Minggu, Mei 4, 2025

Ekonomi Politik dan Pelemahan Hak Asasi Manusia

- Advertisement -

Mengapa penegakkan HAM kian sulit diwujudkan? Padahal, khususnya sejak pergantian rezim dari orde baru ke reformasi, isu hak asasi menjadi tema fundamental yang didiskusikan secara komprehensif untuk membentuk negara hukum demokratis di Indonesia. Tidak hanya sekedar obrolan di atas meja, hasil diskusi panjang tersebut selanjutnya diinjeksi ke dalam banyak peraturan, bahkan sampai level tertinggi, konstitusi.

Dominasi ekonomi

Ada banyak sudut pandang menjawab masalah di atas, salah satunya soal ekonomi politik. Sudut ini dapat membantu menjelaskan, bagaimana kekuasaan dan ekonomi berperan mensubordinasikan HAM. Kesukaran institusi negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia didominasi mempertahankan motif ekonomi yang dibungkus dengan kebijakan. Bahkan dominasi ini, pada kadar tertentu, dipaksakan dengan cara melakukan tindakan penyelewengan terhadap hak asasi. Artinya, negara melakukan pelanggaran HAM, alih-alih menjadi pihak yang menyelesaikan.

Ekonomi politik berkelindan dengan kapitalisme pasar. Satu sisi kapitalisme meningkatkan standar hidup orang menjadi lebih baik. Sisi lain, menjadikan orang kaya secara ekstrim. Kekayaan ekstrim ini, dimanfaatkan untuk memengaruhi kebijakan (Winters, 2021). Winters menyebutnya sebagai oligarki, di mana ada kekayaan yang terkonsentrasi pada tangan yang kecil, digunakan untuk memengaruhi kebijakan politik untuk mempertahkan kekayaannya. Bahkan,  kemampuan paling apik seorang oligarki bukan hanya memanfaatkan politik untuk melindungi kekayaan, namun juga mendistorsi sistem demokrasi.

Pada dasarnya, ekonomi politik membincangkan relasi tiga hal: individu (masyarakat), kebijakan pemerintah, dan ekonomi itu sendirinya. Ketiga hal tersebut saling memengaruhi satu dengan yang lain. Ekonomi politik tidak hanya mempertanyakan apa pengaruh ekonomi terhadap proses pemilihan umum (dan kebalikannya), tapi juga menyentuh relasinya dengan sosiologi, antropologi, dan politik.

Secara lebih sederhana, ekonomi politik membincangkan bagaimana institusi politik membentuk sistem ekonomi, dan kebalikannya. Dalam, konteks ini, fokus yang sering dibicarakan bagaimana barang (jasa) diproduksi dan distribusikan melalui kebijakan pemerintah (Sharma, 2024). Artinya, pemerintahan memiliki peran srategis untuk memainkan atau menciptakan peredaran barang dan jasa pada suatu negara.

Di Indonesia, ada banyak kebijakan politik yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Proyek Srategis Nasional (PSN), Undang-Undang Cipta Kerja, Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan infrastuktur jalan, Undang-Undang Minerba perubahan keempat, pemangkasan anggaran untuk makan bergizi gratis – yang diklaim mendongkrak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lokal – adalah sedikit contoh kebijakan politik yang memiliki efek pada ekonomi. Kebijakan dimaksud, dipercaya meningkatkan standar hidup masyarakat secara keseluruhan.

Ragam kasus

Sayangnya, kebijakan demikian memiliki irisan dengan isu HAM. Demi mempertahankan dan memuluskan program ekonomi, batasan HAM nyaris  diterobos. Misalnya Kasus Budi Pego, yang memotori penolakan pertambangan emas di Bayuwangi karena dianggap telah menciderai hak atas lingkungan yang layak dan bersih, mendapat represi dan kriminalisasi dari aparat penegak hukum, bahkan dilegitimasi pengadilan bahwa perbuatannya salah. Catatan KontraS, dari 2019-2023, atas nama PSN, terdapat 79 peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melibatkan polisi, institusi pemerintah, dan institusi swasta.

Peristiwa pelanggaran HAM tidak berhenti sampai di situ. Demi mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah dan DPR memutuskan membuat IKN. Pihak pro terhadap kebijakan ini percaya, akan banyak investor masuk mendukung IKN yang berujung pada peningkatan nilai ekonomi. Namun, investor tak kunjung datang, masyarakat adat sekitar IKN menjadi terdampak. Mereka kehilangan hak atas tanah, hutan, dan lingkungan yang asri.

Kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja, sebagaimana ditulis terang dalam Penjelasannya, bertujuan meningkatkan perekonomian nasional yang akan memicu kesejahteraan masyarakat, pula melahirkan pelanggaran HAM. Kebijakan ekonomi politik satu ini, misalnya, memberikan pengampunan kejahatan kehutanan dari awalnya sanksi pidana, menjadi sanksi adminstrasi. Catatan Walhi, akibat kebijakan tersebut, terjadi kriminalisasi Serikat Pekerja Petani.

Isu pemangkasan anggaran, untuk makan bergizi gratis demi mendongkrak UMKM, pula membuat komplit kerumitan negara mengurai pelanggaran HAM. Anggaran yang tadinya 112,8 miliar, berubah menjadi hanya 52 miliar, berdampak pada kesulitan untuk melakukan layanan pengaduan, pemeriksaan, sertan penegakkan HAM. Pemihakan menunaikan janji politik, untuk meningkatkan kesehatan peserta didik, rupaya berkelindan dengan aspek ekonomi yang memiliki pengaruh negatif pada HAM.

- Advertisement -

Keterlibatan Pengadilan

Hal yang pula menarik untuk dikemukakan. Selain eksekutif dan legislatif, lembaga yudisial juga justru ikut mendukung kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap pelanggaran HAM. Alih-alih mengurai dan memberi jaminan HAM, kekuasaan yudisial malah memberikan legitimasi yang menyempurnakan kebijakan ekonomi politik.

Beberapa kasus bisa disaksikan. Di wilayah Mahkamah Konstitusi, ada putusan nomor 54/PUU-XXI/2023 yang menjelaskan, tidak ada masalah tentang Perpu Cipta Kerja. Putusan ini menyempurnakan nalar kapitalisme.

Di lingkungan kamar Mahkamah Agung, misalnya Pengadilan Negeri Mukomuko, Bengkulu, petani mengalami nasib yang jauh rasa keadilan. Ada wilayah di sekitar lahan perusahaan yang belum memiliki hak guna usaha yang dimanfaatkan petani. Setelah sekian lama mengelola lahan tersebut, tiba-tiba perusahan datang kepada para petani, menyuruh mereka memberhentikan aktifitasnya. Para petani tentu saja tidak terima, apalagi perusahan tidak dapat menunjukan surat bahwa lahan itu telah memiliki hak guna usaha. Konflik terjadi. Pemerintah setempat memilih sikap diam, tanpa mau terlibat menyelesaikan konflik.

Perusahan membawa kasusnya ke pengadilan, menuntut petani atas dasar melawan hukum. Pengadilan memenangkan perusahaan, menyatakan para petani benar melawan hukum – meski di ruang sidang perusahaan tidak dapat menunjukan bukti hak guna usaha. Naik ke tingkat Pengadilan Tinggi. Nasib petani kembali sial. Mereka diputus harus membayar ganti rugi 3 miliar. Peristiwa tersebut sebenarnya menunjukan, ruang mencari hidup – sebagai bagian dari hak asasi – direduksi bahkan dirampas melalui jalur yudisial. Pengadilan menyempurnakan motif ekonomi, sekalipun mengesampingkan hak-hak para petani.

Sekian banyak kebijakan ekonomi politik yang dibuat oleh negara di atas, menjadi bentangan empirik untuk menjelaskan betapa aspek ekonomi lebih didahulukan atau diprioritaskan ketimbang mengatasi pelanggaran HAM. Kuasa ekonomi politik menyebabkan hukum abai terhadap penjaminan konstitusionalisme.

Penting pula untuk dijadikan catatan, pengabaian terhadap hak asasi sebenarnya memiliki efek lebih tajam, yakni rasa tidak hormat kepada prinsip negara hukum. Kebijakan ekonomi politik telah mengkerdilkan HAM, pula melanggengkan kesejahteraan orang tertentu, bukan masyarakat secara meluas.

 

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.