Rabu, Agustus 6, 2025

Elden Ring dan Metafora Berperang Demi Tuhan

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer dan pengajar. Aktif menulis dan mengomentari.
- Advertisement -

Gim Elden Ring bukan hanya soal menamatkan salah satu gim AAA dengan tingkat kesulitannya yang tidak wajar, tetapi refleksi atas perang dan ekspansionisme agama dalam ceritanya yang mencerminkan kerapuhan sosio-kultural kehidupan beragama masyarakat Indonesia.

Dari Golden Order ke Masyarakat Religius

Dalam gim, pemain akan diperkenalkan dengan Golden Order, yaitu semacam ajaran filosofis dan teologis, dengan ajaran utama “ketertiban” dan “kausalitas”, yang mendominasi Lands Between, nama dunia di Elden Ring. Kelompok pemujanya dikenal sebagai fundamentalis. Perlu diketahui, keberhasilan ajaran Golden Order untuk menguasai tanah tersebut, bukan hanya sekadar ceramah, tetapi melalui perang dengan bangsa dan penganut keyakinan lain di sana.

Singkat cerita, Golden Order berhasil menguasai tanah tersebut dan akhirnya ketertiban ditegakkan pasca kekerasan yang dilakukan. Persoalannya, semua perang berdarah yang terjadi, justru dilakukan sebagai wujud ekspansionisme Golden Order. Padahal, sebelum adanya kehadiran mereka, berbagai bangsa dengan keyakinannya tidak berkonflik, bahkan cenderung pasifis dan terbatas. Bahkan, beberapa di antaranya saling bekerja sama dalam ilmu pengetahuan, seperti tercermin antara para akademisi Lucaria yang memuja bulan dengan bangsa para raksasa yang memuja Fell God, dewa api.

Sekilas, kisah di atas memang tidak mirip, namun realitas masalah kerukunan nampak terpancar dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat yang mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan pelanggaran hukum demi “menjaga keimanan”. Wajar, bila Menteri Agama era Presiden Prabowo, Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa perlu adanya kewaspadaan pada ujaran kebencian bertemakan agama, seperti alang-alang yang disiram bensin, seperti dikutip dari artikel Saputra (2025) berjudul “Ujaran Kebencian Berbasis Agama Paling Menyulut Konflik” pada laman Tempo.co.

SETARA Institute (2025) dalam siaran persnya, melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024, tercatat ada 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Artinya, meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. Pelakunya berasal dari aktor negara dengan 159 tindakan, dan 243 tindakan dilakukan oleh aktor non negara. Masalah ini bukan hanya menyedihkan, tapi mencederai falsafah Pancasila dan menandai rapuhnya ketahanan sosial masyarakat.

Aksi-aksi intoleran, seperti: pengerusakan dan intimidasi peserta retret pelajar di Cidahu, Sukabumi; penolakkan pembangunan masjid di Molompor II, Minahasa Tenggara; atau, aksi intoleran terhadap kelompok Syiah di Grand Ballroom La Gardena Kopo Square, Bandung, adalah wajah ketidakrukunan yang gagal diselesaikan masyarakat dan negara.

Masalah yang tidak pernah usai kian memperkuat dugaan adanya sentimentalitas keagamaan, di tengah kemerosotan moral dan buruknya kualitas pendidikan tanah air. Kombinasi yang membuat masyarakat cenderung lebih emosional daripada rasional dalam menghadapi perbedaan dalam keyakinan.

Mana yang Harus Dibenahi?

Kisah di gim Elden Ring mengingatkan saya kepada karya terkenal Karen Armstrong (2000) berjudul “The Battle for God”. Tesisnya sederhana, agama merupakan instrumen untuk menjustifikasi kekerasan atas nama Tuhan. Namun, ia memberikan catatan menohok, bahwasanya manusia modern hari ini tidak bisa beragama dengan cara sama seperti nenek moyang, dan perlu adanya orientasi ke masa depan yang mempertemukan rasionalisme-spiritualitas dalam panggung pencarian kebenaran. Pertarungan hari ini, seharusnya lebih dari sekadar berperang demi Tuhan—walau Tuhan tidak perlu dibela oleh manusia—melainkan berperang menjadi manusia yang lebih berguna.

Berkaca kembali kepada realitas masyarakat Indonesia yang religius namun mudah terprovokasi dalam isu keagamaan, ini cukup membingungkan. CEOWORLD Magazine (2024) melaporkan bahwa dari 148 negara yang disurvei, Indonesia merupakan negara paling religius ke-7 di dunia dan tertinggi di Asia Tenggara. Pada saat yang sama, sikap-tindakan religiusitas tidak tercermin dalam kehidupan, dalam konteks kekerasan dan sentimen keagamaan, seolah adanya pertentangan antara nilai-nilai keharmonisan dalam agama dan ketidakerukunan para penganutnya. Saya melihat bahwa akar persoalannya ada pada masyarakat secara sosio-kultural dan struktur hukum-politik bangsa.

Sosio-kultural masyarakat kita yang rapuh dan mudah terprovokasi isu keagamaan merupakan bukti gagalnya pendidikan yang terbuka dan inklusif, sehingga membuat luaran dari karakter masyarakat kita cenderung sinis menghadapi perbedaan dan keragaman. Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman suku-bangsa mencapai kurang lebih 1300 suku, dengan berbagai bahasa, keyakinan, dan adat-istiadat. Cerita-cerita mengenai ujaran kebencian yang justru disebar oleh para pendidik, kian menambah kekhawatiran bahwa kebencian ini justru ditanamkan secara struktural melalui pengajaran yang keliru total. Maka, belajar secara terbuka akan memperluas cara pandang masyarakat dalam keragaman.

- Advertisement -

Selain dari aspek masyarakat dan pendidikan karakter, penggunaan agama sebagai instrumen politik dan hukum pun menjadi salah satu faktor polarisasi keagamaan. Misalnya, implementasi Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama. Aturan kuno tersebut mewujud menjadi sumber konflik karena mengakibatkan penafsiran agama yang cenderung sempit dan kerap digunakan sebagai “pasal karet” untuk laporan penistaan agama di Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pencabutan aturan potensial memecah belah dan sosialisasi kerukunan antarumat adalah penting dilakukan.

Oleh karena itu, menahan diri bagi semua pihak dan berpikir sejenak untuk mengevaluasi diri adalah kunci keselamatan bangsa dari disintegrasi. Sentimentalitas dan ketidakdewasaan bangsa dalam menghadapi masalah KBB adalah kurangnya kualitas diri untuk berliterasi. Maka, jika gim Elden Ring merupakan ilustrasi dari Berperang Demi Tuhan dan legalitas atas kekerasan demi ketertiban, maka realitas yang perlu diwujudkan adalah berperang melawan egoisme diri melalui penataran kualitas literasi yang lebih mumpuni.

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer dan pengajar. Aktif menulis dan mengomentari.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.