Jumat, April 26, 2024

Eksploitasi Pengemudi dan Gemerlap Transportasi Online

Alih Nugroho
Alih Nugroho
Belajar dan mengajar di STIA LAN Jakarta. Tertarik dengan isu ekonomi-politik perburuhan.

Jasa transportasi berbasis daring menjadi fenomena yang mampu menarik perhatian masyarakat. Kemunculannya menjadi sepeti oase di padang gurun. Jumlah armadanya pun tumbuh subur.

Pada tahun 2018, menurut Nadiem Makarim, jumlah pengemudi transportasi daring tembus di angka 1 juta orang yang tersebar di 50 daerah di Indonesia. Di Jakarta saja, menurut data dari Perwakilan Masyarakat Transportasi menyerap 500.000 pekerja. Ini berarti pengendara Gojek sudah menyerap lima persen penduduk Jakarta.

Layanan yang dimiliki Gojek dipakai secara aktif oleh 15 juta orang setiap minggunya. Setiap bulannya, lebih dari 100 juta transaksi terjadi di platform Go-Jek (Kompas, 18/12/2017). Angka pertumbuhan yang fantastis mengingat keberadaannya belum ada sewindu.

Namun, fenomena tersebut nyaris tanpa regulasi yang memayungi. Terlebih pada hubungan industrial yang terbentuk. Padahal, kejelasan hubungan industrial merupakan sesuatu yang krusial. Kaitannya dengan hak dan tanggungjawab antar kedua subyek. Alfanya regulasi yang menjadi jaring pengaman menjadikan posisi pengemudi menjadi rentan dan rawan dieksploitasi.

Apalagi menurut Bernstein (2007) pekerjaan yang tidak stabil dari segi upah maupun keamanan kerja menjadi trend ekonomi kontemporer. Ditambah lagi trend pengubahan pekerjaan formal menjadi informal masif terjadi (Harvey, 2007).

Akibatnya, terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi. Pada November 2015, demo driver dipicu oleh penurunan tarif, dari 0.25$ menjadi 0.23$ per kilometer. Pada akhir tahun 2015 demo kembali terjadi dengan skala yang lebih besar dan luas. Penyebabnya yaitu banyak driver yang diputus hubungan “kemitraan” secara sepihak karena dianggap melanggar peraturan dengan melakukan order fiktif.

Demo besar kembali terjadi pada akhir 2016. Ribuan driver memadati ruas Jakarta. Menurut The Jakarta Post (3/10/2016), penyebabnya adalah penurunan tarif secara simultan, dari 4.000 menjadi 3.000, dan akhirnya menjadi 2.000 per kilometer. Selain itu pihak Go-Jek juga mencoba menghilangkan bonus.

Pada 2017 awal, demo besar yang melibatkan ribuan driver Gojek kembali terjadi. Penyebabnya yaitu tarif dasar yang fluktuatif serta disinyalir ada kecurangan dalam penghitungan bonus sehingga merugikan driver (Nastiti, 2017). Gelombang demo yang dilakukan oleh pengemudi merupakan reaksi atas perubahan kebijakan dari Go-Jek.

Terbaru, dua hari berturut-turut, Selasa dan Rabu (27-28/03/2018) ribuan pengemudi transportasi online menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara. Sehari sebelumnya, di Medan juga terjadi aksi serupa. Ratusan pengemudi ojek online lintas platform menggelar aksi di depan kantor Go-Jek dan Grab di Komplek CBD Polonia (26/3/2018).

Ilusi kebebasan di balik “kemitraan”

Perusahaan jasa transportasi daring baik Gojek, Grab, maupun Uber  menyebut pengemudi dengan sebutan “mitra”. Hubungan kemitraan menjadikan seakan-akan terjalin interaksi yang setara dan pengemudi dapat menentukan berapa banyak uang yang akan mereka hasilkan, kapanpun mereka mau.

Kondisi ideal tersebut nampaknya sulit ditemui penerapannya di lapangan. Memang benar bahwa pengemudi dapat memutuskan untuk mematikan aplikasi kapanpun mereka mau. Namun kenyataan tak sesederhana itu.

Sesudah masuk ke dalam aplikasi, menurut Nastiti (2017) program tersebut mengontol pengemudi, dari mulai ke mana mereka pergi, pesanan apa yang mereka ambil, pilihan pekerjaan dating hanya dalam hitungan detik. Pengemudi hanya memiliki waktu 10 detik untuk memilih “terima” atau “menolak” order yang ditujukan pada mereka.

Tarif yang dipasang cenderung rendah (Rp 1.000-2.000 perkilometer untuk ojek) sehingga tidak mencukupi menutupi kebutuhan hidup. Kebanyakan pdriver bergantung pada bonus harian sebagai pendapatan utama. Bonus diberikan berdasarkan poin. Agar bisa mengambil bonus, driver harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan dan mendapatkan rating 4,5 dari penumpang.

Kerja pengemudi tidak sesederhana menjemput dan mengantar penumpang, namun ada permainan matematika yang harus terus dipikirkan. Mulai dari mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapat upah yang cukup.

Menurut seorang pengemudi, untuk mendapatkan penghasilan yang cukup mereka harus bergantung pada sistem bonus. Untuk pengemudi Gojek, 20 penumpang akan dikonversi menjadi 20 poin yang berarti bonus sebesar Rp 90.000.

Masalahnya, untuk mendapatkan bonus tiap harinya pengemudi harus bekerja lebih dari 12 jam. Dalam konsep sosiologi modern, menurut Michael Burawoy (1979) terjadi gamifications of work, kerja yang menyerupai permainan.

Seakan-akan tidak ada paksaan (flexibility), namun sebenarnya ada banyak peraturan (rule of the game) yang “mengikat”. Roethlisberger and William Dickson (dalam Burawoy, 1979:79) mengatakan bahwa pekerja memiliki aturan dan “logika” sendiri dalam bekerja. Burawoy (1979:86) melanjutkan bahwa game yang dibuat yaitu pola untuk mengalahkan diri sendiri, dengan reward dan capaian bonus yang ditetapkan oleh perusahaan.

Keadaan tersebut menjadikan pekerja mengalami “prisoner’s dilemma”, yaitu keinginan individual pekerja untuk mendapatkan penghasilan semaksimal mungkin seperti jika dikerjakan secara kolektif. Padahal semakin lama semakin banyak yang ikut bermain “game”. Sehingga permainan menjadi semakin sulit dan terjadi kebuntuan.

Menggugat aturan kemitraan

Posisi pengemudi yang rawan serta bertambahnya kesewenang-wenangan perusahaan dalam mengubah aturan main menjadi bola salju resistensi. Ketidakadilan yang dirasakan setiap hari serta dengan kondisi dimana permainan semakin sulit dan insentif semakin turun, maka muncul kesadaran kritis dari pengemudi. Pengemudi mulai menggugat aturan main di bawah dalih “kemitraan”.

Aturan tersebut menihilkan perjanjian kerja “rigid” yang mengikat seperti pekerja formal dengan perjanjian kontrak misalnya. Dengan karakteristik yang melekat seperti “pekerjaan yang tidak menentu : jam kerja, kontrak kerja, jaminan kerja, lingkup kerja, atau secara umum dapat diartikan pekerja yang rawan maka bisa digolongkan sebagai kelompok pekerja informal. Terjadi informalisasi pekerja.

Perbedaannya menurut Habibi (2017) yaitu pekerja formal memainkan fungsi ‘pekerja aktif’ di sektor inti kapital dan relatif memiliki kepastian kontrak kerja. Sementara pekerja informal berperan sebagai ‘tentara cadangan pekerja’ yang harus bekerja di sektor yang tidak aman dan rawan, dan berada di luar sektor inti system ekonomi modern.

Selain itu pengemudi mulai kritis terhadap apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan hanya menguntungkan perusahaan. Potongan (atau disebut biaya aplikasi) yang dibebankan terlalu besar. Setiap pengemudi jika ingin mengakses aplikasi harus deposit dulu sejumlah uang. Setelah itu setiap transaksi dipotong 20% oleh pemilik aplikasi. Padahal biaya produksi semua ditanggung oleh pengemudi.

Mulai dari penyediaan unit transportasi, perawatan, bahan bakar, sampai biaya paket internet dan pulsa semua ditanggung oleh pengemudi. Praktik yang terjadi adalah sharing profit but not sharing cost of productions.

Ketidakadilan yang dialami pengemudi harus segera di atasi. Jika tidak maka pengemudi hanya akan menjadi sapi perah.

Alih Nugroho
Alih Nugroho
Belajar dan mengajar di STIA LAN Jakarta. Tertarik dengan isu ekonomi-politik perburuhan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.