Rabu, Desember 31, 2025

Eksistensi Kierkegaard dalam Memahami Hidup yang Fana

Heigar Muhamad Pentari
Heigar Muhamad Pentari
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam
- Advertisement -

Di tengah masyarakat Indonesia hari ini, kehidupan bergerak dalam pusaran kecepatan dan tuntutan pencapaian. Ukuran keberhasilan semakin disempitkan pada indikator-indikator material seperti stabilitas ekonomi, status sosial, gelar akademik dan pengakuan publik, terutama di ruang-ruang digital. Media sosial mempercepat proses ini, membentuk ilusi bahwa hidup harus selalu tampak berhasil, bahagia dan produktif. Dalam situasi semacam itu, pertanyaan mendasar tentang makna hidup justru sering dianggap tidak relevan, bahkan mengganggu. Padahal, di balik gemerlap pencitraan tersebut, banyak individu yang khususnya pada generasi muda sering mengalami kegelisahan, kekosongan, dan krisis arah hidup.

Di sinilah pemikiran Søren Kierkegaard menemukan momentumnya. Kierkegaard tidak menawarkan resep kebahagiaan instan, tetapi mengajak manusia berhadapan secara jujur dengan eksistensinya sendiri. Ia berbicara tentang manusia yang hidup dalam keterbatasan waktu, dalam kefanaan, dan dalam ketegangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Bagi Kierkegaard hidup yang fana bukan sekedar fakta biologis, melainkan pengalaman eksistensial yang harus disadari dan dihayati secara personal.

Kierkegaard menolak kecenderungan filsafat yang terlalu sibuk membangun sistem besar dan abstrak. Menurutnya, persoalan utama filsafat bukanlah “apa itu manusia” secara umum, melainkan “bagaimana aku harus hidup” sebagai individu konkret. Eksistensi manusia selalu bersifat subjektif, dialami secara personal, dan tidak dapat sepenuhnya diwakilkan oleh norma sosial atau struktur institusional. Di Indonesia sendiri, kritik ini terasa relevan ketika individu sering kali dituntut menyesuaikan diri dengan standar sosial, keluarga, adat, agama, bahkan negara dengan tanpa adanya ruang refleksi personal yang memadai.

Kesadaran akan kefanaan menjadi kunci dalam memahami eksistensi menurut Kiekegaard. Hidup manusia terbatas, tidak dapat diulang, dan selalu bergerak menuju kematian. Namun, alih-alih melihat kematian sebagai sesuatu yang tabu atau menakutkan, Kierkegaard justru memandangnya sebagai horizon yang memberi bobot pada kehidupan. Tanpa kesadaran akan akhir, hidup mudah jatuh menjadi rutinitas kosong. Dalam masyarakat di Indonesia yang sering memaknai hidup sebatas “menjalani kewajiban” atau “mengikuti arus” kefanaan justru disembunyikan di balik kesibukan dan distraksi.

Salah satu konsep penting Kierkegaard adalah kecemasan (angst). Kecemasan muncul bukan karena manusia lemah, melainkan karena ia bebas. Kebebasan membuka kemungkinan dan kemungkinan selalu mengandung risiko. Di Indonesia sendiri hari ini, kecemasan banyak dialami oleh generasi muda seperti cemas tidak mendapat pekerjaan, cemas tertinggal secara sosial, cemas tidak memenuhi ekspektasi keluarga. Sayangnya, kecemasan ini sering direduksi menjadi sekadar masalah mental individu, tanpa disadari sebagai gejala eksistensial dari kebebasan yang tidak disertai refleksi makna.

Bagi Kierkegaard, kecemasan justru menjadi titik awal kesadaran diri. Ia memaksa individu berhenti sejenak dan bertanya tentang arah hidupnya. Dalam lingkar masyarakat yang menuntut kepastian seperti kepastian ekonomi, kepastian status, kepastian masa depan, jadi pemikiran ini terasa mengganggu. Namun justru di situlah kekuatannya. Kierkegaard mengingatkan bahwa hidup tidak pernah sepenuhnya pasti, dan upaya menutupinya dengan kepastian palsu hanya akan melahirkan kehampaan baru.

Kierkegaard juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai kerumunan (the crowd). Kerumunan, menurutnya adalah bentuk eksistensi yang tidak otentik, karena individu kehilangan tanggung jawab personal dan menyerahkan hidupnya pada opini mayoritas. Kritik ini sangat relevan dalam konteks Indonesia kontemporer, di mana tekanan sosial secara baik melalui norma budaya maupun media sosial yang sering membuat individu takut berbeda. Keputusan hidup, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga pilihan hidup personal, kerap ditentukan oleh “kata orang”.

Dalam kerumunan, kefanaan hidup menjadi kabur. Individu merasa aman karena “semua orang juga begitu”. Namun Kierkegaard menegaskan bahwa justru dalam kesendirian eksistensial adalah ketika individu berani berdiri sendiri sehingga manusia benar-benar berharap dengan makna hidupnya. Kesendirian ini bukan isolasi sosial, melainkan keberanian untuk bertanggung jawab atas pilihan sendiri.

Untuk memahami dinamika ini, Kierkegaard menawarkan tiga tahap eksistensi yakni: estetis, etis, dan religius. Tahap estetis ditandai oleh pencarian kesenangan dan pengalaman instan. Dalam masyarakat konsumtif dan digital seperti Indonesia hari ini, tahap ini sangat dominan yaitu hidup diukur dari kenikmatan, hiburan, dan citra diri. Namun, tahap ini rapuh. Ketika kesenangan memudar, yang tersisa adalah kehampaan.

Tahap religius merupakan puncak eksistensi menurut Kierkegaard. Iman di sini bukan sekadar kepatuhan formal, melainkan hubungan personal yang penuh risiko dengan yang Absolut. Iman menuntut lompatan, keberanian untuk percaya di tengah ketidakpastian. Dalam masyarakat Indonesia yang religius secara formal, pemikiran ini menjadi kritik halus terhadap keberagamaan yang hanya berhenti pada ritual dan identitas, tanpa pergulatan batin yang jujur.

- Advertisement -

Melalui Kierkegaard, kita diajak memahami bahwa hidup yang fana bukanlah musuh dari makna, melainkan syaratnya. Kesadaran akan keterbatasan waktu mendorong manusia untuk hidup secara autentik, tidak menunda-nunda menjadi dirinya sendiri. Dalam konteks krisis makna yang dialami banyak anak muda Indonesia hari ini, pemikiran Kiekegaard menawarkan refleksi yang mendalam bahwa hidup bukan soal “tampak berhasil”, melainkan soal keberanian memilih dan bertanggung jawab atas pilihan itu.

Menempatkan refleksi ini di ruang publik intelektual seperti media tulis menurut pribadi menjadi penting. Karena di tengah diskursus politik, ekonomi, dan teknologi, pertanyaan eksistensial sering kali terpinggirkan. Padahal, tanpa adanya refleksi tentang makna hidup, pembangunan dan kemajuan justru berisiko memperdalam kehampaan manusia modern.

Pada akhirnya, Kierkegaard mengingatkan kita bahwa menjadi manusia berarti berani hidup dalam kesadaran dan kefanaan. Hidup yang sungguh-sungguh bukan hidup yang bebas dari kecemasan, melainkan hidup yang berani menghadapinya. Dalam keberanian itulah, manusia Indonesia hari ini dapat menemukan kembali makna hidup, bukan sebagai warisan sosial, tetapi sebagai pergulatan eksistensial yang personal.

Referensi:

  • Søren Kierkegaard, Either/Or, terj. David F. Swenson & Lillian Marvin Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1959).
  • Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (Princeton: Princeton University Press, 1980).
  • Søren Kierkegaard, The Point of View for My Work as an Author (Princeton: Princeton University Press, 1998).
  • Søren Kierkegaard, Either/Or, Bagian I–II.
  • Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, terj. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985).
  • K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2001).
  • F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004).
  • Robert C. Solomon, Existentialism (Oxford: Oxford University Press, 2005).
Heigar Muhamad Pentari
Heigar Muhamad Pentari
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.