Jumat, April 26, 2024

Eksil, Eks Tapol dan Usaha Merawat Kewarasan

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Surat dari Praha yang menceritakan tentang eksil dengan segala cinta serta tetap Indonesia walaupun terbuang dari negerinya. Dalam film yang diproduseri oleh Glenn Fredly, saya melihat tentang  kisah para muda-mudi beruntung yang dahulu diberikan beasiswa oleh Bung Karno. Mereka ke luar negeri bukan untuk sekedar kuliah, namun dibebani harapan agar kelak dapat membangun negeri yang baru merdeka. Naas memang, di penghujung september kisah ceria itu sirna.

Takdir berkata lain, Bung Karno harus rela tersungkur dari pucuk pemerintahan, akibat gejolak politik dahsyat yang melanda negeri Indonesia. Rencana pelurusan soal isu “dewan jendral” yang dieksekusi oleh perwira muda dengan dukungan elemen pro-Soekarno, termasuk kuminis tenyata gagal. Hancur leburlah mereka, hingga tak tersisa sekarang. Bahkan pahit bagi mereka yang kuminis, sampai anak cucunya mendapatkan bullying sepanjang tahun. Parahnya sampai kuburan, gambar, hingga bekas jalan kuminis begitu terasa menakutkan.

Saat itu juga mereka para muda-mudi harapan bangsa, dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Pulang ke tanah air disambut jeruji besi atau menetap di negeri nan jauh disana tanpa sanak famili. Kebanyakan dari mereka tampakbya lebih memilih tetap di luar negeri karena gejolak 65 diluar batas imajinasi mereka. Lebih baik tinggal di negeri orang, daripada harus menghianati Bung Karno ataupun ideologi mereka dengan tunduk pada rezim Soeharto.

Kondisi semakin pelik, bayangkan saja mereka terlunta-lunta tanpa identitas. Pilihan mereka berimbas pada tindakan keras oleh rezim berkuasa, paspor mereka di blacklist oleh Soeharto. Mereka kemudia dicekal dan dipaksa mengasingkan diri, bahkan secara tidak lansung mereka buronan rezim karena dianggap berbahaya.

Beberapa gambaran kepedihan tersebut saya jumpai, ketika menonton film surat dari Praha, pulau Buru tanah air mata beta dan ngobrol dengan beberapa eks Buru. Sungguh membuat mata saya berkaca-kaca, banyak dari mereka yang meninggal disana, berpisah dengan keluarga dicintainya. Sungguh mereka secara fisik bebas tetapi batin mereka terpenjara, tersiksa, mengalami guncangan psikis yang amat dalam.

Kesepian, tak jarang saya mulai meidentifikasikan diri sebagai mereka, membayangkan  jauh dari berpisah dari keluarga, terpisah jauh dari kesayangan, hingga terasing di negeri orang. Sesuatu hal yang sangat berat untuk dijalani, hidup berat dengan stigma pengacau negeri. Perlu memiliki mental baja untuk menjadi seperti itu.

Berdasarkan penuturan dari mereka, tak sedikit para eksil bertahan dengan prinsip mereka karena loyal kepada Bung Karno, ideologi, hingga bentuk ketakutan karena akan ditangkap dan diadili jika pulang ke tanah air. Bagi mereka eks tapol tak sedikit yang tetap teguh pada prinsipnya, terus menyuarakan keadilan yang mereka yakini. Karena hak hidup mereka terampas oleh kebengisan rezim orde baru.

Bayangkan saja jika kita menjadi mereka, terlunta-lunta sekian lama di negeri orang yang asing bagi mereka, sekian lama tanpa kewarganegaraan hingga akhirnya menjadi warga negara sana. Terpisah dari kekasih tercinta, rumah dan tanah diambil paksa oleh beberapa pihak. Tak dianggap manusia di negeri sendiri, padahal memiliki sumbangsih yang cukup signifikan pada ibu pertiwi. Itu sungguh menyakitkan, dan hanya sedikit orang yang memahami.

Berbicara soal nasionalisme, jangan pikir mereka tidak cinta bumi pertiwi, tapi keadaan memaksa mereka meninggalkan jauh-jauh harapan membangun negeri. Jangakan yang terpisah jauh, di dalam negeri saja mereka dilucuti pemikirannya karena dianggap penganggu bagi rezim.

Pemerintah hingga hari ini masih ketakutan entah apa yang ditakuti (semacam paranoid atau mungkin phobia). Mereka para eksil dan eks tapol sungguh miris jiwa dan raga, namun hebatnya dalam lubuk hati terdalam jiwa mereka tetap merah putih, walaupun terjebak oleh situasi yang sangat pelik.

Jangan dikira mereka lupa diri, para eksil itu banyak yang akhirnya pulang kampung halaman. Baik untuk sekedar ziarah ke orang tua ataupun mengobati rasa kangen pada keluarga. Mereka orang Indonesia, namun mirisnya harus pulang ke tanah kelahiran dengan status turis. Tidak cukup itu saja, mereka dimata-matai, hingga menjadi target operasi anti komunis dari aparatur keamanan negara.

Seperti yang dialami Bung Tom Iljas beberapa waktu lalu, dia harus rela di deportasi oleh negara asalnya sendiri. Hanya karena dituduh ingin membuat film dokumenter makar, yang sampai detik ini tidak dapat dijelaskan oleh pihak terkait akan kebenarannya. Padahal niat awal beliau hanya ingin ziarah ke makam bapaknya yang puluhan tahun tidak ditemukan dimana makamnya.

Sampai akhirnya beliau menemukan makam ayahnya yang kini menjadi sebidang lahan milik seseorang, perlu diketahui jika bapak dari Bung Tom Iljas juga korban kebengisan peristiwa naas tersebut. Sungguh ironis memang, kisah para eksil yang terusir dari negerinya sendiri, kesepian tanpa keluarga dan menderita luka psikis yang teramat perih.

Jika hanya dibandingkan dengan para reformis palsu, yang menderita karena penjara orba namun sekarang menjadi bagian dari rezim reformasi yang tak beda dengan model orba. Soal kecintaan pada tanah air, mereka tidak ada apa-apanya.Jangan bandingkan dengan para eksil ataupun eks tapol yang terbukti lebih peduli soal ibu pertiwi daripada mereka. Nasib mereka juga tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan asmara pemuda-pemudi atau para artis yang dengan mudahnya putus cerai.

Kesepian mereka lebih dibandingkan dengan seorang jomblo akut, yang lama sekali tak mempunyai pasangan. Atau jangan bandingkan dengan SBY yang berkali-kali jumpa fans curhat terkait fitnah yang diterimanya, hingga memasang muka sedih luar biasa. Jujur mereka lebih nasionalis dari para pendukung Jokowi, yang sedikit-sedikit merasa tersinggung menunjukan amarahnya ketika idola mereka dituduh menjadi biang semrawutnya negeri ini.

Mereka lebih dari sekedar itu, fitnah, hingga tuduhan komunis hina menjadi pil pahit bagi mereka. Dijauhkan dari keluarga, kekasih tercinta, anak tercinta hingga angan-angan membangun negeri telah kandas. Tetapi mereka tetap teguh dan tabah, walaupun terasing di negeri sendiri ataupun di negeri orang mereka selalu mengikuti perkembangan Indonesia. Selalu produktif berkarya memberi sumbangsih pada bidang ilmu pengetahuan.

Lihat saja pak Sobron Aidit, Hersri Setiawan, Utuy Tatang Sontani, Sabar Anantaguna, Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida, Asahan Alham Aidit dll, yang dalam “pengasingannya” tetap membuahkan karya tentang kehidupan mereka, lingkungan sosial hingga bersinggungan dengan negeri tercinta ini, dan tentunya masih banyak lagi.

Sebagai generasi muda hendaknya belajar dari mereka, hidup di zaman serba mudah tetapi bermental lembek, pandai tapi tak berani bersikap, hingga ketakutan akan hidup serba susah jika berpihak pada suatu hal yang diyakini sebuah kebenaran. Mirisnya lagi kita sebagai generasi muda yang mempunyai akses lebih masih terperangkap dalam hegemoni budaya orba akan memandang suatu hal. Tidak mampu melihat secara objektif, atau menganalisa menggunakan metode berpikir utuh. Masih saja terpancing oleh sentimen, bahkan malas untuk membaca sejarah alternatif.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.