“Politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain.” – Oscar Ameringer
Penggalan kalimat dari Oscar Ameringer menurut penulis terasa pas untuk membuka tulisan ini. Pasca hiruk-pikuk pilkada serentak 2018 yang berlangsung di 171 wilayah, masyarakat Indonesia akan kembali diramaikan oleh pertarungan politik di 2019. Terang saja, 17 Juli 2018 yang lalu merupakan batas akhir (deadline) pengajuan daftar calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD RI.
Banyak berita yang lalu-lalang, mulai dari ketua umum parpol yang nyalonnya sebagai senator DPD, menteri kabinet kerja yang masih mau nyaleg DPR, tidak majunya beberapa anggota dewan petahana (incumbent) hingga yang terheboh adalah fenomena transfer caleg dengan nilai fantastis.
Tidak bisa dipungkiri, naiknya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) ke angka 4% menyebabkan persaingan menjadi sangat ketat dan akan berlangsung panas. Bahkan, baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI Denny J.A.) memprediksi hanya 5 partai politik yang akan lolos ke parlemen (PDI-Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat).
LSI Denny J.A. jelas bukan lembaga survei kemarin sore, prediksi ini jelas menjadi warning bagi partai-partai lain untuk berbenah memastikan dirinya tidak terdepak dari Senayan. Alhasil, berbagai cara pastilah akan dilakukan salah satunya adalah dengan transfer caleg.
Belum ada definisi yang baku dan mengikat perihal transfer caleg ini, tapi dalam pandangan penulis transfer caleg dapat diartikan sebagai “biaya yang dikeluarkan partai politik untuk merekrut bakal calon legislatif”. Bacaleg yang direkrut dapat berasal dari partai politik lain ataupun yang bukan dari partai politik (dalam sepak-bola seperti free-agent).
Tidak tanggung-tanggung seseorang yang telah menduduki jabatan sebagai anggota dewan-pun dapat berpindah partai melalui proses transfer caleg ini. Yang menjadi pembeda dengan sepak-bola adalah, bila Juventus harus merogoh kocek ratusan juta euro sebagai biaya transfer kepada Real Madrid untuk mendatangkan Cristiano Ronaldo (plus gaji puluhan juta euro pertahun).
Dalam fenomena transfer caleg ini, partai politik yang baru tidak perlu memberi kompensasi apapun kepada partai anggota dewan yang lama. Artinya partai politik baru cukup menjalin kesepakatan dengan caleg-nya.
Untuk menghaluskan penyebutan, partai politik dan para caleg rekrutan menyebutnya sebagai “dana konsolidasi”, “kontrak TV (bagi caleg artis)”, “bonus pendaftaran”, “bantuan logistik”, “uang operasional”, “ongkos kampanye” dan berbagai istilah lainnya.
Dalam bingkai politik zaman now, dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang amat liberal. Faktor figur atau personal caleg memang lebih berpengaruh ketimbang asal partainya (58% melihat figur & 30% melihat partai: hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI). Data ini tentu membuat partai politik berbondong-bondong mencari figur-figur yang voters friendly, artinya calon yang diusung sebisa mungkin harus mewakili kalangan atau kelompok tertentu.
Figur-figur popular person juga akan menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dicalonkan, seperti artis, public figure yang telah dikenal oleh masyarakat untuk meningkatkan suara agar lolos parliamentary threshold.
Lebih dari 20 juta penduduk Indonesia terkategori miskin (penghasilan dibawah Rp 400rb/bulan), belum lagi tingkat ketimpangan (gini ratio) yang masih tinggi 0,389 ditambah menguatnya sentimen primordial berlandaskan SARA membuat penulis masih agak meragukan rasionalitas pemilih di tahun 2019.
Fenomena transfer caleg menjadi isyarat dari partai politik bahwa seluruh cara dan jalan harus ditempuh guna mengamankan kedudukan fraksi di DPR.