Tak terelakkan, korupsi masih menjadi perkara yang menarik untuk dibicarakan terkhusus dalam era pandemi seperti saat ini. Bagaimana tidak, korupsi merupakan hal yang sangat merugikan karena menyangkut uang rakyat serta harta negara yang seharusnya digunakan dengan baik sesuai kehendak rakyat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial maupun individu baik dalam hal pendapatan, prestis dan kekuasaan.
Mengingat bahwa kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus ditangani secara luar biasa dan tentunya dengan hukuman yang luar biasa pula, hal ini secara gamblang telah dibunyikan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Undang-Undang tersebut, korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan dan gratifikasi. Dalam penjelasannya antara lain dinyatakan bahwa “pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa”. Dalam rangka pemberantasan korupsi perlu dilakukan penegakan secara terintegrasi, adanya kerja sama internasional dan regulasi yang harmonis.
Sebagai konsekuensi dari kejahatan tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga, serta pimpinan unit organisasi kementeian 36 negara/lembaga yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-Undang tentang APBN yang bersangkutan.
Selain itu, perlu ditegaskan pula prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dibawah kepengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara yang dimaksud merupakan unsur pengendalian unsur pengendalian intern yang andal dalam bidangnya.
Mengambil Celah Pandemi sebagai Ajang Korupsi
Berbicara mengenai korupsi di Indonesia tentu tidak lepas dari serangkaian kasus fenomenal seperti yang belum lama ini terjadi, yakni kasus korupsi dana bansos pandemi Covid-19 oleh eks Menteri Sosial, Juliari Batubara. Dalam sidangnya, jaksa menyatakan Juliari terbukti menerima suap Rp 32,2 miliar dari korupsi bansos yang diterima dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. Jatah bansos yang mestinya utuh diterima warga ditilap tiap paketnya.
Jaksa mengatakan uang itu diberikan agar pihak yang memberikan uang ditunjuk menjadi penyedia sembako bansos Covid-19. Sempat terlintas di pikiran, bagaimana bisa seorang Menteri Sosial yang pada hakikatnya bertugas untuk memberi jaminan sosial, pemberdayaan sosial serta perlindungan sosial kepada rakyatnya justru membuat rakyatnya semakin menderita diatas kemiskinan, terlebih pada masa pandemi yang serba sulit ini.
Menimbang putusan 11 tahun penjara terhadap kasus Juliari, Maqdir Ismail menilai ada yang tidak pas dalam proses tersebut dan merasa pertimbangan dalam putusan kurang tepat. Menurutnya, ada beberapa pertimbangan seharusnya lebih dilihat lagi oleh hakim tetapi tidak diperhatikan lebih lanjut. Tuntutan yang diterima oleh terdakwa Juliari lebih dikaitkan dengan jabatan bukan perbuatan pidananya.
Berdasarkan bukti dan keterangan saksi dalam persidangan, yang menjadi persoalan pokok Juliari dihukum karena didakwa menerima sejumlah uang. Para saksi di persidangan pun memberikan pengakuan menerima sejumlah uang. Lebih lanjut, berdasarkan pengakuan dan tidak ada bukti lain yang membuktikan memang betul adanya penerimaan sejumlah uang tersebut membuat Maqdir merasa kurang tepat dengan adanya pengakuan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya untuk menghukum dengan hukuman yang tinggi terhadap Juliari.
Kurangnya Komitmen Pemberantasan Korupsi
Tak semudah yang diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Tetapi dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Pada masa pemerintahan Soeharto dikeluarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan korupsi :
- GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara;
- GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
- Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
- Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
- Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Terlepas dari apapun rezimnya dan siapapun pemimpinnya, rakyat Indonesia tetap menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan korupsi. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan.