“PBB bilang bahwa komposisi dunia ini terdiri dari 195 negara. Komposisi ini maujud berproyeksi 194 negara mampu mengusahakan pembangunan sedangkan satu negara terkungkung dalam penjajahan dan sedang berjuang meraih kemerdekaan”.
Esensi pembangunan terlihat dari keseriusan badan serikat dunia yaitu PBB yang mengeluarkan skema pembangunan berkelanjutan, Sustainable Developments Goals (SDGs). Publikasi SDGs meliputi goals (tujuan) dengan fokus 17 topik yang berakar dari masalah arus utama yang dihadapi mayoritas negara dengan tujuan cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet ini, saat ini, dan di masa depan.
Dalam perkembangannya, SDGs mengusung agenda 2030 dengan proyeksi tiga nilai utama yaitu “human rights-based approach”, “leave no one behind”, dan “gender equality and woman empowerment”.
Dua nilai pertama menjadi fokus dalam pembahasan ini, bahwa pendekatan berdasarkan hak asasi dan tidak meninggalkan siapapun dievaluasi masih jauh dari pencapaian sebab keberadaan negara Palestina yang masih berjuang memeroleh kemerdekaan ketimbang mengusahakan pembangunan.
Negara lain ada dalam tahap berjuang mengatur, membenahi, dan mengantisipasi permasalahan terkait 17 topik utama, sedangkan Palestina masih berjuang dalam memperjuangkan hak kemerdekaan,
‘Jangan tinggalkan siapa pun’ dipilih sebagai slogan Agenda 2030. Realisasi slogan-slogan ini di Palestina masih sangat sulit selama rakyat Palestina tidak dapat menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri’, mengutip State of Palestine’s Main Message to the 2018 High-Level Political Forum on Sustainable Development.

Selaras dengan pencapaian SDGs dengan kondisi dibawah jerat okupasi dan kolonialisme, meneguhkan Palestina dalam menyatakan akan perlunya untuk menambah satu goals lagi yaitu goals ke-18 berupa: “Mengakhiri pendudukan, dan konsolidasi Negara Palestina merdeka di perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya”. Apakah diterima? Jangankan diterima, tidak ada nama Palestina sebagai report rutin dalam SDGs report 2024. Sebaliknya, negara pendudukan Israel mendapat peringkat ke 53 dari 166 negara.
Goals (tujuan) tidak akan dapat dicerna berprogres atau tercapai maksimal apabila ada subjek yang tertinggal dan tertindas bukan? Benar, sebab tujuan SDGs bukan hanya di negara tertentu melainkan janji untuk tindakan yang lebih kuat dan lebih efektif guna memastikan janji tahun 2030 untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet ini, dan tidak meninggalkan seorang pun. Menyadur tanggapan Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon yang mengutarakan bahwa bencana akibat ulah manusia turut berimbas pada kondisi kemanusiaan dan menjadikan mandek pencapaian SDGs bahwa tidak ada perdamaian dunia sebelum semua manusia hidup dalam kedamaian.
Selanjutnya, realitas lapangan mengabarkan bahwa 2024 menjadi tahun refleksi luar biasa bagi program SDGs sebab jangankan perbaikan, penjajahan masih mengungkung hak damai dan hidup warga dengan luas negara sekitar 6.025 km persegi, serta genosida dalam kerucut wilayah 360 km persegi. Brutalisme kolonialisasi zionis Israel terhadap negara Palestina dan genosida wilayah Gaza. Trivia, perumpamaan dengan wilayah Indonesia, maka luas negara Palestina hanya berkisar Pulau Bali ditambah kota Surabaya sedangkan Gaza berkisar panjang jarak perjalanan dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Kondisi Palestina dan Gaza melukai poin sembilan laporan SDGs tahun 2024, bahwa syarat mencapai SDGs adalah perdamaian. Hal ini memasukan syarat bahwa segala konflik dan kekerasan yang mengakibatkan kematian, kehancuran, pengungsian, serta gangguan di seluruh dunia harus diakhiri. Satirnya fakta lapangan berasal dari pemberitahuan data Kementrian Kesehatan Gaza yaitu hitungan pasca 7 Oktober 2023 dengan kuantitas 300 hari genosida zionis Israel di Palestina menggugurkan nyawa sebanyak 39,480 jiwa dengan korban luka parah dan ringan mencapai 91,128 jiwa. Jumlah angka yang membuat presiden Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva menyerupakan genosida Israel di Gaza selayaknya holocaust nazi Adolf Hitler kepada masyarakat Yahudi.
1. Tanpa Kemiskinan
Gaza, wilayah administrasi bagian Palestina ini dievaluasi mengalami dekadensi pembangunan sebagai akibat dari pendudukan dari penjajahan Israel. Sesaknya pembatasan di luar nalar mengekang hak asasi manusia Gaza untuk mengembangkan potensi.
Presentase angka kemiskinan tercatat 81,5% penduduk Gaza 71% adalah pengungsi Palestina yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dan mengalami kerawanan pangan. Tingkat pengangguran meningkat di Gaza menjadi 79,3% dan di Palestina menjadi 32,30%. Pada tahun 2023, PDB tahunan Gaza menurun sebesar $655 juta. Penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi Palestina tahun 2023 dari 3,2% menjadi kontraksi sebesar 3,7%; kerugian PDB sebesar $1,5 miliar; krisis fiskal mengancam fungsi-fungsi dasar.
2. Tanpa Kelaparan
PBB mengumumkan bahwa kondisi masyarakat Gaza berada dalam kondisi kelaparan akut (famine). Total 31% yaitu 1 dari 3 anak di bawah usia 2 tahun di Jalur Gaza Utara menderita kekurangan gizi akut. Sebanyak 28% anak di bawah usia 2 tahun di Khan Younis, daerah Gaza Tengah mengalami malnutrisi akut dengan lebih dari 10 persen di antaranya mengalami kekurangan gizi parah. Sebanyak 10% anak di bawah usia 2 tahun di Rafah, daerah Gaza Selatan mengalami malnutrisi akut.
3. Kehidupan Sehat Sejahtera
Hidup dalam kerangka pengungsian (1,7 juta dari total 2,1 juta penduduk di Gaza merupakan pengungsi Palestina). Lebih dari 150.000 orang di wilayah Palestina telah terjangkit penyakit kulit dalam kondisi kumuh yang dialami orang-orang yang mengungsi di daerah kantong itu sejak dimulainya perang Israel di Gaza.
Lebih dari 34.000 warga Gaza (72% adalah wanita dan anak-anak) meninggal dalam kurun waktu 200 hari Thufanul Aqsa. Hampir 85% dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi dan lebih dari 14.000 anak-anak meninggal imbas bombardier Israel dalam 200 hari Thufanul Aqsa. Sekitar 62% pemukiman hancur akibat ledakan 75.000 ton bom dari Israel. WHO menginformasikan bahwa 96.417 kasus kudis sejak dimulainya perang di Gaza, 9.274 kasus cacar air, 60.130 kasus ruam kulit, 10.038 kasus impetigo, dan 450.000 kasus diare di Gaza.
4. Pendidikan Berkualitas
Laporan Juni 2024, sekitar 85% fasilitas pendidikan di Gaza hancur dan tidak bisa digunakan kata Kantor Media Gaza. Laporan Juni 2024, sekitar 800.000 peserta didik dari berbagai jenjang di Gaza terpaksa berhenti sekolah sebab intensnya agresi Israel.
Dalam kurun waktu 4 bulan, invasi brutal Israel membom 12 universitas di Gaza. Sekitar 378 sekolah telah hancur atau rusak. Kementerian Pendidikan Palestina telah melaporkan kematian lebih dari 4.327 siswa, 231 guru, dan 94 profesor.
5. Air Bersih dan Sanitasi Layak
Mengutip The Siege of Gaza’s Water, 90% suplai air di Gaza terkontaminasi sebab intrusi air laut, ekstraksi berlebihan, serta infiltrasi limbah dan bahan kimia. Penggunaan rata-rata 3 liter air per hari bagi warga Gaza (standar PBB adalah 15 liter per hari). Pabrik dan 65 stasiun pemompa limbah hancur sejak 7 Oktober 2023. Sebanyak 70% warga Gaza kini terpaksa minum air asin dan terkontaminasi langsung dari sumur.
Thumbnail source: Reuters