Beberapa pekan terakhir ini, negara kita banyak dirundung masalah. Dari hoax politik sampai rekapitulasi surat suara yang tak kunjung selesai. Yang paling fantastatis adalah aksi klaim kemenangan dari kubu paslon capres dan cawapres. Rasanya, media kita memang tidak akan pernah kehabisan bahan untuk mengghibahkan sesuatu.
Sebenarnya, apabila kita perhatikan dengan seksama, semua kericuhan yang sedang kita lihat hari ini memiliki satu akar masalah yang sama. Bahwa masyarakat Indonesia memiliki daya fantasi yang sangat tinggi. Bagaimana penjelasannya?
Fantasi a la Slavoj Zizek
Dalam buku Manusia Politik yang ditulis oleh Robertus Robet, ia mencontohkan gap antara realitas yang simbolik dengan yang riil (antogonisme) menggunakan cerita perumpamaan. Dikisahkan ada seorang mandor yang mencurigai salah seorang buruhnya mencuri di tempat kerja.
Berdasarkan kecurigaannya tersebut, setiap petang menjelang jam usai kerja, ia selalu memeriksa tas si buruh. Berhari-hari ia lakukan, namun tak kunjung mendapati barang curian di dalam tasnya. Bukannya berhenti curiga, ia malah berpikir jangan-jangan tas itulah barang curiannya.
Cerita perumpamaan tersebut seketika menjadi tidak asing bagi kita, rasa-rasanya mirip dengan cerita yang lain di media hari ini. Hal ini menunjukkan bahwa ada ideologi yang berakar pada fantasi menciptakan afirmasi gap yang dalam, sehingga membentuk kesenjangan antara realitas-yang-simbolik dengan yang-riil. Fantasi adalah sebuah imej di dalam benak seseorang mengenai harapan dan cita-citanya dan bayangan apa yang akan terjadi.
Fantasi kemenangan pihak politik yang tidak terlihat hilalnya pada akhirnya justru menyalahkan penyelenggara pemilu karena apa yang di angannya tidak tercapai. Ada keyakinan yang lahir dari angan-angan sehingga ketika hal tersebut tidak tercapai, ia justru mengkonstruksi realitas yang mirip dengan angannya yang sangat jauh dengan kenyataannya.
Realitas yang simbolik ada selama ideologi ada, karena realitas itu sendiri merupakan presentasi dari yang tak pernah lengkap dari upaya untuk merumuskan yang-riil. Semakin jauh gap antara yang riil dengan ideologi yang tumbuh dari fantasi, maka ia akan mengkonstruk realitas semakin menjulang tinggi.
Tema Fantasi Berkomunikasi
Apakah fantasi bisa dilakukan bersama-sama? Menurut Ernest Bormann dkk dalam teori fantasy-theme analysis, bahwa individu dalam kelompok datang membangun realitas-bersama melalui komunikasi untuk menghidupkan realitas “fantasi” individu.
Yang kemudian, konstruk realitas bersama tersebut dipandu oleh cerita-cerita yang mencerminkan bagaimana segala sesuatu yang “mestinya” diyakini. Pada hakikatnya fantasi berfungsi positif bagi kelompok untuk menyamakan cita-cita dan menanamkan motivasi bersama.
Halu, kata orang kekinian, bisa menimpa sekelompok orang. Ideologi, mimpi, dan fantasi yang sama terus menerus dipupuk dalam pertemuan-pertemuan, sehingga menjadi cita-cita bersama.
Fantasi dibuat dalam interaksi simbolis dalam kelompok-kelompok kecil, dan mereka berantai dari orang ke orang dan kelompok ke kelompok untuk menciptakan worldview bersama. Kubu politik membangun fantasi ini melalui interaksi di media digital, melahirkan kelompok-kelompok yang jumlahnya tidak terbendung lagi. Membuat trending tagar adalah bagian dari menciptakan worldview, menyebar halu secara luas.
Ciri dari fantasi komunal adalah ada bahan-bahan untuk membangun konstruksi drama (pandangan realitas) yang diciptakan oleh suatu kelompok. Bahan untuk membangun konstruksi tersebut adalah tokoh-tokoh, alur cerita, adegan, dan yang melegitimasi cerita.
Katakanlah, tokoh-tokohnya adalah capres-cawapres yang memiliki karakter ambisius, alur ceritanya adalah perjuangan yang tak kunjung bersambut karena disabotase, adegannya adalah pekikan kemenangan dan tudingan kecurangan, dan yang melegitimasinya adalah kelompok pemenangan.
Penutup
Tulisan ini cukup keras menuding salah satu pihak. Butuh keterbukaan pikiran dan penerimaan bahwa ini semua hanya diakibatkan oleh fantasi, dan realitas yang digaungkan sebagai yang-riil hanyalah konstruksi yang dibangun karena tidak tercapainya angan-angan.
Begitupun butuh keterbukaan pikiran dan penerimanaan yang lapang dada untuk menerima kekalahan. Bahwa semua yang telah dilakukan telah diprediksi oleh teori-teori, oleh Zizek, Bormann, John Cragan dan Donald Shields.