Rabu, Januari 15, 2025

Hari HAM dan Anti Korupsi: Sepenggal Kisah di Bulan Desember

M. Yunasri Ridhoh
M. Yunasri Ridhoh
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UNM
- Advertisement -

Di sebuah desa kecil di pinggiran Bulukumba, seorang anak perempuan bernama Sari duduk termenung di bawah rindangnya pohon mahoni. Ayahnya, seorang petani karet, tengah berjuang mendapatkan hak atas tanah mereka yang dirampas perusahaan besar.

Di sisi lain, Sari menyaksikan di tayangan televisi, berita tentang seorang pejabat daerah yang baru saja ditangkap karena korupsi proyek irigasi yang semestinya mengairi sawah-sawah di desanya. Kisah ini adalah ironi, bukan sekadar cerita di pelosok Indonesia, melainkan gambaran universal tentang fakta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi yang saling kait-kelindan.

Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember dan Hari Anti Korupsi Internasional sehari sebelumnya, 9 Desember, adalah momen untuk mengingatkan kita semua, bahwa kedua isu ini tidak berdiri sendiri; mereka saling memengaruhi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Narasi ini penting untuk terus disuarakan agar masyarakat memahami betapa perlunya perjuangan kolektif dan sungguh-sungguh, untuk melawan perilaku koruptif dan pelanggaran HAM, yang kian mengakar dan mewabah.

Hak Asasi Manusia: Janji yang Terabaikan?

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 menandai babak baru perjuangan global atas martabat manusia. Indonesia, sebagai salah satu negara yang meratifikasi deklarasi tersebut, menjadi wajib untuk menjunjung tinggi prinsip ini, karenanya perlu memasukkan nilai-nilai HAM dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hanya saja apa yang diatur (das sein), dan apa yang menjadi realitas di lapangan (das sollen), kadangkala bertolak belakang. Tampak sehat di atas kertas, namun sakit-sakitan dalam kenyataan.

Kasus-kasus penggusuran paksa, pelanggaran hak-hak buruh, persekusi terhadap kelompok agama tertentu, pelanggaran kebebasan berekspresi, aksi kamisan menuntut penuntasan kejahatan kemanusiaan masa lalu, dan marginalisasi kelompok adat menjadi bukti nyata bahwa HAM masih menjadi perjuangan panjang.

Menurut Amartya Sen (1999), pelanggaran HAM tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi. Ketika hak atas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan tidak terpenuhi, masyarakat akan sulit keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Korupsi: Wajah Muram sebuah Republik

Korupsi, di sisi lain, boleh dibilang adalah bentuk lain dari pelanggaran HAM. Ketika pejabat publik menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, sesungguhnya mereka juga sedang merampas hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang layak.

Transparency International Indonesia mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 stagnan di angka 34, yang menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. IPK ini menjadi cerminan betapa seriusnya permasalahan korupsi di Indonesia, mengingat angka tersebut menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum mengalami perkembangan yang signifikan.

- Advertisement -

KPK yang semula dibayangkan sebagai “ratu adil” dalam pemberantasan korupsi, nyatanya belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi tersebut. Tidak mengherankan jika Zaenal Arifin Mochtar, dalam artikelnya di Harian Kompas, menggugat dengan sebuah pertanyaan tajam: “Inikah saatnya KPK dibubarkan?”.

Studi yang dilakukan oleh Rose-Ackerman (1999) menunjukkan hal demikian. Dalam penelitiannya, ia menegaskan bahwa korupsi memiliki implikasi yang luas terhadap “imunitas demokrasi”. Institusi demokrasi, yang semestinya menjadi pondasi bagi keadilan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi publik, menjadi semakin keropos akibat praktik korupsi yang sistemik.

Pertama, ketika masyarakat menyaksikan bahwa pejabat yang mereka pilih justru terlibat dalam praktik-praktik korupsi, rasa percaya terhadap proses demokrasi akan memudar. Sebuah survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2022, misalnya, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara seperti legislatif dan eksekutif berada pada posisi yang rendah akibat skandal korupsi yang melibatkan banyak pejabat publik.

Kedua, korupsi memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Sumber daya publik yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dialihkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok elit tertentu. Akibatnya, kelompok masyarakat miskin semakin sulit mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Ketiga, korupsi melemahkan fungsi kontrol institusi. Dalam sistem demokrasi, keberadaan institusi seperti pengadilan, parlemen, dan media massa memiliki peran penting untuk memastikan adanya mekanisme check and balance. Namun, praktik korupsi dapat melemahkan peran ini, misalnya melalui suap, tekanan politik, atau manipulasi informasi.

Bagaimana HAM dan Korupsi Berkaitkelindan

Jika dikaji lebih jauh, korupsi tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran HAM. Studi yqng dilakukan oleh Boersma (2012) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan erat antara pelanggaran HAM dan korupsi.

Dimana ketika korupsi merajalela, percayalah hak-hak dasar masyarakat pasti terabaikan. Misalnya jika dana pendidikan dikorupsi, maka pasti akan ada anak-anak seperti Sari kehilangan akses ke sekolah yang layak. Jika ada proyek irigasi yang mangkrak karena korupsi, maka pasti ada petani yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi cenderung memiliki catatan pelanggaran HAM yang buruk. Sebaliknya, negara dengan tata kelola yang baik mampu menciptakan lingkungan yang mendukung penghormatan HAM. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus berjalan beriringan dengan perlindungan HAM.

Prof. Cecep Darmawan—Guru Besar Ilmu Politik UPI—, menawarkan solusi atas masalah ini, yakni kepemimpinan dan budaya. Kepemimpinan yang berintegritas dan transformatif adalah kunci untuk memperbaiki tata kelola negara. Pemimpin yang tidak hanya memiliki visi, tetapi juga keberanian untuk melawan praktik korupsi dan memperjuangkan HAM, adalah kebutuhan mendesak.

Di sisi lain, budaya masyarakat juga harus berubah. Kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, penghormatan terhadap hukum, dan pengawasan terhadap pemimpin adalah hal elementer dalam membangun demokrasi.

Merayakan Hari HAM dan Anti Korupsi

Hari HAM dan Anti Korupsi tidak seharusnya hanya menjadi seremoni belaka. Ia harus menjadi momentum refleksi dan aksi. Refleksi untuk melihat sejauh mana kita telah berbuat, dan aksi untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi dan korupsi diberantas hingga ke akar.

Kisah Sari dan keluarganya adalah cermin dari realitas yang dihadapi banyak masyarakat di Indonesia. Dalam konteks global, kisah serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Namun, perubahan selalu dimulai dari langkah kecil.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa perjuangan melawan korupsi dan perlindungan HAM adalah tanggung jawab bersama. Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa kita, sebagai individu dan masyarakat, terus berupaya mewujudkan keadilan bagi semua.

Desember adalah bulan penuh makna. Di antara hingar-bingar akhir tahun, ia mengingatkan kita pada dua hal penting; HAM dan pemberantasan korupsi.

M. Yunasri Ridhoh
M. Yunasri Ridhoh
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UNM
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.