Limbah pangan terus menggunung, sementara jutaan perut masih menjerit dalam pedihnya kelaparan. Sebuah ironi pahit yang mencerminkan ketimpangan antara kelimpahan dan kekurangan.
Ungkapan “semua ada rezekinya” terkesan menjadi candu spiritual yang meninabobokan kegelisahan nurani, meredam panggilan untuk bertindak.
Di era ketika materialisme dijadikan sebagai kompas hidup, materi menjelma sebagai tolak ukur utama. Nilai-nilai sosial dan etika berbasis solidaritas kian tersisih. Lebih parah lagi, kesadaran akan tanggung jawab ekologis belum tumbuh utuh.
Membuang makanan dalam jumlah yang besar, tak lagi dianggap sebagai dosa ekologis, ia justru menjadi kebiasaan yang dilegalkan oleh budaya konsumtif.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, limbah makanan menjadi penyumbang terbesar timbulan sampah nasional, dengan tren yang terus meningkat.
Limbah pangan yang membusuk di tempat pembuangan akhir (TPA) akan menghasilkan metana (ch4). Nantinya, metana ini akan meemperparah krisis iklim dan pemanasan global.
Selain itu, sumber daya alam pun terbuang sia-sia, pencemaran air dan tanah yang berkontribusi pada ketidakseimbangan ekologis.
Menurut Nasr, krisis ekologi hari ini lahir dari adanya sebuah krisis spiritual. Pendekatan agama, khususnya Islam, dapat menghidupkan kembali etika lingkungan yang berlandaskan pada tauhid dan amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Mengabaikan limbah pangan, berarti meninggalkan ajaran Islam tentang syukur, keadilan sosial, dan tanggung jawab ekologis.
Persoalan ini bukan masalah modern, ia telah dahulu termaktub dalam Al-Qur’an surat Saba ayat 15-17. Ayat ini menceritakan kisah kaum Saba yang hidup dalam limpahan nikmat.
Alih-alih bersyukur, mereka lebih memilih kufur dengan perilaku pemborosan. Sehingga, Allah mengirim balasan berupa banjir bandang yang menghancurkan peradaban mereka.
Kisah ini tak hanya alegori sejarah, melainkan peringatan abadi. Kelimpahan tanpa kesadaran justru mengundang kehancuran.
Ayat ini memiliki relevansi dengan konteks Indonesia hari ini, di mana sebuah kelimpahan, justru dibayar dengan pemborosan yang destruktif.
Kerusakan ekologis yang kita saksikan hari ini sejatinya bukan hanya masalah teknis belaka, melainkan buah pahit dari krisis nilai, budaya, dan sistem yang telah lama menyimpang dari keseimbangan.
Kesadaran ini menuntun kita untuk lebih memahami batasan etis dan ekologis, serta meneguhkan kembali tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi.
Makanan dan minuman yang hadir di meja makan kita adalah buah dari kerja keras banyak orang, seperti para petani, nelayan, supir, pedagang, bahkan koki yang memasak barang mentah tersebut.