenal mereka.

Pemilu dan Ciri Negara Demokratis

Ada sebuah adagium yang menyatakan, “Salah satu ciri utama negara demokratis adalah adanya Pemilu yang diselenggarakan secara konsisten di dalam negara tersebut.” Meski demikian, tidak setiap negara yang melaksanakan Pemilu dapat dikatakan demokratis. Sebab, bisa saja di dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pemilu terdapat praktik-praktik yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi seperti praktik politik uang, ancaman, intervensi, dan berbagai hal lain yang mendegradasi makna demokrasi itu sendiri.

Orang umumnya mengenal demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln 1809-1865). Sebagai sebuah negara, Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya. Demokrasilah yang akan menjadi prinsip dalam tata kelola pemerintahan. Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan unsur utamanya. Ini kemudian dipahami sebagai kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang dipahami sebagai pemilik utama kedaulatan politik.

Lalu bagaimana aktualisasinya atau manifestasi kedaulatan rakyat tersebut? Dalam demokrasi, aktualisasi dilakukan melalui Pemilu. Rakyat memandatkan suaranya kepada wakil yang dipilihnya di balik bilik suara pemungutan. Mereka menentukan, siapa saja yang akan dan berhak menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Dan selama lima tahun itu pulalah “nasib” mereka dititipkan kepada mereka yang terpilih dalam Pemilu. Ini kemudian dipahami sebagai demokrasi tidak langsung atau demokrasi keterwakilan. Rakyat tidak langsung turun memerintah, tetapi wakil yang mereka pilihlah yang akan menjalankan tata kelola pemerintahan.

Berdasarkan logika tersebut, maka Pemilu sangat vital dan krusial keberadaanya untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat yang ideal dan dapat mewujudkan aspirasi konstituen yang memilihnya. Namun, faktanya, Pemilu tidak selalu menghasilkan wakil-wakil ideal seperti yang diharapkan. Lebih jauh, justru terkadang Pemilu hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan semata dengan menafikan substansi kenapa Pemilu itu harus dilaksanakan.

Ketidakidealan tersebut sebagaimana sering tampak pada maraknya praktik pelanggaran oleh peserta, penyelenggara, dan bahkan pemilih dalam berbagai bentuk seperti politik uang, intervensi kekuatan-kekuatan tertentu, warga negara (yang telah memenuhi syarat) tidak terdaftar sebagai pemilih, polarisasi dan politik identitas, dan potensi main mata antara penyelenggara dan peserta Pemilu, dan banyak lagi modus pelanggaran lainnya. Kondisi tidak ideal itulah yang kemudian bisa mendegradasi Pemilu sehingga menghasilkan produk yang jauh dari ideal pula.

Oleh sebab itu, pengawasan dibutuhkan untuk menjamin bahwa Pemilu dapat berjalan sesuai prosedur dan secara ideal dia telah mencerminkan wujud demokrasi yang substansial. Oleh negara, bentuk pengawasan itu kemudian dilembagakan menjadi sebuah Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu (8 April 2008) yang sebelumnya berbentuk badan Ad Hoc bernama Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu. Lembaga inilah yang dimandatkan oleh konstitusi untuk mengawasi dan memastikan jalannya Pemilu sesuai prosedur guna memastikan keabsahan legitimasinya.

Namun, di luar pengawasan yang terlembagakan itu, terdapat pengawasan yang berbasis sipil yang sifatnya kesukarelawanan. Pengawasan berbasis sipil ini tergambar dalam pengawasan yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat, yang umumnya dikenal sebagai pengawasan partisipatif dan pemantau Pemilu yang dilakukan oleh lembaga sipil pemantau Pemilu. Eksistensi model pengawasan dan pemantauan yang terakhir inilah sesungguhnya benteng “terakhir” Pemilu kita, apakah dia berkualitas atau tidak. Sebab, sebagaimana telah disebut di awal, penyelenggara Pemilu termasuk Bawaslu berpotensi melakukan pelanggaran-pelanggaran Pemilu, seperti yang tampak terjadi pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Ada dan Tanpa Pemantau/Pengawas Pemilu

Pada suatu ketika, dalam suatu acara Konsolidasi Nasional Pemantau Pemilu LS Vinus, Daniel Zuchron yang merupakan narasumber kala itu menyampaikan sebuah pertanyaan kepada pemantau yang kira-kira bunyinya begini.

“Emang kenapa harus mantau, emang kalau kita tidak mantau Pemilu tidak akan berjalan? Ada tidak ada pemantau, Pemilu tetap akan berjalan,” ujarnya.

Pertanyaan tersebut sesungguhnya ingin menyampaikan pesan kepada pemantau, bahwa pada dasarnya Pemilu tetap akan berjalan ada dan tanpa pemantau. Sebab, secara prosedural, penyelenggaraan Pemilu bisa dilaksanakan cukup oleh KPU.

Namun, jika kita perhatikan pertanyaan di atas dari aspek substansinya, maka kita akan menemukan pesan yang seolah-olah ingin berkata, “Poinnya adalah ketika produk Pemilu tidak ideal karena dihasilkan dari Pemilu yang curang dan penuh pelanggaran, maka dampaknya akan kita tanggung bertahun-tahun.”

Pertanyaan yang sama sesungguhnya bisa kita ajukan untuk menanyakan eksistensi pengawas Pemilu.

“Memangnya kalau Pemilu tidak diawasi, Pemilu tidak akan berjalan?”

Jawabannya tentu akan sama, “Ada atau tidak ada pengawas, Pemilu tetap akan berjalan.”

Dari aspek kekuasaan, Pemilu lebih dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan semata. Karena mereka butuh akan kekuasaan, maka kebutuhan untuk diawasi dan dipantau menjadi tidak relevan, sebab aspek pengawasan dan pemantauan justru akan menjadi batu sandungan bagi perebutan kekuasaan tersebut.

Itulah kenapa, di masa Orde Baru, orang tidak menganggap Pemilu yang diselenggarakan itu demokratis, meskipun pengawas Pemilu telah dibentuk dengan nama Panwaslak Pemilu 1982 (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu). Hal ini dikarenakan inisiatif pengawasan tidak mengakomodir “kegelisahan” sipil melainkan diadakan karena kehendak kekuasaan sebagai syarat formal agar Pemilu yang dilaksanakan seolah-olah telah demokratis.

Itulah kenapa di awal saya jelaskan, meskipun Pemilu adalah salah satu ciri utama negara demokratis, tetapi tidak setiap negara yang melaksanakan Pemilu berarti negaranya telah demokratis. Dengan demikian, Pemilu yang terjadi pada masa Orde Baru tidak bisa dipotret sebagai sebuah agenda demokratis, melainkan agenda formal kekuasaan semata, dan pengawasannya pun tetap dikontrol oleh kekuasaan yang otoritarian.

Oleh karena itu, spirit sipil yang mencerminkan wajah demokrasi dalam konteks pengawasan dan pemantauan sesungguhnya baru bisa kita potret pasca reformasi. Bagaimana sesungguhnya “kehendak” pengawasan dan pemantauan itu muncul dari rahim sipil, dan bagaimana kemudian negara meresponnya.

Eksistensi Pemantau dalam Konstitusi

Ketika LS Vinus diakreditasi sebagai Pemantau Pemilu, beberapa pemantau LS Vinus daerah banyak menyampaikan beberapa keluhan seperti ketika mereka berkoordinasi ke Bawaslu atau KPU setempat mereka mendapat respon yang lama, bahkan ada yang mengabaikan, dan lebih parahnya ada yang tidak tahu apa itu pemantau, sebagian komisionernya, sebagian lain staf dan karyawan yang bekerja di kelembagaan tersebut. Karena ketidaktahuan tersebut, tidak sedikit ada yang dinegasikan eksistensinya.

Jika kita lacak dalam sejarah konstitusi kita, sesungguhnya Pemantau Pemilu bukanlah barang baru yang didesain belakangan setelah Badan Pengawas Pemilu. Dalam UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu saja Pemantau Pemilu diatur dalam bab khusus dan memiliki 13 pasal di dalamnya (BAB XVI  pasal 435-447).

Tidak hanya itu, ternyata bab Pemantau Pemilu juga telah eksis di undang-undang sebelumnya, yakni UU no. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di mana terdapat 13 pasal (BAB XVI pasal 173-185) dan UU no. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga terdapat 13 pasal (BAB XVIII pasal 233-245). Baik UU no.7 tahun 2017 dengan UU no.42 tahun 2008 dan UU no. 8 tahun 2012 sama-sama memiliki 13 pasal tentang Pemantau Pemilu, bedanya di UU no. 7 tahun 2017 pendaftaran dan akreditasi Pemantau Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, sementara di UU no.42 tahun 2008 dan UU no. 8 tahun 2012 dilakukan oleh KPU.

Lebih jauh, eksistensi Pemantau Pemilu sesungguhnya telah diakui di UU no. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengakomodir dua pasal tentang Pemantau Pemilu (BAB XI bagian ketiga pasal 86-87) dan UU no. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengakomodir 13 pasal (BAB XVIII pasal 231-243).

Di kedua undang-undang di atas, pendaftaran Pemantau Pemilu berada di KPU. Namun, terdapat sedikit perbedaan, jika di UU no. 10 tahun 2008  Pemantau Pemilu dibahas dalam bab khusus dan memiliki 12 pasal, maka di UU no. 23 tahun 2003 Pemantau Pemilu hanya memiliki dua pasal dan tergabung dalam bab pembahasan Pengawasan, Penegakan Hukum, dan Pemantauan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden.

Menjadi menarik jika kita perhatikan UU no. 23 tahun 2003, tampaknya negara menghendaki pengawas dan pemantau diletakkan dalam satu eksistensi yang sama. Ini menunjukkan bahwa pengawas dan pemantau pada dasarnya memiliki relasi yang beririsan. Baik pengawas maupun pemantau pada dasarnya adalah dua entitas yang saling melengkapi dan menguatkan.

Tidak hanya itu, negara ternyata juga telah mengakui jauh eksistensi Pemantau Pemilu melalui UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD di mana terdapat dua pasal tentang Pemantauan Pemilihan Umum (BAB XIV bagian ketiga pasal 135-136). UU no. 12 tahun 2003 mirip dengan UU no. 23 tahun 2003 yang meletakkan pengawas dan pemantau dalam pembahasan bab yang sama yakni Pengawasan, Penegakan Hukum, dan Pemantauan Pemilihan Umum.

Sinyal bahwa pengawas dan pemantau Pemilu sejak awal memang diadakan sebagai dua entitas untuk saling menguatkan dan menemani tampak jelas jika kita lihat bagaimana UU  no. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum meletakkan pengawas dan pemantau dalam pembahasan bab khusus yang sama, yakni BAB IV Pengawasan dan Pemantauan Pemilihan Umum pasal 24-27, tiga pasal pertama tentang pengawasan dan satu pasal terakhir tentang pemantauan.

Dengan demikian, spirit pemantauan dan pengawasan pada dasarnya sejak awal diletakkan sejajar dan saling melengkapi. Secara historis (independensi) lembaga pemantau dalam konstitusi (pasca reformasi) jauh lebih tua daripada kelembagaan Badan Pengawas Pemilu. Dari sudut ini, pemantauan lebih umum dari pengawasan.

Maka menjadi aneh dan paradoks kemudian bila hari ini masih ditemukan lembaga Penyelenggara Pemilu baik itu komisionernya maupun birokrasi dan tenaga pendukungnya tidak memahami eksistensi Pemantau Pemilu.  Baik KPU apalagi Bawaslu di semua tingkatan sesungguhnya tidak memiliki alasan untuk masih bertanya tentang eksistensi apalagi menanyakan definisi, “Apa itu Pemantau Pemilu?”

Seyogyanya, jika hal ini terjadi, maka siapa pun mereka, tidak layak terlibat dan ikut cawe-cawe dalam penyelenggaraan Pemilu. Bukan tanpa alasan, orang yang tidak memahami alur pikir, sejarah, dan substansi konstitusi Pemilu, lalu mengelola Pemilu, maka yang terjadi hanyalah resistensi dan pengabaian-pengabaian terhadap amanat konstitusi.

Oleh karena itu, karena hari ini undang-undang mengamanatkan Pemantau Pemilu diakreditasi oleh Bawaslu, maka sudah sepatutnya Bawaslu harus lebih dekat dengan Pemantau Pemilu. Bagaimanapun, salah satu spirit kenapa Pengawas kemudian dibentuk sebagai badan pengawas tidak lain untuk dapat berkawan akrab dengan pemantau guna mendukung ekosistem pengawasan yang holistik dan tentu untuk memastikan bahwa Pemilu berjalan sesuai prosedur guna mencapai puncak substantifnya.

Deni Gunawan
Deni Gunawan
Koordinator Nasional Pemantau Pemilu Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), penyuka filsafat dan ilmu-ilmu sosial politik. Yang terpenting semua harus bisa ngopi sambil asyik-asyik. 😂
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.