Fenomena melepas jilbab merupakan fenomena yang kompleks. Tidak hanya dimensi agama saja, ia juga melibatkan dimensi antropologi, sosiologi dan psikologi. Misalkan dari sosiologis, berjilbab karena perintah orang tua, berjilbab karena kondisi sosial masyarakat yang islami, adapula yang berljilbab hanya sebatas fasion saja.
Perlu kita ketahui dan pahami berjilbab merupakan pilihan. Seperti pilihan orang ingin memakai kemeja atau kaos, lalu memilh celana panjang atau pendek. Tergantung personal, karena ia bersifat pribadi.
Beberapa waktu yang lalu sempat heboh fenomena Rina Nose melepas jilbab. Publik di dunia maya ramai-ramai menggunjingkan Rina atas pilihannya itu. Netizen Menilai jika tidak sepantasnya Rina sebagai publik figur melepas jilbab yang telah dikenakannya selama ini. Ada yang menghakimi Rina Nose haram lewat dalil-dalil agama, ada juga yang memaklumi karena memakai atau melepas itu hak dia.
Pilihan
Menurut penulis tidak sepantasnya terjadi penghakiman atas fenomena yang terjadi atas Rina. Bukan karena penulis pro terhadap dia. Mungkin karena dia seorang artis dan publik figur yang dikenal banyak orang makanya banyak yang bersimpati atau menolak keputusannya melepas jilbab.
Penulis banyak sekali menemukan orang yang tidak berljilbab. Bahkan penulis mempunyai beberapa tetangga yang berjilbab kalau hendak ada acara penting keagaamaan saja. Jilbab tak dipakai saat hendak kerja atau aktifitas lainnya. Kecuali ketika hendak solat berjamaah. Jadi jilbab dikalangan masyarakat bawah lebih diidentikkan oleh tradisi religius saeseorang. Bukan catatan tingkat kesalehan seseorang.
Penulis mengutip pendapat berhijab Sumanto Al-Qurtubi, pakar antropologi, menurutnya hijab hanyalah sehelai kain penutup rambut kepala yang tidak ada bedanya dengan jenis kain lain seperti kerudung, cador, atau mantilla yang dikenakan umat Katolik. Sebagai sebuah pakaian, hijab tentu saja bukanlah sebuah barang sakral-religius, melainkan barang profan-sekuler, sama seperti jenis-jenis pakaian lain: kebaya, kaos, baju, topi, selendang, cawet, dan sebangsanya. Semua hasil dari produksi kebudayaan manusia.
Di sini dijelaskan bila jilbab tidak melulu properti milik umat Islam. Dalam agama non Islam seperti katholik juga ada yang mengenakan. Tidak ada bedanya antara memakai jilbab dengan kaos, kemeja dan celana. Jilbab merupakan pakaian biasa yang dikenakan baik umat Islam maupun non islam (Katolik).
Masih menurut Sumanto, teks tentang hijab bukan hanya didapat atau disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadis saja tetapi juga dalam teks-teks keagamaan umat Kristen dan Yahudi, jauh sebelum Islam diperkenalkan di Jazirah Arab pada abad ketujuh.
Bahkan kalau mengkaji dari aspek sejarah dan antropologi Islam, umat Islam Arab kala itu, dalam hal berhijab ini, hanya meniru atau mempraktikkan saja tradisi dan kebudayaan yang sudah ada di kalangan masyarakat non-Muslim Arab dan non-Arab di Timur Tengah (termasuk Persi, Assyria, dsb), baik masyarakat agama Yahudi, Kristen dan lainnya. Sudah banyak sekali kajian-kajian ilmiah tentang ini yang tidak perlu saya ulangi lagi dan lagi.
Jilbab dalam islam diterangkan oleh ayat Al-Qur’an secara eksplisit pada surat al-Ahzab ayat 59: Wahai Nabi, katakanlah kepada para istrimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perbuatan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Menurut Said Al-Asymawi : illat hukum pada ayat tersebut, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar perempuan-perempuan merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan perempuan yang berstatus hamba sahaya dan perempuan-perempuan yang tidak terhormat.
Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal sehingga perempuan-perempuan merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Bukti tentang kebenaran hal ini adalah Umar Ibn Khattab ra. bila melihat seorang perempuan budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk perempuan itu. Ini guna membedakan mereka dengam perempuan-perempuan merdeka.
Sederhananya jilbab dipakai merupakan kain penutup kepala untuk membedakan antara kaum muslimah merdeka dan budak. Selain itu, untuk melindungi diri dan martabat perempuan dari laki-laki hidung belang. Karena kondisi dan budaya arab saat itu laki-laki hidung belang suka mengganggu perempuan yang tak berjilbab.
Quraish Sihab, pakar tafsir Indonesia berpendapat setidaknya ada tiga pandangan ulama mengenai pakaian dan busana perempuan. Pertama, wajib menutupi seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan. Kedua, perempuan dewasa wajib menutup tubuh , kecuali muka dan telapak tangan. Dan yang ketiga, cukup dengan pakaian terhormat (wajib menutupi tubuhnya selain muka dan telapak tangan hanya ketika solat dan thawaf).
Selain itu Quraish Sihab juga menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan keharusan perempuan untuk mengenakan pakaian tertutup. Pertama, Alasan filosofis, yang berpuasat pada kecenderungan ke arah kerahiban dan perjuangan melawan kenikmatan dalam rangka melawan hawa nafsu manusiawi (tidak kawin). Kedua, alasan keamanan, misal istri yang cantik agar tidak dirampas orang lain. Ketiga, alasan ekomomi yaitu perempuan diberi pakaian tertutup dan dilarang pergi ke luar rumah agar laki-laki dapat mengeksploitasinya dengan menjadi pelayan bagi kepentingan lelaki. Keempat, alasan peradaban manusia dengan rujukan al-Qur’an.
Perlu kita garis bawahi bahwa ketiga pendapat Quraish Sihab di atas tidak terkait dengan alasan agama. Justru hanya ke empat aja yang menyatakan bila berjilbab merupakan alasan peradaban yang bersumber dari al-Qur’an. Di indonesia fenomena berjilbab lebih karena alasan peradaban. Selain juga kondisi sosiologis dan psiko-agama seseorang. Jilbab pertama kali dipopulerkan oleh Cak Nun pada tahun 1990 dengan Lautan Jilbabnya, dan para jilbabers yang turun ke jalan.
Pak Quraish Sihab juga menekankan perihal fenomena berjilbab dengan memberi contoh istri KH Ahmad Dahlan, istri KH Hasyim Asy’ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah. Mereka memakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian. Apa kira-kira mereka tidak tahu hukumnya wanita berjilbab? Pasti tahu. Tapi mengapa mereka tidak menyuruh istri-istrinya pakai jilbab?”
Jadi masih patutkah kita menjustifikasi muslimah yang tak berjilbab dan mengharam-haramkannya?