Sebentar lagi kita memperingati Hari Aksara Internasional ke-53. Yang jatuh pada tanggal 8 September 2017. Persoalan aksara dalam hal ini budaya baca-tulis seakan tak pernah selesai untuk ditanggulangi, menambah deretan panjang masalah yang tak kunjung terselesaikan di negeri ini.
Dinas pendidikan pun sibuk mengelar acara literasi dadakan dengan menghadirkan para penulis untuk ceramah mengkhotbahkan pentingnya budaya baca-tulis, siswa-siswi sekolah diundang untuk mengikuti lomba memeriahkan acara, tak lupa mengadakan bazar buku dadakan yang beberapa waktu ini digelar.
Namun semua itu terbatas pada seremonial literasi setengah hati. Setelah itu, para penulis kembali sepi sendiri tak dihargai, acara-acara literasi kembali sepi. Banyak peneliti membeberkan analisisnya berdasarkan prosentasi angka-angka. Namun jawabannya tetap sama, budaya baca tulis atau literasi masih dikalahkan oleh hobi menonton televisi yang miskin edukasi.
Saat masyarakat di negara lain melakukan aktivitas membaca melalui media elektronik e-reader atau earphone, bangsa kita masih tertatih-tatih meraba aksara. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi seakan kehilangan akal untuk menggalakkan minat membaca.
Padahal disadari atau tidak, sejatinya sebagian besar masyarakat Indonesia telah melakukan aktivitas membaca dan menulis setiap harinya. Hal ini dapat kita buktikan dari jumlah pemakai facebook di Indonesia setiap harinya.
Dalam satu hari semenjak bangun tidur hingga tidur lagi, entah berapa kali pemilik akun facebook dari remaja hingga para orang tua berkepala lima meng-update status atau sekedar membaca status dan mencolek temannya.
Seperti yang dilansir Liputan6.com(21 April 2017), Indonesia memasuki urutan ke-4 terbesar pengguna facebook di dunia, dengan 111 juta pengguna yang menunjukkan pesatnya pertumbuhan industri ICT (information technologi communication) di dalam negeri.
Hal ini sebenarnya merupakan angin segar bagi pegiat literasi. Semestinya pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan menangkap kecenderungan gaya hidup remaja ini. Sekolah-sekolah misalnya, ketimbang merazia handphone siswa dengan dalih mengganggu proses pembelajaran dan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, alangkah lebih bijak apabila memanfaatkannya kehadiran facebook sebagai media pembelajaran bagi siswa. Apalagi facebook via ponsel kini begitu mudah diakses dengan harga murah bahkan gratis. Dengan pemanfaatan teknologi sebenarnya pendidikan bisa murah dan mudah.
Ada beberapa konten facebook yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembelajaran. Pertama, Sebelum memulai pelajaran misalnya seorang guru bisa menganjurkan muridnya untuk menulis status inspiratif berkaitan dengan pelajaran yang telah diterimanya—semacam konklusi materi pelajaran minggu sebelumnya, kemudian membahas status paling menarik itu bersama-sama sebelum memasuki materi selanjutnya.
Hal ini selain untuk melatih kecerdasan berbahasa juga melatih daya ingat siswa. Kedua, guru bisa menugaskan pekerjaan rumah (PR) dengan menyuruh siswa-siswinya agar mengupload tugasnya di catatan facebook dengan men-tag teman sekelasnya.
Terutama guru bahasa Indonesia punya keleluasaan memanfaatkan fasilitas note facebook untuk mengomentari karya tulis muridnya berupa esai, cerpen atau puisi. Karena proses pendidikan sejatinya menurut William Butler, bukan mengisi keranjang kosong melainkan menyalakan sebuah api. Bukan memberi ikan siap santap melainkan kail pancing.
Sehingga, dengan begitu pendidikan bisa memanfaatkan media apapun yang sedang digandrungi oleh kaum remaja. Hal ini, tentu sulit apabila hendak diterapkan di sekolah-sekolah terpencil di perkampungan yang jauh dari akses teknologi.
Setidaknya, saya ingin mengatakan bahwa pendidikan mesti menjadi sesuatu yang menggembirakan sekaligus membanggakan bagi siswanya. Kita patut berkaca pada keberhasilan Muhammad Yahya Harlan pada usianya yang terbilang belia ia telah mampu membuat jejaring sosial sendiri yang menyerupai facebook yakni salingsapa.com dan meraup keberkahan dari usahanya. Hal ini tentu tak terlepas dari peran kedua orangtuanya yang memberi kebebasan pada sesuatu yang menjadi hobi anaknya. Begitu banyak Harlan Harlan lainyamesti terkubur bakatnya lantaran tak diberi kesempatan mengasah dan mengembangkan potensinya.
Dengan memanfaatkan facebook sebagai media pembelajaran, setidaknya para pelajar sebagai ujung tombak generasi muda yang wajib melek baca-tulis menjadi terarahkan sekaligus tercerahkan. Sehingga facebook tidak lagi sekadar tempat curhat aktivitas keseharian yang diposting tanpa makna.
Melainkan ajang berkarya dan unjuk kreativitas yang membuat kaum remaja bangga. Dengan begitu kedepannya diharapkan tak ada lagi pemberitaan perempuan hilang lantaran dibawa kabur saat ketemuan setelah mendapat rayuan gombal teman facebooknya. aktivitas membaca dan menulis di facebook pun jauh menjadi lebih bermanfaat.