Satu waktu saya pernah terlibat argumen dengan seorang teman perempuan yang mengatakan bahwa feminisme tidak lagi relevan dengan dalih bahwa, “kan perempuan sudah setara”. Sebagai gambaran, dia adalah seorang perempuan kelas menengah atas dan memiliki akses terhadap pendidikan tinggi. Balasan untuk meng-counter argumennya saya awali dengan: “perempuan yang mana yang kamu maksud?”
Perbincangan-perbincangan semacam ini bukan sekali duakali saya lalui, dan rasanya memang masih banyak yang tak paham kalau hanya karena Puan Maharani—yang seorang perempuan—menjadi Ketua DPR lantas kita telah mencapai pembebasan perempuan. Padahal, kita bisa saja mempertanyakan, bagaimana dengan nasib perempuan yang rumahnya digusur akibat pembangunan, atau buruh perempuan AICE yang mengalami keguguran.
Namun, pada kenyataannya, memang masih banyak orang yang menganggap kemenangan gerakan feminisme hanya dari keberhasilan perempuan menjadi pengusaha, politisi, corporate lawyer, dan posisi-posisi bergengsi lainnya. Yang tidak kita lihat, perempuan-perempuan yang menempati posisi tersebut hanyalah kaum 1%. Sementara, 99% lainnya mengalami ketertindasan yang berbeda-beda.
Tantangan mendefinisikan “perempuan” dalam gerakan feminisme sendiri sampai pada dimensi teoretis dan praktis. Dalam feminisme “kekinian” misalnya, jarang kita melihat bagaimana kemiskinan diperhitungkan sebagai variabel ketertindasan. Dan, nyatanya, satu hal yang kemudian tidak tampak dalam pemikiran feminisme “kekinian” adalah bahwa ketertindasan juga dapat terjadi dari pemberlakuan kesamaan (keperempuanan).
Kritik senada pun disampaikan oleh Nawaal El Sadawi untuk feminis Barat yang gagal dalam melihat ekonomi dan politik sebagai bagian dari penindasan perempuan. Ia mnyoroti bagaimana feminis Barat sama sekali tidak memperhitungkan eksploitasi yang menekan perempuan oleh perusahaan multinasional di negara-negara Global South.
Secara garis besar, yang perlu kita pahami adalah bahwa identitas keperempuanan (seks) semata tidak cukup untuk merepresentasikan seluruh perempuan yang ada. Dengan begitu, tidak seharusnya pula kita menilai “kemenangan” feminisme hanya dari persoalan individual.
Universalisasi ketertindasan yang dialami perempuan hanya karena berangkat dari identitasnya sebagai perempuan adalah apa yang disebut oleh Bell Hooks sebagai false universalism.
Upaya penyeragaman ini juga masih dilakukan dengan menyederhanakan permasalahan perempuan yang ada hanya sebatas permasalahan kultural, seperti kebebasan berpakaian. Bukan artinya kebebasan berpakaian tidak penting bagi perempuan, tetapi yang terjadi adalah pengeksklusian isu-isu perempuan yang lain.
Salah satu yang mengganjal bagi saya adalah luputnya sorotan terhadap kerja-kerja perawatan yang dilakukan ibu rumah tangga. Bagi feminisme “kekinian”, menjadi ibu rumah tangga juga merupakan pilihan. Namun, gagal menyoroti bagaimana kapitalisme melakukan pembagian antara pekerjaan yang dibayar di luar rumah dan kerja tidak dibayar yang dilakukan oleh perempuan di dalamnya. Kerja perawatan menopang posisi subordinat perempuan dalam masyarakat, dan kapitalisme masih bergantung pada pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan dalam keluarga.
Pada intinya, upaya menyeragamkan ketertindasan perempuan sama sekali tidak akan membawa feminisme pada apa yang disebut sebagai “kemenangan”. Kita tentunya tidak dapat menyamakan apa yang dialami perempuan Jawa dengan perempuan-perempuan di tanah Mollo yang menolak ide atas pemaksaan kuasa atas alam kekayaan tanah mereka.
Feminisme “kekinian” bagi saya membutuhkan—istilah yang saya pinjam dari Audre Lorde—penangkal. Penangkal itu adalah dengan mengatasi ketertindasan perempuan, yang tentu bukan dengan cara mengambil “satu bagian” dan menganggap bahwa persoalan bagian tersebut dapat menjelaskan seluruh ketertindasan perempuan. Akan tetapi harus dilihat sebagai “suatu keseluruhan” yang memungkinkan perempuan untuk dapat bergerak secara bebas dalam menganalisis dan tidak disempitkan oleh satu pandangan apalagi dibatasi oleh definisi tertentu.
Kemudian, penting bagi kita untuk melihat ketertindasan sebagai sistem yang terkait (interlocking system). Artinya, kita tidak mungkin memandang perempuan sebatas “dia perempuan”, tetapi ada identitas-identitas lain yang melekat padanya (kelas, ras, gender, dan lainnya).
Toh, meskipun perempuan di lingkunganmu telah mendapat akses pendidikan, hak politik, kesehatan, dan lainnya bukan berarti feminisme tidak lagi relevan. Bagi perempuan-perempuan yang hak melahirkannya dirampas karena sistem, feminisme bukanlah sebuah preferensi.
Tulisan ini menjadi ajakkan untuk lebih jeli dalam melihat konteks ketertindasan. Pemahaman bahwa setiap perempuan mengalami ketertindasan dengan lapis yang berbeda adalah satu langkah maju pada pembebasan perempuan.