Akhir-akhir ini, jagat media baik online maupun offline ramai memperbincangkan kasus “perjokian” di kalangan akademisi di perguruan tinggi sebagai headline pemberitaan, meskipun perkara tersebut bukanlah fenomena baru khususnya di Indonesia.
“Joki” dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Jockey, yakni seseorang yang mengikuti pertandingan pacuan kuda dan menjadikan hal tersebut sebagai profesi. Sementara itu, “joki” dalam konteks jasa dalam perguruan tinggi, seperti dilansir dari theconversation.com, diartikan sebagai Contract Cheating, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2006 melalui sebuah artikel penelitian yang berjudul “Eliminating the successor to plagiarism? Identifying the usage of contract cheating sites”, yang dimuat dalam Proceedings of 2nd international plagiarism conference, Northumbria Learning Press yang ditulis oleh Robert Clarke dan Thomas Lancaster. Dalam artikel tersebut “joki” atau Contract Cheating didefinisikan sebagai:
“Contract cheating is defined as the submission of work by students for academic credit which the students have paid contractors to write for them.”
“Joki” atau Contract Cheating merupakan sebuah fenomena dimana seorang (ter)pelajar menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas akademik dengan ketentuan atau kontrak tertentu seperti biaya pengerjaan dan ketentuan waktu pengerjaan.
Umumnya, kasus perjokian di jagat pendidikan tidak terlepas daripada hukum sebab-akibat. Penyebab maraknya penggunaan jasa joki di perguruan tinggi khususnya pembuatan karya ilmiah baik berupa artikel jurnal, skripsi, tesis, disertasi maupun tugas akademik lainnya seperti dilansir dari kompas.com, setidaknya, terdiri atas dua aspek atau alasan utama yakni aspek pemahaman dan faktor kesibukan. Aspek pemahaman dalam konteks ini lebih kepada persoalan baik berupa minimnya kepakaran dalam sebuah disiplin ilmu maupun pemahaman dari segi penggarapan karya ilmiah.
Dewasa ini, persoalan tentang disiplin ilmu dengan pemerolehan jabatan akademik baik doktor kehormatan maupun professor kehormatan merupakan dua perkara yang mampu menyematkan pertanyaan-pertanyaan “liar” dalam benak tentang arah dan lintasan sistem pendidikan kita.
Salah satu contoh kasus tentang tidak sinkronnya disiplin ilmu dengan jabatan akademik, yakni pemberian gelar professor kehormatan yang direspon dengan penolakan oleh dosen-dosen UGM melalui surat pernyataan yang sempat beredar di media beberapa waktu lalu. Terhadap apa yang dilakukan oleh dosen-dosen tersebut, adalah bentuk upaya mengembalikan kepakaran atau otonomi keilmuan sesuai dengan jabatan akademik yang diperoleh.
Salah satu poin pernyataan dalam surat pernyataan adalah bahwa “Profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik. Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik”.
Poin pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa hadirnya “The Invisible Hand” atau tangan tak terlihat atau dalam hal ini “joki” merupakan sebuah pilihan tersendiri apabila seseorang memperoleh jabatan professor kehormatan yang tidak sesuai dengan kepakarannya agar mampu menjalankan tugas akademik.
Meskipun dalam konteks pernyataan tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci, akan tetapi hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa dalam melaksanakan kewajiban akademik sebagai tugas dari jabatan akademik professor kehormatan mengharuskan pihak yang memperoleh jabatan tersebut memiliki kemampuan keilmuan yang mumpuni. Namun jika sebaliknya, maka kehadiran “pihak ketiga” yang memainkan peran di balik layar merupakan keniscayaan sekaligus pilihan terakhir.
Selain itu, kasus lain yang berkaitan dengan aspek kepakaran sebagai pemicu lahirnya “joki” adalah ketika seorang akademisi memiliki pengetahuan dan kemampuan yang mapan dari segi keilmuan, akan tetapi minim dalam hal metodologi penulisan karya ilmiah.
Tak bisa dipungkiri bahwa beberapa (jika enggan disebut kebanyakan) pihak dari kalangan akademisi masih minim dalam hal metodologi penulisan khususnya artikel jurnal bereputasi internasional.
Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas karya berupa hasil penelitian yang dipublikasikan di kalangan akademisi di setiap perguruan tinggi yang terbilang masih sangat rendah sehingga tak ayal, banyak kalangan akademisi memilih jalan pintas dengan menggunakan jasa “joki” seperti yang dilansir dari theconversation.com, bahwa banyak akademisi di Indonesia menggunakan jasa “joki” untuk mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi.
Selanjutnya, faktor lain yang memicu penggunaan jasa “joki” di kalangan akademisi adalah faktor kesibukan, dalam konteks ini, lebih dimaknai sebagai seperangkat rutinitas yang digeluti oleh akademisi di perguruan tinggi sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan tugas akademik seperti melakukan penelitian dan mempublikasikan artikel.
Hal tersebut juga membawa pengaruh besar terhadap peningkatan penggunaan jasa “perjokian” di perguruan tinggi dan memang pada kenyataannya, kebanyakan akademisi dalam hal ini dosen diperhadapkan dengan persoalan administrasi di bawah manajerial sistem pendidikan nasional yang begitu ketat.
Hampir dapat dipastikan bahwa maraknya penggunaan jasa “joki” di perguruan tinggi tidak terlepas daripada tata kelola sistem pendidikan di Indonesia yang semakin hari semakin menjauhkan diri dari realitas pendidikan yang dihadapi setiap perguruan tinggi sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan.
Sementara itu, pihak penyedia jasa “joki” baik secara individu maupun melalui badan bisnis, sebagai asumsi awal, jika ditelusuri lebih jauh bahwa mayoritas penyedia jasa “joki” adalah orang-orang yang juga berasal dari perguruan tinggi baik dari kalangan mahasiswa, dosen maupun para alumni. Tugas seorang “joki” tentu bukanlah hal yang terbilang mudah dan tentunya membutuhkan kemampuan keilmuan yang mumpuni pula.
Seseorang yang berprofesi sebagai “joki” khususnya yang berasal dari kalangan alumni perguruan tinggi setidaknya mengisyaratkan dua pertanyaan utama yang harus dicermati, yakni pertama, apakah pilihan menjadi “joki” merupakan pilihan secara terpaksa untuk lari dari cengkraman pengangguran pasca alumni?
Kedua, apakah perguruan tinggi tidak memiliki tanggung jawab dari aspek pemberdayaan alumni khususnya dalam hal dunia kerja? Jika memang orang-orang yang berprofesi sebagai “joki” berasal dari kalangan mahasiswa maupun alumni, maka sudah sepatutnya pihak perguruan tinggi maupun pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia berintrospeksi diri dan mengurai benang kusutnya bahwa tanpa disadari fenomena maraknya kasus “perjokian” dan para akademisi yang menggunakan jasa “joki” berangkat dari hukum kausalitas yang akarnya dari sistem pendidikan kita.